Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Sebelum masuk ke rumah bibinya, Kak Furqan menghentikan langkahnya lalu berbalik kepadaku.
"Kenapa berhenti Kak?" tanyaku heran.
"Kamu udah gak apa-apa kan?" tanyanya balik.
Aku mengangkat kedua alisku bingung kemudian mengangguk mengiyakan. Kak Furqan menggandeng tanganku masuk ke rumah bibi.
Bibi, Mamah dan Ica juga terlihat menunggu di dalam. Mereka sudah duduk di sofa ruang tengah rumahnya.
"Nur," bibi langsung beranjak dari tempat duduknya langsung memelukku erat.
"Maaf ya!" ungkapnya. Aku tersenyum simpul sembari membalas pelukan bibi.
"Gak apa-apa Bi, wajar kalau bibi dan keluarga lainnya ragu sama aku," ucapku lalu melepaskan pelukannya kembali.
Bibi menggelengkan kepalanya cepat, "enggak sama sekali Nur. Bibi yang gak berpikir panjang tentang hal itu, sekali lagi maaf ya!"
Aku mengangguk mengiyakan dengan senyuman tulus.
Setelahnya, Bibi mengajak kita semua untuk makan malam. Kita makan malam bersama dengan keluarga yang menginap di rumah nenek Kak Furqan juga.
Pak Yuda duduk tepat di depanku dengan di sampingnya Bi Ima. Dia sejak tadi terus menatapku sinis, sedangkan Pak Yuda sepertinya gugup harus berhadapan denganku.
"Sayang mau makan sama apa?" tanya Kak Furqan yang duduk di sampingku tepat.
Lagi-lagi aku tidak menjawabnya karena memperhatikan gerak-gerik Pak Yuda sejak tadi. Aku bisa melihatnya jika Pak Yuda saat ini benar-benar cemas.
Kak Furqan menyenggol lenganku cukup kuat hingga aku langsung menoleh padanya, "iya apa Kak?"
Dia menatapku tajam tanpa arti, "mau makan sama apa?" tanyanya.
"Sama ikan yang tadi dibeli aja," jawabku.
Kak Furqan memberiku seutuhnya ikan, aku terperangah melihatnya, "emangnya aku serakus itu Kak?"
Dia terkekeh mendengarnya, "ini makannya berdua aja sama Kakak."
Nenek dan Kakek Kak Furqan tersenyum melihatnya. Bahkan Ica dan Ibu Kak Furqan juga.
"Nenek seneng Furqan akhirnya bisa nemuin cewek kayak Nur," tutur adik neneknya.
"Cantik kan cucu menantuku?" pamer Nenek Kak Furqan.
Mereka saling berbisik selama makan malam. Aku mulai merasa tidak nyaman di tenggorokan hingga merasa gatal.
"Kak Furqan, Nur mau ambil minum dulu ya!" izinku sudah merasakan gatal pada tenggorokan.
"Mau dianter gak?"
"Gak usah Kak,"
Aku langsung berjalan masuk ke rumah Bibi karena makan malam di terasnya.
Glekk. Glekk.
"Kenapa gatel banget ya?" sembari terus menggaruk tenggorokanku yang mulai sedikit panas.
"Calon kamu kemana?" tanya bibi yang baru sadar.
"Dia minum Bi, tapi lama banget perasaan," ujar Kak Furqan.
"Coba susul sana!" pinta Bibi.
Kak Furqan segera beranjak masuk ke dapur mencari, "sayang," panggilnya.
"Kak Furqan," sahutku segera menemuinya.
"Kamu gak apa-apakan? Kok lama ngambil minumnya?"
Aku segera menggelengkan kepalaku, "tadi ke toilet dulu."
Untungnya merah-merah di leher bisa disembunyikan lewat kerudung. Kalau tidak, bisa-bisa aku membuat semuanya panik.
"Ya udah ayo lanjutin makannya!" ajaknya. Aku mengangguk lalu mengikutinya dari belakang.
"Kamu gak apa-apa kan Nur?" tanya bibi.
"Enggak bi, tadi ke toilet dulu," jawabku sedikit pelan tidak enak jika terdengar keluarga lainnya yang sedang makan.
Aku kembali duduk di samping Kak Furqan dan Ica. Bingung harus memakan apa lagi, karena tenggorokanku sudah mulai gatal hanya karena ikan bakarnya.
"Kenapa gak makan lagi? Udah kenyang?" tanya Kak Furqan. Aku segera mengangguk sembari menahan rasa gatal di leher.
Setelah makan malam, Kita mulai masuk ke kamar masing-masing. Aku sekamar dengan Ica, Mamah dengan bibi, sedangkan Kak Furqan bersama suami bibi yang baru saja pulang setelah melaut seharian tadi.
Ayah Kak Furqan lagi-lagi tidak bisa ikut karena bekerja di luar kota. Dia juga tidak bisa izin karena ada pekerjaannya sedang sibuk.
Ica sudah terlelap sejak tadi. Aku tidak bisa tidur karena leherku mulai bentol-bentol dan sangat gatal.
"Ini gimana? Mana aku gak bawa obat alerginya lagi," keluhku kebingungan.
Ica terbangun karena aku terus bolak-balik tidak bisa tertidur dengan rasa gatal yang mulai menyiksa.
"Kak Nur belum tidur?" tanyanya dengan mata yang menyipit.
"Kamu kebangun gara-gara Kakak ya! Maaf ya Ca," ungkap-ku merasa bersalah.
Ica melihat leherku yang sudah memerah bahkan hampir lecet, "loh Kak itu kenapa lehernya?"
syuttttt.....
"Jangan bilang-bilang ke siapa-siapa ya!" pintaku.
"Kak Nur alergi ya?" aku mengangguk menjawabnya.
"Terus gimana dong itu? Kak Nur bawa obat alergi gak?" tanyanya beruntun dengan cemas.
Aku menggelengkan kepalaku seraya terus menggaruk leher. Ica langsung memegangi tanganku, "Kak jangan terus digaruk nanti berdarah."
"Abisnya gatel Ca," ujarku mulai meringis.
"Katanya tadi gak mau ketauan sama yang lain, malah nangis!" ucap Ica semakin bingung.
Kamar Kak Furqan yang tepat di sampingku mendengarnya. Dia penasaran dengan suara samar yang terdengar ke kamarnya.
toktoktok..
"Neng! Ica!" panggilnya.
Aku dan Ica terkejut mendengar panggilan Kak Furqan dari depan pintu.
"Gimana dong Ca?" tanyaku ketakutan.
"Kan kata Ica apa tadi, gak usah nangis jadi kedengeran sama Kak Furqan kan," omel Ica padaku.
Suara ketukan pintu terdengar lagi, Kak Furqan juga memanggilku dan Ica untuk membuka pintu.
"Biar aku aja yang buka Kak," ucap Ica langsung pergi membuka pintu.
Aku langsung memakai kerudungku agar menutupi leher yang merah.
"Kalian belum tidur?" tanyanya, "kalau mau ngobrol pelan-pelan, jangan berisik! kasian yang lain."
Aku dan Ica langsung mengangguk cepat.
"Kamu gak gerah Neng? Tidur juga pake kerudung?" tanya Kak Furqan.
"Tidurnya gak pake kerudung Kak, cuman barusan aja karena Kak Furqan ketuk," bohongku.
"Ya udah, kalian cepetan tidur ini udah larut," ujar Kak Furqan.
Kak Furqan sudah kembali masuk ke kamarnya. Ica mencari kotak p3k untuk mencari salep alergi, siapa tau bibi memilikinya.
"Ica malah pergi gitu aja," gumamku sedikit ketakutan Kak Furqan akan curiga.
Benar saja, Kak Furqan kembali keluar kamarnya lalu masuk ke kamarku.
Mataku terperanjat melihatnya masuk ke dalam kamar, "eh Kak Furqan mau ngapain?" tanyaku.
"Buka kerudungnya!" pintanya dengan tegas.
"Emangnya kenapa? Gak boleh pake kerudung dalem kamar?" tanyaku beruntun dengan suara sedikit bergetar.
"Buka Nur!" pintanya dengan tegas.
Aku menelan saliva ketakutan, sebelumnya Kak Furqan tidak pernah menatap dan berbicara seperti ini.
Aku perlahan membuka kerudungku, takut dengan respon Kak Furqan setelah melihatnya.
Ica yang ikut ketakutan memilih diam di belakang tubuh Kakaknya.
Kak Furqan sudah tahu jika aku menyembunyikan sesuatu darinya. Dia juga tidak terkejut melihat leherku yang sudah memerah dengan banyaknya bekas garukan.
"Ayo sini!" ajaknya menarik tanganku untuk duduk di sofa ruang tengah.
Kak Furqan membuka salep yang dia bawa dari kamarnya.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica