Rania Putri Handono kaget saat matanya terbuka dan berada di ruangan asing dan mewah. Lebih kaget lagi, di sampingnya terbaring dengan laki-laki asing dalam kondisi masing-masing polos tak berbusana.
Tak lama, pintu kamar dibuka paksa dari luar. Mahendra, suami Rania mendekat dan menampar pipi putih hingga meninggalkan bekas kemerahan.
Kejadian yang begitu cepat membuat Rania bingung.
Apakah rumah tanggganya selamat atau hancur?
Simak aja kisah ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Rania
"Bu Marmi?????" gumam Beno.
"Ada apa?" tanya Beno berbisik saat Raditya mengangkat panggilan.
Raditya hanya menggelengkan kepala, karena sama tak tahunya dengan Beno.
"Halo, iya bu Marmi" kata Raditya membuka percakapan.
"Sore tuan Radit, apa saya mengganggu?" tanya bu Marmi yang sepertiya ragu-ragu.
"Tidak bu, sampaikan saja" sahut Raditya.
"Begini tuan, kedua bayi Rania sepertinya rewel. Sudah dipindah ke ruang bayi lagi, padahal tadi sudah berada di kamar lumayan lama. Maaf hanya memberitahu saja" kata bu Marmi yang sepertinya masih ada rasa sungkan menghubungi Raditya yang setahunya tidak ada hubungan apa-apa dengan Rania.
"Rania gimana?" tanya Raditya.
"Itu yang buat aku bingung tuan, Rania menangis terus. Kuatir dengan anak-anaknya" bilang bu Marmi.
"Oke, aku akan ke rumah sakit sekarang" tandas Raditya.
"Eh, mau kemana lagi loe? Tuh berkas mau diapain?" tanya Beno yang masih mengikuti Raditya yang hendak keluar kamar.
"Rumah sakit" jawab singkat Raditya.
"Kedua bayiku ada something, Rania juga sedang tidak baik-baik saja" jelas Raditya.
"Lantas kamu mau ngapain ke rumah sakit bosss? Apa dengan kedatangan kamu si kembar akan membaik, Rania juga akan menerimamu begitu saja" Beno mencoba membuka mata Raditya. Raditya menghentikan langkah, dalam hatinya membenarkan ucapan Beno.
"Tapi aku kasihan sama Rania Ben, dia sangat mencemaskan kondisi putra-putranya" Raditya menanggapi.
"Apa ke sana kamu ingin memeluk untuk menguatkannya. Cih..aku rasa Rania akan mengusir kamu sebelum kamu melakukannya" olok Beno.
"Percayakan saja sama anak buah kita yang di sana, yang akan menginfo kondisi mereka setiap saat" timpal Beno.
"Setiap saat katamu? Nyatanya ini saja tak ada laporan dari mereka. Malah bu Marmi yang memberi tahu" balas Raditya.
"Mereka sudah memberi tahu padaku boss, tapi aku memang sengaja tak memberitahumu" ucap Beno.
"Sialan kamu. Berani-beraninya tak bilang padaku" umpat Raditya.
Beno hanya senyam senyum mendapat umpatan sang bos. Beno pasti ada pertimbangan sendiri kenapa tak memberitahu.
"Tapi aku sudah bilang kalau mau ke rumah sakit pada bu Marmi" lanjut Raditya.
"Ya temui aja Bu Marmi" imbuh Beno.
Ponsel Raditya kembali berdering.
"Siapa lagi???" sela Beno.
Raditya mengangkat kedua bahu, karena yang sedang menghubunginya sebuah nomor tak dikenal.
"Aneh, ada nomor tak dikenal masuk ke ponselku" celetuk Raditya.
"Angkat aja. Siapa tahu penting?" ungkap Beno.
Raditya menggeser ikon hijau di layar.
"Halo" sapa Raditya tanpa menyebutkan nama.
"Dengan tuan Raditya?" suara wanita di seberang dengan nada yang sopan.
"Iya" singkat Raditya menanggapi.
"Saya dokter anak yang merawat kedua bayi anda. Maaf bisakah anda datang ke rumah sakit? Kedua bayi anda sedang tidak baik-baik saja" beritahu penelpon yang ternyata dokter dari rumah sakit tempat Rania menginap.
Raditya tertegun.
"Tuan Raditya???" panggil sang dokter karena lumayan lama belum mendapat jawaban.
"Eh iya, saya meluncur dokter" jawab Raditya berikutnya.
Raditya datang tergopoh mendekati ruangan bayi di mana si kembar berada.
Dilihatnya Rania dengan kepala menyandar di bahu Bu Marmi.
"Kok di sini bu?" tanya Raditya heran.
"Rania memaksa ke sini tuan" jelas bu Marmi.
Rania tak menghiraukan kehadiran Raditya, karena pikiran yang kacau. Terbelah antara keadaan Chiko yang belum juga membaik, ditambah dengan kondisi si kembar yang sekarang.
Belum sempat duduk mendekati Rania, Raditya dipanggil oleh perawat dari dalam ruangan.
"Tuan Raditya, anda dipanggil oleh dokter Andah" beritahunya.
"Silahkan masuk" ucapnya.
"Iya sus" Raditya mengikuti langkah suster barusan.
Di dalam dokter Andah, dokter yang merawat si kembar sedang menunggu kedatangan daddy si kembar.
"Selamat malam tuan Raditya, saya dokter Andah yang menelpon anda tadi" katanya membuka obrolan.
"Bagaimana keadaan putraku dok?" tanya Raditya saking cemasnya.
"Silahkan duduk tuan" lanjut dokter Andah melanjutkan.
Raditya duduk tepat di depan dokter Andah. Rasa cemas menyelimutinya saat ini. Dia tak ingin terjadi apa-apa dengan kedua bayi nya.
"Tuan, sebenarnya tadi pagi kondisi bayi anda baik-baik saja. Bahkan aku lah yang menyuruh suster untuk menyusul mama nya ke kamar rawatnya. Tapi ternyata, karena kondisi prematurnya kedua bayi belum siap rawat gabung. Makanya aku putuskan untuk kembali di rawat di sini" terang dokter Andah.
"Bayi pertama sebelum dipindah ke sini sempat panas, sedang bayi kedua susah minum. Ini sementara akan saya berikan cairan infus dan beberapa suntikan. Selain itu minumnya juga akan diberikan lewat selang, belum bisa langsung ke mamanya" lanjut sang dokter. Sementara Raditya menyimak serius kata-kata dokter itu.
"Nanti tolong bilang ke nyonya Rania, jika air susu nya sudah banyak boleh dipumping dan diantarkan ke sini. Biar kita yang memberikan ke si kembar" beritahu dokter Andah dengan sabar.
"Pumping???" tanya Raditya.
"He...he...tuan Raditya kan papa baru ya? Jadi belum terbiasa dengan kata-kata yang kupakai" dokter Andah malah menertawakan kebengongan Raditya.
"Jadi begini tuan Radit, air susu nyonya Rania dipompa dengan alat. Dan ditampung dalam wadah steril. Kalau banyak bisa kok disimpan di lemari pendingin" saran dokter Andah.
"Alatnya musti beli di mana dokter?" tanggap Raditya.
"Baby shop banyak yang jual kok" terang sang dokter.
"Baik, ada yang ditanyakan lagi?" imbuh dokter Andah.
"Kira-kira perlu berapa lama putra saya akan dirawat dok?" tanya Raditya.
"Saya nggak bisa memastikan. Kita evaluasi dulu untuk tiga hari ke depan. Oke tuan Raditya?" ucap dokter Andah masih setia melayani sang papa baru.
Raditya keluar ruangan dengan wajah sedikit lega karena mendapat pencerahan dari dokter Andah barusan.
Rania yang masih di sana bersama bu Marmi, mendongak menatap Raditya.
Wajah sendunya, membuat Raditya semakin tak tega.
"Keduanya baik saja, hanya perlu perawatan lebih ekstra" terang Raditya seakan tahu arti tatapan itu.
"Aku antar kamu ke kamar, kasihan bu Marmi kalau musti mendorong kursi roda ini" Raditya mencoba bergurau, meski garing di telinga.
Rania terdiam, tak menyanggah juga tidak mengiyakan. Fisiknya terlalu lemah, apalagi pikirannya yang lelah semakin membuatnya tak berdaya.
Di lorong rumah sakit, saat akan belok ke arah ruang vvip. Entah jodoh atau memang kebetulan saja, Raditya dan Rania bertemu dengan Riska tanpa Mahendra. Mahendra pasti masih sibuk di kantor karena permintaan Beno tadi pagi.
Tatapan kosong Rania membuat rasa penasaran Riska membuncah.
Dia mendekat ke arah Raditya dan Rania.
"Wah, kalian semakin kompak aja. Cepat nikahin Rania tuan! Atau jangan-jangan kalian hanya ingin kumpul kebo ya, tak mau nikah?" sindir Riska.
"Kukira bukan kapasitas kamu untuk ikut campur, nyonya Mahendra" jawab Raditya dengan menekan nama suami Riska itu.
"Ha...ha... Jangan mengelak tuan, bahkan kalian telah punya bayi hasil hubungan kalian" olok Riska semakin menjadi.
"Oh ya Rania, ingat biaya Chiko. Dia juga anak kamu. Akan tetap kutagih sampai kamu berikan. Jangan hanya bersenang-senang di atas penderitaan Chiko dan mantan suami kamu" sambung Riska yang membuat telinga merah bagi yang mendengarnya.
"Kamu tukang kreditkah?" cela Raditya.
"Mingguan apa bulanan?" sambung Raditya. Pertanyaan Raditya membuat Riska sewot. Bagaimanapun juga Riska merasa bekerja di sebuah bank yang bonafid. Enak saja Raditya menghinanya.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
To be continued, happy reading
aku dulu ngidam gak gitu amat