Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.
Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.
Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.
Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.
Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13: di lembah Kematian
Malam larut menyelimuti Lembah Kematian. Angin dingin menggerakkan dedaunan, menciptakan suara gesekan samar yang menakutkan. Oiko tertidur bersandar pada sebuah pohon besar, wajahnya terlihat damai meski tubuhnya masih menyimpan bekas luka. Rinya, yang semula tidur di pundaknya, perlahan tergelincir dan jatuh ke pangkuan Oiko, namun tetap dalam lelap tanpa menyadari apa pun.
Di sisi lain, Mikami tertidur di pundak Oiko yang satunya. Mereka bertiga terlihat tenang dalam tidur meski malam menyimpan bahaya di balik kegelapannya.
Api unggun yang sebelumnya menyala terang kini mulai padam, redup oleh embusan angin malam. Dalam cahaya samar itu, Mous berdiri tegap tak jauh dari mereka. Matanya bersinar tipis, dan senyumnya terlihat aneh… sedikit kejam. Ia menatap ketiganya dengan ekspresi misterius, sebelum akhirnya berbalik. Tanpa suara, ia melangkah perlahan ke dalam kegelapan hutan, langkah-langkahnya menghilang ditelan pekat malam. Ia pergi... tanpa pamit.
...
...
...
Pagi harinya, cahaya mentari menembus sela pepohonan. Mikami yang masih tertidur di pundak Oiko perlahan membuka matanya. Begitu sadar, ia kaget sendiri — dan wajahnya langsung memerah.
“Wahh!!” serunya panik, buru-buru berdiri lalu menyiram wajahnya sendiri menggunakan sihir air, hingga rambut dan mukanya basah kuyup.
Oiko pun mulai terbangun. Matanya mengedip pelan, tubuhnya bergerak ringan. Ia melirik ke bawah dan melihat Rinya masih tertidur, kini di pangkuannya — kepala gadis kecil itu seperti menggunakan paha Oiko sebagai bantal.
“Hee...” gumam Oiko, sedikit geli.
Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, mengamati sekitar. Pandangannya menangkap Mikami yang wajahnya masih basah.
“Pagi,” sapa Oiko.
“Pagi...” balas Mikami singkat, berusaha menyembunyikan wajah memalunya.
Oiko tersenyum santai, lalu bertanya sambil menatap ke arah hutan, “Mous mana?”
Mikami menengok ke kanan, lalu ke kiri, ke depan dan ke belakang — kosong.
“Dari tadi dia nggak ada,” jawabnya dengan nada datar.
Oiko mengangguk pelan. “Mungkin dia pergi tanpa pamit…”
Mikami mengangkat bahu. “Namanya juga monster.”
...
Sinar matahari pagi menembus celah dedaunan, menyinari wajah Oiko yang perlahan berdiri. Dengan hati-hati, ia mengangkat Rinya dari pangkuannya agar gadis kecil itu tak terbangun. Perlahan, Rinya dipindahkan ke pundak Oiko, dan kini tergendong seperti bayi mungil yang sedang bermimpi indah.
Mikami yang melihat itu tak bisa menahan senyumnya. “Dia lucu banget ya…” gumamnya sambil berjalan mendekat.
Rinya tetap tertidur, wajahnya damai dan sedikit mengembung karena masih terlelap. Oiko mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya bergerak ke arah kuping di atas kepala Rinya, yang lembut dan berbulu halus. Ia menyentuhnya dengan hati-hati, seperti membelai sesuatu yang rapuh.
Melihat itu, Mikami tertawa pelan. “Kamu suka banget ya sama yang lembut-lembut~”
Oiko tersentak. “I-itu... apa? I-aku... i-itu bukan… a-aku... b-bukan begitu…” jawabnya gugup, wajahnya memerah.
Mikami mendekat, menggoda sambil tertawa. “Jawabanmu mencurigakan banget tuh~”
Oiko tak membalas. Ia justru melangkah maju, perlahan melewati Mikami sambil tetap menggendong Rinya yang masih tertidur pulas.
Mikami tak menyerah. “Oi, Oiko! Jawab duluuu~!”
Namun Oiko tetap diam, terus melangkah seolah angin pagi membawanya menjauh dari rasa malu itu. Angin pun berhembus pelan… lalu semakin kencang. Pepohonan mulai bergoyang, dedaunan menari-nari tertiup angin, dan burung-burung beterbangan dari sarangnya.
Langkah mereka terus berlanjut, menembus semak dan daun-daun pagi.
Saat Mikami berjalan tepat di samping Oiko, ia menoleh dan berkata, “Oiko, ayolah. Jawab aja.”
Oiko menghela napas, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan namun jujur:
“…Iya. Aku suka kelembutan.”
Mikami tersenyum puas. Ia pun perlahan mengangkat tangannya dan — usap — mengelus kepala Oiko dari samping.
Oiko terkejut. “Eh?!”
Wajahnya langsung memerah, matanya melebar sedikit karena kaget. Ia menoleh ke Mikami yang tertawa kecil, lalu membuang muka karena malu.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana ringan. Rinya masih tertidur di pundak Oiko, embusan angin menerpa rambut mereka, dan cahaya pagi menerangi jalan mereka yang menembus hutan dan semak belukar.
Udara pagi ini… terasa begitu cerah dan penuh harapan.
...
Langkah demi langkah, Oiko dan Mikami terus melintasi jalur hutan yang mulai disinari mentari pagi. Rinya masih tertidur pulas di gendongan Oiko, kepalanya bersandar di bahu dengan wajah tenang dan sedikit tersenyum dalam mimpi indahnya.
Suasana menjadi sedikit canggung, tak banyak suara di antara mereka. Hanya derap langkah dan bisikan dedaunan yang sesekali memecah keheningan.
Tiba-tiba…
“Huuu…”
Rinya mengeluarkan suara kecil, seperti erangan manja dalam tidurnya. Ia lalu mengendus-endus pipi Oiko tanpa sadar, wajahnya bergerak pelan.
Lalu...
"CHUP."
Pipi Oiko dimasukkan ke dalam mulut Rinya dan... diemut.
Oiko yang awalnya fokus berjalan langsung kaku. Mata membulat. Wajah memerah.
"EH??!!"
Langkahnya terhenti seketika, tubuhnya membeku. Pipinya... sedang diemut oleh gadis kecil yang tertidur!
Mikami yang awalnya berjalan di depan, menyadari suara langkah terhenti. Ia menoleh ke belakang.
“Eh? Kok berhenti?”
Lalu matanya melihat... dan ia tertawa pelan.
“Ahaha… dia ngemut pipimu?”
Saat itu juga, Rinya perlahan membuka matanya.
Matanya yang sayu dan masih setengah sadar melihat... pipinya Oiko sedang berada di mulutnya.
Dia… yang mengemut pipi Oiko!!
"H-HAAA?!?!"
Muka Rinya langsung merah padam.
“UWAAAA!!”
Dia panik, memberontak, berusaha melepaskan diri dari gendongan Oiko.
“E-eh, hati-hati! Kamu bisa jatuh!” teriak Oiko, panik menahan tubuh mungil yang mulai menggeliat.
Namun setelah sadar, Rinya berhenti mengamuk dan berkata dengan nada kesal malu, “T-turunkan aku… aku bisa jalan sendiri!”
Oiko menurut. Ia perlahan berjongkok dan menurunkan tubuh mungil Rinya ke tanah.
Rinya menatap ke arah lain, wajahnya masih merah, menghindari tatapan siapa pun.
Mikami tersenyum geli dan berkata, “Oiko, Rinya... yuk lanjutkan perjalanan.”
Mereka pun kembali melangkah, tapi suasana kini jauh lebih... hangat. Bahkan canggung yang tadi terasa, kini berganti tawa kecil dalam hati masing-masing.
Dan Oiko pun bergumam dalam hati...
“Pipiku… bukan permen...”
Langkah demi langkah, mereka terus menyusuri jalan kecil di antara pepohonan lebat. Daun berguguran diterpa angin ringan, dan suara burung hutan menambah kedamaian pagi itu.
Tiba-tiba…
“Huh?”
Mikami yang berada paling depan menghentikan langkahnya. Di hadapannya terbentang sebuah danau jernih, airnya memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan kilau yang memesona.
“Waaaah, ada air!” teriak Mikami, lalu menoleh ke belakang.
Rinya yang melihat danau ikut berseru, “Airrr!!”
Dia langsung berlari kecil, ceria, menuju pinggiran danau. Mikami mengikutinya sambil tersenyum.
Sementara itu, Oiko masih berjalan santai, tertinggal sedikit di belakang mereka. Ia memandangi sekitar — pepohonan, semak, dan suara burung.
Namun…
“DUK!”
Dari semak di sisi kanan, tiba-tiba muncul sosok kecil yang menabrak tubuh Oiko.
“Uwah!”
Makhluk itu terjatuh, terduduk di tanah.
Oiko yang sedikit terkejut tetap berdiri tenang. Ia menatap ke bawah dan melihat seorang anak perempuan mungil, bahkan lebih kecil dari Rinya. Wajahnya kotor, tubuhnya kurus, dan pakaiannya lusuh seperti sudah lama tak diganti. Tapi bukan seperti beastkin—tidak ada kuping atau ekor.
“Kamu… gak apa-apa?”
Oiko menjulurkan tangan dengan lembut.
Anak kecil itu menatapnya dengan mata besar, lalu perlahan menggapai tangan Oiko.
“Waa…”
Suara lirih keluar dari mulut mungilnya saat Oiko membantunya berdiri.
Dalam hati Oiko:
“Dia masih kecil banget… jangan-jangan dibuang? Tapi ini kan Lembah Kematian… bagaimana bisa ada anak manusia di sini?”
Sementara itu di dekat danau…
“WAAAH, SEGERRR!”
Rinya sudah berjongkok, langsung meminum air dari danau seperti anak kucing haus.
Mikami yang baru melihatnya kaget.
“Jangan langsung diminum dong! Harus dicek dulu!”
Ia lalu menoleh ke belakang.
“Oi, Oiko! Cepat ke sini!”
Namun matanya membelalak.
Oiko berjalan perlahan ke arah mereka… menggendong anak perempuan asing itu di pelukannya. Anak itu tersenyum bahagia sambil memeluk leher Oiko.
Mikami membisu. Ia benar-benar tak bisa berkata apa-apa.
Rinya menoleh dan ikut terkejut.
“D-dia siapa?”
Oiko menjawab dengan nada tenang tapi tegas.
“Tadi saat aku berlari, dia menabrakku dari semak. Kupikir dia dibuang… jadi aku bawa.”
Rambut anak itu berwarna pirang keemasan, matanya bening seperti kristal.
Ia terus memandangi wajah Oiko sambil tersenyum lebar, seolah merasa aman di pelukannya.
Oiko memalingkan wajah ke kanan dan melihat sebuah batu besar datar tak jauh dari danau. Ia pun melangkah ke sana dan duduk, masih menggendong anak kecil itu.
Mikami dan Rinya pun menyusul, mendekat sambil membawa rasa penasaran yang sama.
Misteri baru… telah muncul di Lembah Kematian.