NovelToon NovelToon
PICCOLA PERDUTA

PICCOLA PERDUTA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dunia Lain / Dark Romance / Tamat
Popularitas:166.3k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️

Series #3 dan Series #4

Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.

Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.

Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.

Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 : Bahaya Untuk Disatukan

...----------------...

...----------------...

...----------------...

...----------------...

...•••Selamat Membaca•••...

Maula menceritakan semuanya pada Vanessa mengenai Sofia dan keluarganya, serta perjodohan dengan Haidar. Vanessa mendengarkan dengan antusias, sementara kedua suami mereka hanya melirik sesekali dan tersenyum gemas.

“Kenapa Sofia bodoh sekali? Tugas seorang anak walau pun anak angkat, berbakti sama kedua orang tua, bukan malah memberikan diri dan jiwa begitu.”

“Nah kamu setuju kan sama aku, Vannessa. Aku juga bilang begitu sama Sofia, tapi dia nggak berkutik sama sekali. Kedua orang tuanya begitu dominan sama dia sampai dia sendiri nggak bisa melawan.”

Mereka berdua melanjutkan obrolan dengan semangat yang berapi-api, menjadikan kedua pria di depan sebagai audiens yang mendengarkan obrolan mereka.

“Aku rasa besok-besok, kalau mereka bertemu, kita harus pakai earphone,” celetuk Archer sambil melirik ke luar jendela mobil.

“Aku pikir juga begitu,” balas Rayden sambil tersenyum dan melirik melalui kaca ke arah belakang.

“Kau yakin Kiril masih bisa dipercaya?” tanya Archer, suaranya datar dan kali ini mereka membahas mengenai organisasi mafia mereka, membiarkan kedua wanita itu larut dalam gosipannya.

“Selama dia masih butuh perlindungan dari Vindex, dia akan tunduk,” jawab Rayden tenang.

“Aku dengar FSB mulai gerak di Presnensky. Dekat lokasi penyimpanan.”

“Sudah kupindahkan dua hari lalu. Bunker bawah tanah, dekat jalur metro lama. Tidak terdeteksi sama sekali.”

“Berapa yang masuk dari batch terakhir?”

“Enam kilogram. Potongan kasar. Nilainya sekitar dua belas juta dolar.”

“Dan bagian kita?” tanya Archer menoleh pada adiknya.

“Empat puluh persen untuk Vindex. Sisanya dibagi—Kiril, logistik, dan distribusi di Antwerp.”

“Siapa yang kirim selanjutnya?”

“Aku. Lewat jalur diplomatik. Bersih, tenang saja.”

“Kalau Kiril mulai main api?”

“Aku punya rekaman anaknya di Vladikavkaz. Cukup untuk membuatnya taat. Seperti biasa, dia buka suara, satu kata satu peluru.” Archer menunggingkan senyum, adiknya memang kejam dan langsung tembak jika ada yang berkhianat atau merusak bisnisnya.

Semenjak Advait pergi ke Norwegia, Vindex kembali diambil alih Rayden untuk sementara waktu sampai Advait kembali.

“Kejam.”

“Tapi sangat efisien.”

Mobil terus melaju dan kali ini mereka harus terjebak macet, Maula dan Vanessa tak peduli semua itu, bagi mereka gosip lebih seru dan udara di dalam mobil juga tidak membuat sesak. Malam mulai turun, tapi belum sepenuhnya.

“Sayang, minta air minum tadi,” pinta Maula sambil mengulurkan tangan ke depan, Rayden memberikan sebotol air mineral yang telah dia buka tutupnya pada Maula.

“Sudah kering tenggorokan kamu?” ledek Rayden pada istrinya.

“Iya, begini gosip, bukan kayak sama kamu.” Rayden tersenyum lalu kembali menatap jalanan.

...***...

Maureen menyiapkan makan malam untuk dia dan anak-anak nanti, Leo dari tadi masih di ruang menonton bersama dengan Thalia. Anak itu meminta Leo untuk membuatkan keterampilan membuat rumah dari kayu.

“Pa, nanti cat rumahnya warna hijau ya.”

“Hijau? Apa tidak ada warna lain? Apa kamu ini mau buat rumah opah upin dan ipin?” Thalia tertawa.

“Bukan, kan bagus warna hijau.”

“Jangan hijau lah, nanti Papa carikan warna yang bagus.”

Maureen mendekat ke arah mereka lalu menaruh sepiring gorengan.

“Sayang, telfon anak-anak. Mereka makaj di rumah atau di mana?” desak Maureen pada suaminya.

“Kita tunggu aja, kalau sampai jam 8 nanti mereka belum pulang, berarti mereka makan di luar.”

“Tapi aku udah masak banyak ini,” rengek Maureen.

“Oke oke. Ponsel aku mana?” Maureen mencari-cari ponsel suaminya yang tertindih berbagai alat keterampilan Thalia.

Leo menghubungi Rayden untuk menanyakan di mana mereka sekarang. Setelah beberapa menit, panggilan berakhir.

“Mereka di jalan, makan di rumah. Archer dan Vanessa juga ada, tadi ke bandara dulu jemput mereka.” Maureen tersenyum lega karena dia memang sudah masak banyak malam ini.

“Oke deh.” Maureen ikut membantu kerajinan tangan itu bersama dengan anak dan suaminya.

Lampu gantung kristal di ruang tengah memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Aroma rosemary dan panggangan dari dapur sudah mulai memenuhi udara. Di ruang keluarga yang lapang, Thalia masih duduk tekun di atas karpet beludru, menyempurnakan rumah kayu mininya.

Maureen duduk di sofa dengan secangkir teh hangat, sesekali mengamati putrinya dengan senyum lembut. Sementara Leo, dengan kemeja linen putih digulung di lengan, duduk di balik meja kerja kecil Thalia, mengawasi dengan penuh kesabaran.

“Pintu taman udah bisa dibuka, Pa,” kata Thalia sambil memperlihatkan engsel kayu mungil yang baru saja ditempel.

Leo bertepuk tangan pelan. “Perfect. Rumah ini harus dikasih nama.”

“Rumah Thalia,” jawab Thalia mantap.

“Boleh juga. Tapi gimana kalau ditambahin: ‘Maison Thalia de Bois’,” kata Leo, menggoda dengan aksen Prancis yang dibuat-buat.

Thalia cekikikan. “Itu artinya apa?”

“Rumah Thalia dari Kayu,” jawab Maureen sambil menyeruput teh. “Kita tinggal cetak brosur dan jual ke kerajaan dongeng.”

Thalia tertawa keras. “Aku enggak jual! Ini buat pajangan waktu Kak Maula sama Uncle Rayden pulang.” Thalia tetap memanggil Rayden dengan sebutan ‘uncle’ karena memang sudah terbiasa sejak kecil.

Maureen melirik jam di dinding. “Mereka harusnya sebentar lagi sampai. Kamu mau letakkan rumahnya di mana?”

Thalia bangkit dan mengangkat rumah kayunya dengan dua tangan. “Di meja makan. Biar mereka lihat dulu sebelum makan.”

Leo membantunya meletakkan rumah kayu itu di tengah meja makan panjang dari kayu walnut tua, di antara lilin-lilin ramping dan bunga putih segar dalam vas kristal.

“Cantik sekali,” gumam Maureen, menghampiri mereka. “Maula pasti akan senyum lebar lihat ini.”

“Dan Rayden akan pura-pura serius,” tambah Leo sambil mengedip pada Thalia, “padahal hatinya luluh.”

Thalia tertawa, memeluk kedua orang tuanya sekaligus. “Aku sayang Mama Papa.”

Maureen membungkuk mencium kening putrinya. “Dan kami lebih dari itu, sayang.”

Di luar, lampu taman mulai menyala. Di dalam, rumah kecil dari kayu berdiri di atas meja mewah dengan sederhana, namun penuh kehangatan. Dan di sudut ruang, cinta mereka tumbuh diam-diam, menunggu dua orang yang dicintai pulang untuk makan malam bersama.

Sementara di dalam mobil, Vanessa dan Maula mulai menyusun rencana random yang membuat Archer dan Rayden geleng-geleng kepala.

“Gimana kalau kita culik aja Haidar di hari pernikahan mereka dan kita sekap, lalu kita siksa dan kebiri dia,” ide Vanessa yang langsung disambut tepuk tangan oleh Maula.

“Aku setuju, sangat setuju, ide yang bagus tuh. Kita akan kebiri dia, congkel matanya, potong kakinya, dan keluarkan otaknya,” celetuk Maula dengan semangat.

“Itu sangat luar biasa, Maula,” sambut Vanessa sambil bertepuk tangan juga. Maula dan Vanessa seperti anak kecil yang dibelikan permen.

Rayden dan Archer langsung melirik ke belakang dengan kedua mata terbelakak.

“What?!” ujar mereka serentak karena tak habis pikir dengan ide Vanessa dan Maula.

“Sayang, sejak kapan di kepalamu itu ada ide gila menyiksa orang?” tanya Archer kaget.

“Sejak tadi, kan aku kepikiran barusan,” jawab Vanessa dengan sangat entengnya.

Rayden dan Archer saling pandang dan mereka langsung menepuk jidat masing-masing.

“Ternyata mereka sangat berbahaya kalau disatukan,” ujar Archer.

“Bahkan pikiran kita kalah dengan pikiran mereka,” balas Rayden.

...•••Bersambung•••...

1
Tammy
Adikmu sick Mau
Fida🔥🔥
Aduh Marlo kamu kocak juga ya/Facepalm/
Ulfa Raynamia
Rayden telat pulang auto dijadiin duda sama Maula😂
🌹Andara Terina🌹
Tau aja sih Marlo😆
🌺Shella BTS🌺
Marlo plis peka dong
Agung Taimur
Kasih tau ajalah si Maula itu, kan biar peka diw
Kiaraaaa ❄❄❄
Pengen banget Maula tau masalah mental adiknya
Noer Hidayati
Bakalan ngeh gak ya si Marlo sama Dhruv ini?
Latifa Andriani
Mau, Marlo butuh dampingan psikiater loh itu🥲
Kenzia Dira🦋
Kalau dlm seminggu kagak pulang, elu yg dijadiin duda🤣
Gita Gekes
Ketakutan aku tuh ya, setiap kali Rayden gak ada, pasti maula malah kenapa napa
Bona Abim
Jagain kakak kamu ya marlo, takut banget sama kondisi begini
Jerera Jemia
Marlo sih kayaknya yg bakalan bisa kenalin Dhruv
Keficam Camel
Takut banget mereka dapat masalah
Loroye Barbara
Kalau nungguin polisi yg gerak mah kelamaan
Erni Sasa
kenapaa vanesa,y di matiiin maaak😭😭😭
Vebi Gusriyeni: Udah abis kak kontraknya 🤣
total 1 replies
Nara Jelita
Perbuatan Dhruv bakalan ke gep nih
Vanessa
Marlo luv banget sama penjagaan kamu ke Maula/Heart/
Moonestella Dusklyn
Takut banget karena setiap kali rayden gak ada pasti maula celaka
Andrina Syah
Aduh marlo kamu lucu banget sih ngeles nya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!