Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Mobil hitam itu meluncur mulus memasuki gerbang mansion mewah milik keluarga Wiratama. Langit mulai meredup, warna jingga senja menghiasi langit sore. Kenzo duduk di kursi penumpang belakang, menatap kosong ke luar jendela. Di sisinya, Claudia menyandarkan tubuhnya dengan manja, menggenggam tangan Kenzo, seakan tak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka setelah pertemuan keluarga besar yang tegang namun menghasilkan keputusan penting—Kenzo resmi diangkat sebagai pewaris utama Wiratama Korporesen.
Namun, beban yang dibawanya jauh lebih berat daripada mahkota yang ia sandang.
Begitu sampai di rumah, Kenzo langsung menuju ruang kerja. Ia membuka dasi, membaringkan tubuh di kursi kulit hitamnya, menutup mata sejenak mencoba mengusir lelah dan pikiran yang tak henti berputar. Claudia menyusulnya beberapa menit kemudian. Ia berdiri di ambang pintu, memperhatikan Kenzo yang tampak lelah.
"Akhirnya semua orang tahu siapa yang paling pantas," ucap Claudia pelan, berjalan mendekat dan memijat bahu Kenzo dari belakang.
Kenzo membuka mata, menatap Claudia lewat cermin besar di meja kerjanya. "Tapi kakek memberi syarat. Satu tahun, Claudia. Kita harus punya penerus dalam waktu satu tahun… atau posisi itu bisa saja diambil alih orang lain."
Claudia berhenti memijat, lalu memutar tubuh Kenzo agar menghadapnya. "Itu sebabnya kamu harus kembali pada rencana awal. Liana harus hamil. Segera."
Kenzo terdiam. Ia menatap Claudia dengan dalam. Ada konflik di sana. Rasa bersalah, jijik, dan keterpaksaan.
Claudia mengerti keraguan itu, tapi ia tidak peduli.
"Kenzo..." katanya lembut namun tegas. "Kamu tahu ini satu-satunya cara. Aku sudah menyiapkan semuanya. Aku akan mengatur keberangkatanmu. Tak ada seorangpun dari keluarga yang akan mencurigai. Kamu akan pergi seolah-olah menjalankan tugas perusahaan ke cabang Wiratama di luar kota."
"Claudia, kau sadar apa yang kau katakan? Kau menyuruh suamimu tidur dengan wanita lain, dengan sadar, hanya demi warisan?"
Claudia tersenyum sinis. "Liana bukan wanita lain, sayang. Dia perempuan bayaran yang harus siap menuruti kita ... Dan kamu sendiri yang setuju dengan rencana ini dari awal. Ingat, kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang."
Kenzo menatap istrinya lekat-lekat. Claudia memang wanita cerdas, berkelas, tapi juga sangat ambisius. Ia tak hanya ingin menjadi istri dari pewaris Wiratama—ia ingin menjadi ibu dari pewaris berikutnya. Tanpa mau hamil.
Claudia kemudian berjalan ke meja, membuka map berisi dokumen perjalanan dan agenda kunjungan kerja palsu yang telah diatur.
"Semua sudah aku persiapkan. Sopir, tiket, dan dokumen perusahaan. Kamu akan berangkat malam ini , menginap satu Minggu. Maria sudah diberi tahu untuk menjaga Liana. Aku pastikan rumah tempat Liana tinggal bersih dari pantauan keluarga, termasuk kamera pengintai. Ini waktu terbaik."
Kenzo menghela napas berat. Dalam hatinya, ia merasa seperti boneka dalam permainan yang tidak bisa dihentikan. Tapi ini bukan soal dirinya lagi. Ini tentang masa depan perusahaan… tentang warisan… tentang kehendak kakeknya.
"Aku akan lakukan," akhirnya Kenzo berkata pelan.
Claudia tersenyum puas, berjalan mendekat dan mengecup kening Kenzo. "Bagus. Lakukan tugasmu. Dan pastikan kali ini berhasil. Aku tidak ingin mendengar kegagalan lagi."
Malam itu, langit semakin kelam, menutup hari dengan diam yang menggantung. Di mansion mewah itu, saling mencintai tapi juga saling menjebak dalam ambisi yang tak bertepi. Dan di sisi lain, ada Liana yang menunggu… dalam ketidaktahuan, dalam keterasingan, menjadi bagian dari rencana yang bahkan tak pernah ia sepakati.
Malam mulai turun dengan dingin yang merambat pelan. Langit gelap dihiasi bintang-bintang samar yang seolah tahu bahwa malam itu akan menyimpan cerita lain di balik bayangan pohon-pohon tinggi.
Sebuah mobil hitam mewah meluncur membelah jalan sunyi menuju kawasan perbukitan tempat villa Liana berada. Di dalamnya, Kenzo duduk dengan wajah tenang namun penuh tekad. Ia sudah memantapkan hati—ia tidak akan menunda lagi. Sudah dua hari ia membiarkan Liana sendirian, dan malam ini, ia akan menepati janji Claudia… dan juga janjinya pada dirinya sendiri.
Di kursi belakang, beberapa tas belanjaan berisi pakaian-pakaian mewah dari butik ternama tersusun rapi. Beberapa kotak kecil dari toko aksesori mewah, parfum, dan sebuah tas wanita berharga fantastis turut menyertai.yang sempat dibeli .
Entah dorongan dari mana yang membuatnya membeli semua itu. Mungkin karena rasa bersalah. Mungkin karena ingin membuat Liana senang. Atau… mungkin karena mulai tumbuh perasaan yang tidak pernah ia rencanakan. Kenzo sendiri tak ingin memikirkannya terlalu jauh.
“Jangan baper, Kenzo…” gumamnya pelan sambil menatap gelap di balik kaca mobil.
Sesampainya di depan gerbang villa, ia menekan klakson dua kali, tanda kedatangannya. Tak lama, lampu-lampu di sekitar gerbang menyala, dan suara roda gerbang otomatis yang bergerak menandakan bahwa seseorang di dalam sudah mengetahui siapa yang datang. Tak butuh waktu lama hingga pintu itu terbuka perlahan, menyambut kehadiran pria yang selama ini hanya menjadi bayangan dalam benak seorang wanita yang sedang menanti.
Seorang penjaga vila tergopoh keluar dan membungkuk sopan. "Selamat malam, Tuan Kenzo."
Kenzo mengangguk singkat dan kembali menatap ke depan. Dalam hitungan detik, mobil itu kembali bergerak masuk ke dalam halaman villa yang tenang dan tertutup.
Villa yang disediakan untuk Liana memang tak besar, tapi mewah dan terjaga privasinya. Dikelilingi taman dan kolam kecil, suasananya hangat, seperti rumah yang seharusnya memberi rasa nyaman.
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Kenzo turun tanpa banyak bicara, membuka bagasi dan mengambil sendiri kantong-kantong belanjaannya. Ia menarik nafas dalam, lalu mengetuk pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu dibuka dari dalam.
“Oh… selamat malam, Tuan Kenzo,” ucap Maria dengan gugup dan membungkuk sopan. “Maaf, nona Liana sudah tidur. Dia tadi kelelahan.”
Kenzo hanya mengangguk singkat, ekspresinya tetap dingin. “Tak apa. simpan ini untuk Liana.
“Tentu tuan , silahkan …” Maria segera membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Kenzo masuk.
Suasana di dalam vila terasa hangat dan tenang. Aroma lavender samar menguar dari diffuser yang menyala di sudut ruangan. Maria segera mengambil alih tas belanjaan dari tangan Kenzo.
Kenzo menahan tas terakhir yang ia bawa—sebuah kotak berisi tas tangan mewah. “Yang ini, biar aku sendiri yang berikan.”
Maria mengangguk patuh. “Kalau begitu, saya pamit ke kamar. Jika Tuan butuh sesuatu, silahkan panggil saya.”
Setelah Maria pergi, Kenzo berdiri sendiri di ruang tamu sejenak. Ia menatap tangga yang menuju lantai atas, ke arah kamar Liana. Jantungnya berdetak pelan tapi berat. Malam ini akan menjadi awal yang menentukan, tidak hanya untuk keluarganya—tetapi mungkin juga untuk dirinya sendiri.
Dan perlahan, ia mulai menaiki tangga.
Kenzo membuka perlahan pintu kamar Liana. Engsel pintu hanya mengeluarkan bunyi halus, nyaris tak terdengar. Aroma khas dari kamar itu langsung menyambutnya—harum mawar dan vanila yang samar namun memikat.
Di atas ranjang besar berlapis linen putih, Liana tampak tidur dengan damai. Ia mengenakan gaun tidur panjang berbahan tipis dan lembut, jatuh melapisi kulit beningnya bak embun pagi. Kenzo terdiam di ambang pintu, memandang pemandangan itu tanpa kata.
Tubuh perempuan itu terbaring menyamping, helaian rambutnya berserakan di atas bantal, menyisakan bagian wajah yang terlihat begitu tenang. Pipi Liana merona lembut, dan napasnya teratur—seakan tak terusik dunia.
Kenzo melangkah mendekat. Tangannya, yang terbiasa tegas dan dingin di ruang rapat, kini perlahan bergerak menyentuh kaki jenjang Liana yang sedikit tertekuk. Jari-jarinya mengelus kulit halus itu sejenak, menelusuri betis ke arah lutut, kemudian berhenti. Ia tidak ingin membangunkannya.
Pandangan Kenzo naik ke wajah Liana. Ia membungkuk sedikit, memperhatikan wajah itu dalam keheningan. Wajah tanpa riasan, polos dan damai. Dalam diam, ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Bukan karena cinta—mungkin lebih karena ikatan yang perlahan tumbuh dari keterpaksaan menjadi kebiasaan.
Ia membelai hidung Liana dengan ujung jari, lalu pipinya. Liana bergerak sedikit, menggeliat kecil dalam tidurnya, namun tak membuka mata. Ia hanya bergumam pelan, seolah mengakui kehadiran Kenzo tanpa benar-benar sadar.
Kenzo menarik napas panjang. Malam ini bukan sekadar tentang memenuhi syarat pewaris—ada hal lain yang ingin ia pastikan. Apakah perasaannya mulai berubah? Ataukah hanya rasa kasihan karena ia tahu, Liana hanyalah pion dalam rencana besar keluarga mereka?
Perlahan, ia duduk di pinggir ranjang. Menatap gadis itu sekali lagi sebelum akhirnya membisikkan, “Liana… aku di sini.”
Dan di dalam kamar yang senyap itu, malam mulai bergerak membawa dua hati dalam simpul takdir yang semakin rumit.
Kenzo membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan setelan santai berwarna gelap, Kenzo keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit basah, dan aroma sabun maskulin melekat pada tubuhnya. Tanpa banyak bicara, ia melangkah mendekat ke ranjang, tempat Liana masih terlelap dalam tidurnya yang damai.
Ia menatap wajah itu—wajah yang semakin lama mulai akrab dalam pikirannya. Sekilas, ia ingat kembali semua yang terjadi akhir-akhir ini. Rapat keluarga, tekanan dari sang kakek, dan permainan rumit yang melibatkan nama baik dan kekuasaan. Di tengah semuanya, Liana menjadi titik tenang... meski pertemuan mereka semula bukan karena cinta.
Kenzo menarik selimut dan membaringkan tubuhnya di samping Liana. Kasur empuk itu bergoyang pelan saat berat tubuhnya ikut membagi sisi ranjang. Ia menoleh ke arah perempuan itu, mengamati helai demi helai rambut Liana yang jatuh di atas bantal. Tangannya terangkat, menyibakkan sedikit rambut yang menutupi pipi wanita itu.
Lalu, perlahan, ia membungkuk. Bibirnya menyentuh bibir Liana dengan lembut—sebuah kecupan ringan, nyaris seperti bisikan. Bukan penuh hasrat, tapi ada ketulusan yang belum ia pahami sendiri. Liana bergerak kecil, bibirnya mengerjap seolah merasakan sentuhan itu namun masih terjaga dalam dunia tidurnya.
Kenzo menahan diri, tidak melanjutkan lebih dari itu. Ia hanya memandang wajahnya sejenak sebelum merebahkan diri sepenuhnya. Satu lengannya melingkari tubuh Liana, menariknya ke dalam dekapan hangat. Tidak ada kata, tidak ada tuntutan malam ini.
Malam itu, dalam keheningan vila yang tersembunyi jauh dari sorotan dunia, Kenzo memilih untuk memeluk Liana seperti seseorang yang tak ingin kehilangan pegangan. Entah sebagai calon ibu dari pewaris keluarga, atau... sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perjanjian.