NovelToon NovelToon
KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad

KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Petualangan / Fantasi Timur
Popularitas:1.1M
Nilai: 4.6
Nama Author: Agus Amir Riyanto

Karna, seorang pemuda sebatang kara yang dipungut sejak masih bayi oleh Mpu Angalas pada masa kerajaan Majapahit. Karna kemudian dididik berbagai ilmu kesaktian yang mengambil inti sifat Alam, yaitu Tirta Gumulung (Air), Tapak Dahana (Api ), dan Bayu Bajra (Angin). Di samping itu, Karna yang kemudian dikenal sebagai Ksatria Angker mendapat anugerah ilmu dari Alam Semesta yang merangkum semua sifat alam dalam ajian Sapu Jagad yang bersifat Langit dan Bumi. Ilmu inilah yang harus disempurnakan oleh Ksatria Angker dalam setiap petualangan dan pertempuran.
Setelah dinyatakan lulus belajar ilmu kerohanian dan bela diri oleh gurunya, Ksatria Angker berangkat ke Kota Raja Majapahit. Di sana ia bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada dan direkrut sebagai Telik Sandi ( mata-mata) yang bertugas melawan musuh-musuh Negara yang sakti secara pribadi untuk mewujudkan impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara.
Novel fantasi dunia persilatan ini bukan hanya bercerita tentang perkelahian dan jurus2 yang mencengangkan, namun juga ada intrik politik masa silam, strategi tugas mata-mata, juga dilengkapi dengan berbagai latar belakang sejarah, istilah-istilah Jawa Kuno yang diterjemahkan, serta penggambaran cara hidup masa lalu yang diharapkan mampu membuat pembaca ikut tenggelam ke alam pikiran pada masa Majapahit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus Amir Riyanto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23 KELAT BAHU SMARADAHANA

Debar hati Karna berlarian saat Savitri dipanggil Suta untuk mengucapkan selamat jalan. Waktu itu matahari sudah tergelincir ke barat. Karna sudah menceritakan pertemuannya dengan Kidang Panah kepada Ki Buyut Kebo Ireng yang dengan senang hati mengijinkan Julig dibawa ke Kotaraja. Demikian pula kepada Suta dan istrinya, Karna berpamitan untuk waktu yang belum bisa ditentukan.

Suta dan istrinya tak hentinya mengucapkan terima kasih atas pertolongan Karna yang telah mengubah kehidupan keluarganya bahkan kehidupan seluruh warga Gagak Nagara. Meski dalam hati Suta terselip sedikit kekecewaan mengapa Karna tidak bisa agak lama di Dahayu. Suta sesungguhnya berharap Karna tinggal beberapa bulan sampai lahir perasaan saling suka dengan Savitri. Ia sangat berharap Karna mau mengambil Savitri sebagai istrinya, dan Suta pun sangat meyakini Savitri sangat tertarik pada Karna sehingga tentu rumah tangga yang dibangun akan berbahagia dengan adanya cinta yang tumbuh alami. Namun karena alasan yang disampaikan Karna menyangkut kepentingan Negara, Suta tidak bisa menahan agak lama. Ia berharap di pertemuan terakhir ini mereka dapat saling mengikat janji secara pribadi untuk bertemu lagi di suatu saat nanti. Maka, ia sengaja memanggil Savitri agar dapat berbicara berdua dengan Karna. Ia sudah mengisyaratkan kepada istrinya agar nanti pura-pura sibuk di dapur sedang ia sendiri siap-siap berdalih agar tidak ikut dalam perbincangan.

Dara Savitri muncul dari dalam rumah ke pendapa kecil kediaman Suta yang setengahnya alam terbuka dengan pohon besar rindang sebagai peneduh dan penghasil sepoi angin. Desa Dahayu yang terletak di kaki gunung Mahendra telah meniupkan hawa sejuk sejak matahari mulai menjenguk arah barat. Obor pun telah menyala ditautkan di dua tiang pendapa sehingga cahya temaram menari-nari di wajah ayu Savitri.

Meski sebagai rakyat biasa, Savitri hanya mengenakan busana Gagampang Putri ( pakaian sehari-hari untuk wanita biasa), namun kecantikan alami dan sikapnya yang sangat terdidik membuat tampilan Savitri tidak kalah anggun dibandingkan dengan putri bangsawan tinggi.

Rambut Savitri hitam legam digelung Kekendon ( gaya gelung miring ke kiri), menyibak daun telinga terpasang Sekartaji ( hiasan bunga) putih yang terselip, di keningnya bersinar Tilaka (hiasan dahi) dari perak dengan motif potongan bunga Cempaka, alisnya berbentuk wajar Halis Luncip Candra Tanggal (alis melengkung seperti bulan sabit), matanya yang bersinar jernih lebar dengan sudut menyipit Sipat Pupus Padu (garis kelopak mata yang berpadu di sudut mata), berbayang bedak tipis Jenu Kanaka (bedak keemasan) di tulang pipinya, bibirnya yang tipis sedikit merekah warna merah jambu tersamar sedikit oleh Lati Aruna ( gincu nuansa coklat). Saat Savitri berbicara membuka bibirnya, samar-samar terlihat giginya yang kecil-kecil tertata Miji Timun ( seperti biji timun).

" Dalem, Rama, " kata pertama Savitri setelah duduk bersimpuh mengucapkan salam kepada Suta yang memanggilnya.

Suta menarik napas panjang, menatap tampilan putri tunggalnya yang sangat menawan. Tampak jelas Savitri sengaja merias diri secantik mungkin karena tahu Karna ada di rumah. Suta menyadari bahwa hati Savitri telah terpikat kepada Karna. Perasaan Suta sedikit nyeri membayangkan kekecewaan Savitri nanti setelah tahu bahwa pertemuan ini adalah ucapan perpisahan dari Jaka Wingit.

" Maksudku memanggilmu agar kau mengucapkan terima kasihmu kepada kakangmu Jaka Wingit yang akan pergi ke Kotaraja malam ini," ucap Suta lirih.

Dan benar saja. Hati Savitri yang sedang berbunga-bunga karena melihat Karna datang lagi ke rumahnya sehingga seharian ia merias diri secantik mungkin seketika tersentak. Jiwa perawan Savitri yang sedang jatuh cinta tidak mampu ia sembunyikan.

" Hah? Kakang Jaka Wingit mau pergi? Malam ini juga?" tanpa sadar Savitri sedikit bersuara keras dan tertangkap jelas nada kecewa di dalamnya.

Suta berdehem sebagai isyarat menegur ketidakpantasan putrinya yang setengah menjerit. Namun ia pun memaklumi kekecewaan Savitri yang kini menutup bibir dengan telapak tangan menyadari ketidaksopanannya.

" Maaf, saya tidak menduga saja," sambung Savitri sambil langsung menunduk menyembunyikan rasa sedihnya.

Suta berdiri dari tempat duduknya, " Dhimas Jaka Wingit, saya mohon diri dulu. Lupa tadi belum mengandangkan kerbau. Takutnya kalau tidak dikandangkan bisa diserang gerombolan anjing hutan."

Karna mengangguk. Dalam hatinya juga ingin berbicara dengan Savitri secara empat mata untuk berpamitan, " Silahkan, Kang Suta."

" Savitri, jangan lupa ucapkan terima kasih dan sesanti puja sebaik-baiknya untuk Kangmasmu Jaka Wingit, " ujar Suta sebelum berjalan meninggalkan mereka berdua.

Savitri yang sedang dilanda gundah tidak mampu berkata-kata selain mengangguk dan mengangkat tangan sembah sebagai tanda mengiyakan perintah ayahnya.

Sepeninggal Suta, suasana menjadi serba salah. Baik Karna maupun Savitri sebagai perjaka dan perawan yang belum memiliki pengalaman jatuh cinta dengan lawan jenis dicekam perasaan kikuk apa yang harus dilakukan. Di dalam hati sebenarnya bergemuruh jutaan kata yang ingin terlontar, namun tak ada secuil katapun mampu keluar dari mulut.

Savitri diam karena sebagai wanita sesungguhnya kurang pantas memulai pembicaraan lebih dulu. Demikian pun Karna tiba-tiba kelu lidahnya terlanda pesona Savitri yang demikian besar. Karna teringat pada saat dirayu oleh sinden Larasati yang sensual, memang sempat terbangkit birahinya. Namun, sedahsyat-dahsyatnya godaan Larasati yang bahkan sampai telanjang bulat di hadapannya, perbawa pesona Savitri sangat-sangat berbeda. Begitu halus, lembut, namun sangat kuat mencengkram jiwa. Seperti mengisi penuh setiap kekurangan yang ada pada diri Karna. Seperti melingkupi setiap pikiran hingga helaan napas berubah menjadi dalam dan halus. Ada bayangan Savitri di matanya. Ada wajah ayunya di dadanya. Ada nama Savitri di tiap desir darah Karna.

Mereka hanya mampu terdiam sampai beberapa lama hingga timbul perasaan jengah untuk mengakhiri kebekuan yang tercipta.

" Eee...," Karna membuka mulutnya.

" Kang.. " Bersamaan itu juga Savitri ingin bicara.

Dua-duanya tersenyum menyadari mereka berbicara hampir bersamaan.

" Kakang dulu yang bicara," ujar Savitri dengan tersipu.

Karna menghela napas pendek, " Iya, aku akan pergi malam ini, Savitri."

Savitri yang ingin berbicara dengan perasaan lupa pada pesan ayahnya yang menyuruhnya berterimakasih. Semua itu tidak penting lagi baginya. Yang ia butuhkan hanya jawaban kapan Jaka Wingit yang ia cintai akan kembali nanti.

" Kalau saya boleh tahu, berapa lama Kangmas akan pergi? Apa nanti kembali ke sini?" tanya Savitri tanpa basa-basi.

Karna menggelengkan kepala," Sejujurnya aku tidak tahu. Temanku hanya bilang ada tugas Negara. Aku belum tahu penjelasannya. Entah lama atau sebentar, aku belum tahu, Nimas. "

" Tapi Kangmas Wingit sudah jadi penguasa Gagak Nagara. Jadi pasti nanti kembali lagi ke sini kan?" ujar Savitri sedikit mendesak juga untuk menghibur diri bahwa Jaka Wingit pasti kembali.

Karna menarik napas panjang. Sebenarnya ia ingin berterus-terang bahwa statusnya sebagai penguasa Gagak Nagara hanya sekedar siasat saja, namun ia tidak ingin mematahkan harapan Savitri, " Jika Sanghyang Widhi Wasa memberikan jalan untuk kembali, aku pasti kembali."

" Kalau tidak?" Savitri mendesak karena menangkap nada mengambang dalam jawaban itu.

" Siapa manusia yang bisa memastikan, jika Sanghyang Maha Tunggal memiliki rencana lain? Tapi aku akan berupaya untuk kembali jika urusannya sudah selesai, Savitri."

Savitri diam saja. Ia menundukkan wajahnya dan membisu. Karna heran dengan perubahan itu.

" Ada apa, Nimas?"

Savitri tiba-tiba bangkit dari duduknya. " Sebentar, Kangmas jangan pergi dulu. Saya ingin menitipkan sesuatu pada Kangmas."

Belum sempat Karna menjawab, Savitri sudah berjalan sedikit cepat masuk ke rumah. Sebentar kemudian keluar lagi dengan menggenggam sesuatu.

" Kangmas mau memakai ini dalam perjalanan? " ujar Savitri sambil menyodorkan genggamannya.

" Apa itu, Savitri?'

" Kelat Bahu ( gelang yang dikenakan sebagai perhiasan di bahu). Memang tidak bagus karena tidak terbuat dari emas. Tapi kelat bahu ini buatan tangan saya sendiri. Saya buat dari kulit ular besar. Saya sendiri yang mengeringkan, membentuk dan mengukirnya. Terimalah ini kalau Kangmas berkenan memakainya."

Karna menerima sepasang kelat bahu yang diberikan Savitri. Memang kelat yang tidak lazim. Biasanya kelat terbuat dari logam seperti emas, perak, atau perunggu. Baru kali ini ia melihat kelat berbahan kulit ular yang diukir dengan motif naga.

" Ini bagus sekali, Savitri. Tak disangka kau bisa membuat kelat dari kulit ular dan bagus sekali."

Savitri tersenyum tipis. Bangga namun juga sedih karena mengingat perpisahan yang akan terjadi." Kangmas Wingit mau memakainya?"

" Tentu! Ini aku pakai sekarang, " ujar Karna sambil mengenakan kelat itu di lengan bahunya. Ternyata pas sekali.

" Di kelat yang satu di bagian dalamnya ada ukiran nama saya, Kangmas" gumam Savitri.

" O ya?" Karna memeriksa kelat itu. '"Oh...ini kelat yang ada namamu kupakai di bahu kanan." ujar Karna. Namun Savitri mendadak diam tak menjawab.

Karna menoleh ke arah Savitri karena Savitri tiba-tiba membisu. Savitri menundukkan wajahnya. Tiba-tiba Karna melihat bahu Savitri bergerak sedikit terguncang.

Karna menekuk lututnya setengah berjongkok untuk melihat wajah Savitri yang menunduk.

Ada sebutir air mata jatuh di pipi Savitri. Karna yang sesungguhnya sudah jatuh hati pada Savitri spontan memegang wajah jelita itu dan mengusap air mata yang menitik dengan ujung jari.

" Nimas, jangan menangis..."

Savitri memutuskan untuk tidak lagi menutupi perasaan hatinya yang sungguh-sungguh takut jika Jaka Wingit meninggalkan dirinya untuk selamanya, " Berjanjilah, Kangmas. Berjanjilah nanti kita akan bertemu lagi."

Kerongkongan Karna terasa menyempit. Sebenarnya ia pun tidak ingin berpisah dengan Savitri dalam waktu secepat ini. Namun tugas Negara adalah pesan gurunya yang tidak boleh diabaikan karena alasan apapun.

" Iya, kita akan bertemu, Nimas. Aku janji..."

Entah siapa yang memulai terlebih dulu. Tiba-tiba mereka sudah saling memeluk. Karna mengusap-usap rambut Savitri, sementara Savitri mengusap bahu Karna yang mengenakan kelat kulit ular pemberiannya.

***

Karna dan Julig meninggalkan rumah Suta sekitar waktu Sirep Bocah ( saat kanak-kanak tidur, dalam waktu sekarang sekitar jam 9 malam). Dengan menaiki Kuda Gelap yang sudah terbiasa berjalan di tengah malam, Julig yang duduk di belakang memegang obor sebagai penerangan karena bulan sedang tertutup awan pekat sehingga malam gelap gulita. Hanya membutuhkan waktu sepembakaran dupa mereka berdua bertemu dengan Kidang Panah yang telah menunggu di tugu Gagak dengan kuda berwarna coklat.

Tanpa banyak basa-basi mereka bertiga berangkat ke timur. Perjalanan mereka akan memakan waktu cukup lama, karena jarak Gagak Nagara dan Kotaraja sangat jauh dan harus melewati banyak gunung, sungai, rawa-rawa, hutan, jurang, serta daerah-daerah liar yang rawan kejahatan. Kidang Panah berjanji akan menjelaskan detail tugas yang mereka emban esok hari saat beristirahat di warung atau penginapan di kota terdekat.

Kepribadian Julig yang hangat dan pandai bicara membuat suasana di perjalanan menjadi sangat cair. Tidak perlu waktu lama, komunikasi antara Julig dan Kidang Panah yang baru saja saling kenal langsung terjalin baik. Beberapa kali Kidang Panah yang berpembawaan dingin dibuat terpingkal-pingkal oleh lelucon Julig atau saat Julig iseng-iseng meniru suara berbagai binatang.

Sementara Karna terlihat pendiam seperti biasanya. Bahkan lebih diam lagi, pikirannya masih tertahan pada sosok Savitri yang harus ditinggalkannya untuk waktu yang belum bisa ditentukan. Hatinya dipenuhi nyanyian lirih antara semangat untuk berbakti kepada Tanah Pertiwi dan syahdunya rindu bersatu dengan Savitri.

Duh dhiajeng pemilik cahya mata penerang jiwa,

berapa jaman aku harus dilahirkan lagi

tuk menyelesaikan satu kidung tentang dirimu?

Sebab tiap kutatap netramu

ku gugup oleh gegap tetabuhan detak jantung

yang menggagapkan mulut tuk berkata,

betapa mulia Dewata yang telah menitipkan bulan sabit di lengkung alismu,

dan kenes tertata wicara caramu menggerakkan bibir yang berpoles tipis lati aruna,

maka setiap jaman aku hanya mampu mengembangkan satu baris bait saja,

selanjutnya alam bisu menelanku dalam diam pesonamu.

Aku merambat dari pekatnya alas Sunyakama hanya untuk dirimu,

bahwa di samping indah bebungaan liar di hutan, adalah kau ratunya kegemilangan warna,

dan melati ada hanya untuk disempurnakan sebagai lulur menurmu agar wanginya nyata mengharum di tiap sibak gerak tubuhmu.

Melunakkan hati yang keras,

menggemulaikan gerak nan kaku.

Savitri, aku pergi

meninggalkan hatiku

menitipkan smaradahana yang sudah terlanjur membara,

jangan padamkan sampai aku kembali

***

Tata Rias Gagampang Putri ( Riasan Wanita Awam pada jaman Majapahit) kira-kira seperti inilah Savitri

1
Bambang Sukamto
cerita yang menarik
Leori Id
mau pingsan izin dulu /Smirk/
Dar Darminadi
ayoooooooo terusannya
Lilik Muliyadi
hadir
Lilik Muliyadi
savitrinya mirip Dian Nitami hahaa
Lilik Muliyadi
aku msh menyimak
Lilik Muliyadi
lumayan
alurnya TDK terfokus pada satu pemeran
author mencoba gaya novelis zaman ko ping ho
Windy Veriyanti
ayo dong, Author...dilanjutkan ceritanya...✊
Windy Veriyanti
sisipan cerita wayang yang menambah wawasan 👍
matur nuwun 🙏
Windy Veriyanti
ambisi dan niat buruk 😤
Windy Veriyanti
Pasukan khusus Bhumi Majapahit sangat kuat dan hebat ✊✊✊
Windy Veriyanti
Bhumi Majapahit sangat maju pada jamannya 👍
Windy Veriyanti
hebat kapal raksasa jawa jung 👍👏
Windy Veriyanti
indah sekali Kotaraja Majapahit 👍👍👍
Windy Veriyanti
Jaka Julig...Sang Murli Katong
Windy Veriyanti
Puja Jagad Dewa Bathara...
berkah untuk Jaka Julig
Windy Veriyanti
ternyata...ohh ternyata...
Windy Veriyanti
hahh...😰
sungguh sukses mampu mencampuradukkan perasaan 😆
Windy Veriyanti
bikin tegang membacanya 😓
Windy Veriyanti
adegan ini jika divisualisasikan pasti sangan bagus..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!