ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Memberanikan Diri
Selesai sarapan, Elina membawakan setelan kerja Adrian dan meletakkannya di atas tempat tidur. Matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk cahaya keemasan di atas lantai kayu. Suasana kamar mereka hangat, bukan hanya karena sinar matahari, tapi karena kehadiran dua jiwa yang mulai saling memahami lebih dalam dari sebelumnya.
Adrian berdiri di depan cermin, membuka kancing kemeja tidurnya perlahan. Tapi sebelum ia sempat menyelesaikannya, tangan Elina terulur pelan.
"Biar aku bantu," ucapnya, nyaris berbisik.
Jemari Elina menyentuh kancing demi kancing di dada suaminya. Gerakannya pelan, hati-hati, tapi pasti. Bukan karena ia belum pernah melihat tubuh itu sebelumnya, tapi pagi ini terasa berbeda. Lebih nyata. Lebih... dalam.
Dan ketika kancing terakhir terbuka, Elina tak sengaja menatap lekat perut berotot Adrian, dada bidang yang terbuka lebar di hadapannya. Pemandangan itu memerangkapnya dalam diam beberapa detik.
Pipinya memerah. Matanya membelalak sedikit sebelum buru-buru menunduk, pura-pura mencari letak kancing berikutnya yang sebenarnya sudah tak ada.
Adrian menyadarinya.
Senyumnya melengkung... goda, puas, dan penuh kenakalan kecil. "Hmm... kamu selalu seperti ini setiap kali lihat perutku?"
Elina tersentak pelan, buru-buru menjauh setengah langkah. "Aku tidak, aku cuma..."
"Cuma apa?" suara Adrian merendah, makin dekat. "Cuma terpesona?"
Elina mendesah kecil, lalu memalingkan wajah. "Sudah ya, mungkin... bath tub-nya sudah penuh," katanya cepat, mencoba kabur dari keheningan panas yang perlahan membakar kulitnya sendiri.
Adrian terkekeh pelan. Tawa rendah yang membuat bulu kuduk Elina berdiri.
"Kalau kamu terus begini, sayang... bath tub itu bisa menunggu. Tapi aku tidak."
Elina menoleh, melempar pandang separuh jengkel, separuh malu. "Tolong berhenti menggoda."
Adrian hanya mengangkat bahu. "Kamu yang memulainya. Dengan pipi merahmu itu."
Elina meraih bantal kecil dan melemparkannya pelan ke dada suaminya. Tapi alih-alih menghindar, Adrian menangkapnya dengan mudah. Ia mendekat lagi, jemarinya menyapu pelipis Elina, membenarkan helai rambut yang jatuh.
"Pagi ini kamu terlalu cantik," bisiknya lembut. "Aku jadi susah berkonsentrasi untuk pergi kerja."
Elina hanya bisa menunduk, senyumnya mencuri keluar dari ujung bibir. Hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin karena kata-kata Adrian. Mungkin karena tatapannya. Mungkin karena, untuk pertama kalinya... ia tidak lagi ingin menahan apa yang tumbuh di dadanya.
...****************...
Setelah tawa dan kehangatan pagi mereda, mereka kembali ke ritme yang mulai terasa familiar, peran, kewajiban, dan dunia masing-masing yang menanti untuk dipenuhi.
Elina kembali ke ruang makan, membantu Claire menyelesaikan sarapannya sambil sesekali melirik jam dinding. Waktu selalu terasa berjalan lebih cepat saat hati sedang bahagia. Setelah Claire selesai, Elina mengemas bekal kecil dan memeriksa ulang buku-buku pelajaran yang akan digunakan hari itu. Di sela aktivitasnya, ia juga menyempatkan menyalakan air panas untuk termos Adrian, seperti kebiasaannya belakangan ini. Hal-hal kecil yang perlahan menjadi caranya mencintai.
Sementara itu, Adrian sudah mengenakan jas kerjanya. Ia mengambil map penting dari ruang kerja, mengecek ulang jadwal rapat yang padat di ponselnya, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu depan. Tapi sebelum keluar, ia menyempatkan diri kembali ke dapur, sekadar menyentuh bahu Elina dari belakang.
"Jangan lupa makan siang," bisiknya, lalu mengecup cepat keningnya.
Elina mengangguk. "Kamu juga. Jangan kerja terlalu keras."
Setelah itu, mobil hitam Adrian meluncur pergi. Dan Elina pun berangkat bersama Claire ke sekolah sambil terus mengenakan senyum kecil di bibirnya.
Hari-hari berlalu, dan mereka kembali disibukkan oleh dunia yang sudah mereka kenal sebelum pernikahan ini dimulai, Adrian dengan pertemuan, laporan, ekspansi bisnis dan tekanan kantor, Elina dengan tanggung jawab sebagai guru TK, jadwal mengajar. Mereka berusaha menyeimbangkan waktu, untuk keluarga, untuk diri sendiri, dan untuk satu sama lain.
Kadang malam datang terlalu cepat, menyisakan hanya pelukan singkat sebelum tubuh menyerah pada lelah. Kadang juga ada pesan singkat di siang hari, tentang rindu kecil, atau sekadar "sudah makan?" yang membuat keduanya tersenyum di tengah kesibukan masing-masing.
Tapi yang membedakan hari-hari mereka sekarang dengan sebelumnya adalah satu hal: cinta yang mulai tumbuh dan dipelihara, walau dalam diam, walau tak selalu sempat diucap. Ada rasa yang kini tinggal di sela-sela kesibukan, hadir di dalam bekal, dalam lirikan mata sebelum berangkat, dalam pelukan malam yang tak lagi terasa dingin.
Mereka masih belajar.
Tapi kini, belajar itu tak lagi terasa seperti beban. Melainkan sesuatu yang ingin dilakukan, untuk satu sama lain.
...****************...
Malam itu rumah tampak tenang. Lampu-lampu temaram menciptakan suasana hangat di ruang tengah. Aroma lembut dari diffuser melayang pelan di udara, menenangkan dan nyaris membuat siapa pun lupa bahwa hari ini adalah hari biasa.
Elina menunggu di ambang ruang tamu, mengenakan pakaian malam yang sangat tidak biasa untuknya, pemberian langsung dari Elizabeth yang dengan gamblang mengatakan, "Cinta tumbuh dari gairah juga, Nak." Gaun satin berwarna lembut itu begitu tipis dan jatuh mengikuti lekuk tubuhnya, menyisakan cukup banyak ruang bagi imajinasi. Kulitnya meremang, bukan karena dingin, tapi karena kesadaran penuh bahwa dirinya malam ini sedang mencoba menjadi sesuatu yang berbeda... lebih berani, lebih jujur terhadap hasratnya sendiri.
Pintu depan terbuka.
Adrian melangkah masuk dengan langkah tenang, tubuhnya masih dibalut jas kerja yang sempurna. Ia berhenti sejenak ketika melihat sosok Elina berdiri di sana, dalam balutan tipis malam yang nyaris seperti mimpi.
Mata pria itu menyipit kecil, lalu senyuman mengambang di sudut bibirnya. "Aku hampir yakin aku salah masuk rumah," ucapnya pelan, suara baritonnya terdengar lebih dalam dari biasanya.
Elina menunduk sedikit, pipinya memanas. Tapi ia melangkah pelan mendekat, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. Tangannya terulur, perlahan membantu melepaskan jas yang membalut tubuh suaminya. Jari-jarinya sempat bersentuhan dengan dada Adrian yang masih tersembunyi di balik kemeja putih itu, hangat, kuat, dan nyata.
"Adrian..." gumamnya. "Kamu mau makan malam dulu... atau mandi dulu?"
Adrian menatap wajah istrinya, lama. Sorot mata itu tidak seagresif biasanya, tapi dalam dan nyaris menyentuh ke dalam hatinya.
"Claire sudah tidur?" tanyanya pelan.
Elina mengangguk. "Sudah... sejak sore tadi."
Senyum Adrian melengkung penuh arti. Ia mendekat satu langkah, lalu berkata dengan suara yang lebih rendah, nyaris berbisik di telinga Elina, "Kalau begitu... bisakah kamu membantuku mandi terlebih dahulu?"
Nada suaranya mengandung tantangan yang halus, bercampur gurau, namun jelas menyiratkan sesuatu yang lebih. Smirk nakal bermain di bibirnya.
Elina tercekat sejenak. Wajahnya memerah hingga ke telinga. Tapi ia tak bergeming. Ia hanya menunduk, menggigit pelan bibir bawahnya, berusaha mengendalikan rasa gugup dan desir asing di tubuhnya. Ia tahu, ini bagian dari keputusannya malam ini. Ia tahu, dirinya yang memulai semua ini. Dan ia tidak akan mundur sekarang.
Tangannya terulur sekali lagi, membuka dua kancing teratas dari kemeja Adrian. Kali ini pelan-pelan... dengan sengaja. Ketika kancing ketiga terbuka, dan matanya tak sengaja menangkap garis otot perut Adrian yang sempurna, Elina tersipu malu dan buru-buru berpaling.
Adrian terkekeh pelan melihat reaksi polos namun menggoda itu. "Kamu yakin siap?"bisiknya.
Elina menelan ludahnya pelan, lalu mengangguk, meski tak menatap langsung ke mata pria itu. "Aku yang memulai... aku akan menyelesaikannya," jawabnya nyaris tak terdengar.
Adrian tertawa kecil, tawa yang dalam dan maskulin. "Kalau begitu, ayo ikut aku..." bisiknya.
Malam itu bukan sekadar tentang tubuh yang saling mendekat. Tapi juga dua hati yang perlahan melepaskan lapisan terakhir dari keraguan mereka.