"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Tanda-Tanda Kehidupan Baru
Pagi itu, angin dari Pantai Lasonrai berembus lembut membawa aroma laut yang asin dan menyegarkan. Di balik tawa anak-anak yang sedang belajar iqra, Aisyah memegang perutnya pelan. Sudah beberapa hari ia merasa mual, tubuhnya cepat lelah, dan ada perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan. Tapi ia belum berani menyimpulkan.
Ketika Khaerul kembali dari ladang, ia melihat Aisyah duduk diam di tangga rumah panggung mereka. Wajahnya pucat, tapi senyumnya tetap ada.
"Sayang, kau sakit?"
Aisyah menggeleng pelan. "Tidak... hanya merasa aneh. Aku sering mual akhir-akhir ini."
Khaerul langsung duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya. "Apa mungkin...?"
Aisyah mengangguk samar. "Aku juga berpikir begitu. Tapi belum yakin."
Hari itu, Khaerul membawanya ke bidan desa. Hasilnya membuat dada mereka meledak dengan kebahagiaan yang sederhana namun suci. Aisyah sedang mengandung. Buah dari cinta mereka, tumbuh dalam rahim seorang wanita yang telah melalui badai demi badai.
Berita itu tersebar cepat di Batupute. Warga menyambutnya dengan sukacita. Bahkan Pak Samad, yang kini mulai berubah lebih lembut, datang membawa seikat daun kelor dan telur ayam kampung sebagai bentuk selamat.
Namun di tengah kebahagiaan itu, satu kejadian tak terduga muncul kembali. Seorang nelayan tua datang ke rumah mereka membawa sebuah botol kaca yang ditemukan tersangkut di akar pohon bakau dekat Pantai Lasonrai. Di dalamnya, ada secarik kertas yang sudah agak pudar dan sebuah liontin kecil berwarna hitam.
Aisyah mengambil kertas itu dan membaca dengan gemetar. Tulisannya hampir tak terbaca, namun ia mengenali tulisan tangan itu—tulisan yang sama dengan catatan dalam kotak Mahfudz. Isinya:
"Anak perempuan Halimah adalah kunci untuk membuka bagian terakhir dari catatan Mahfudz. Bila ia telah menemukan kekuatan dalam dirinya, bawa liontin ini ke tempat semuanya dimulai."
Aisyah menatap liontin hitam itu. Ada simbol bulan sabit di tengahnya, sama persis dengan simbol yang terukir di halaman terakhir jurnal Mahfudz—halaman yang dulu tak dapat dibuka karena dilem rapat. Sekarang, mungkin waktunya telah tiba.
Khaerul menggenggam bahu Aisyah. "Tempat semuanya dimulai... itu berarti rumah tua itu?"
Aisyah mengangguk. "Kita harus kembali ke sana."
Namun langkah mereka tak akan mudah. Ada suara yang kembali muncul di malam-malam mereka—suara bisikan halus, seperti desir angin yang membawa pesan dari masa lalu. Dan kini, dengan kehidupan baru tumbuh dalam rahimnya, Aisyah harus lebih kuat dari sebelumnya.
Malam harinya, Aisyah bermimpi. Dalam mimpinya, ia berada di tengah hutan dengan pohon-pohon tinggi dan suara air mengalir dari kejauhan. Di tengah cahaya remang, tampak sosok wanita berjubah putih duduk di atas batu besar. Wajahnya samar, tapi suaranya jelas.
"Aisyah... kebenaran akan menuntut keberanian. Kau akan diuji bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai pewaris sebuah kebenaran yang hampir dilupakan. Bawa liontin itu ke cahaya, dan kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya."
Aisyah terbangun dengan tubuh berkeringat. Mimpinya terasa begitu nyata, seakan bukan mimpi, melainkan pesan yang dikirim dari dunia yang tak terlihat.
Keesokan harinya, mereka memutuskan pergi ke rumah tua itu lagi. Perjalanan ke sana tidak mudah. Hujan deras turun tiba-tiba, membuat jalanan licin dan beberapa bagian hampir tak bisa dilewati. Namun Aisyah bersikeras. Ia merasa ada kekuatan yang menuntunnya.
Sesampainya di rumah tua, mereka menuju ruang tempat kotak Mahfudz dulu ditemukan. Di sana, di sudut dinding yang lembab, terdapat rak kecil yang dulu tampak tak berarti. Namun kini, Aisyah merasa tertarik ke arahnya. Ia menyentuh sisi rak itu, dan tiba-tiba terdengar bunyi klik kecil. Bagian belakang rak terbuka perlahan, memperlihatkan ruang rahasia kecil.
Di dalamnya, terdapat kotak kayu kecil lain yang dihiasi ukiran bulan sabit. Aisyah mengambil liontin dari nelayan itu dan meletakkannya di atas simbol. Seolah mengenali kunci, kotak itu terbuka dengan sendirinya.
Di dalamnya, hanya ada satu lembar surat tua dan foto hitam-putih. Surat itu bertuliskan:
"Untuk cucuku, Aisyah. Jika kau menemukan ini, artinya kau telah melalui jalan yang panjang. Ketahuilah, kau bukan hanya pewaris darah, tapi pewaris tanggung jawab. Lindungilah warisan ini dengan iman dan keberanian. Dan satu hal terakhir, jangan percaya pada mereka yang terlalu manis saat bicara. Salah satu dari mereka adalah penyebab semua ini."
Aisyah menatap foto itu. Terlihat Mahfudz muda, Halimah kecil di pangkuannya... dan seseorang di latar belakang yang tak asing—Pak Samad.
Tubuh Aisyah menggigil.
"Dia... sudah mengenal keluargaku sejak dulu. Tapi mengapa ia menyembunyikannya?"
Khaerul mengepal tangannya. "Mungkin ia tahu lebih banyak dari yang kita bayangkan. Dan mungkin... dia bukan hanya penghalang dakwah kita. Tapi juga penjaga rahasia kelam keluarga."
Aisyah menatap foto itu lama, lalu menyimpannya kembali dalam kotak. Ada satu bab lagi yang harus mereka ungkap. Tapi untuk saat ini, satu hal pasti: hidup baru tumbuh di dalam dirinya, dan ia akan menjaganya dengan sepenuh jiwa—seperti ia menjaga kebenaran yang mulai muncul dari gelap.