Super nyesek.
Jevander Park menyudahi hubungan percintaannya dengan Roze Moza setelah mengetahui background keluarga Roze yang tidak jelas, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kekasinya merupakan putri dari seorang germo alias mucikari kelas kakap.
"Aku tidak bisa memilihmu, karena setelah ini aku akan menikahi sahabat baikku."
Dunia terasa berhenti. Roze lagi-lagi kehilangan seseorang yang ia cintai dengan tulus. Ayah yang tidak menginginkannya, ibu yang tega meninggalkannya dan hidup bahagia dengan anak tiri dan suami baru, sekarang giliran kekasih yang sudah ia percayai selama ini, pun melakukan hal yang sama. Salahkah jika Roze marah besar dan membakar semua kenangan?
Kelahiran tiga bayi kembar ternyata mampu mengubah banyak hal. Kehidupan Roze kini penuh warna. Tapi siapa sangka, Ezralia Moze, anak perempuan Roze memiliki dendam membara terhadap ayah yang bahkan tidak mengenalnya.
Sedangkan Daniel Moza, ia bahkan tidak peduli siapa ayahnya. Tapi berbeda dengan Darriel
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahagia Memiliki Kalian
Ingatan Darriel rupanya cukup kuat mengingat moment masa kecilnya.
"Bunda, coba tebak, aku baru saja bertemu siapa?"
Roze baru saja meletakkan bokong untuk duduk di belakang kemudi. Berpikir bahwa putranya ini tidak banyak mengenali orang, Roze tidak tahu harus bagaimana menebaknya.
"memangnya siapa?"
"Seorang wanita, dia ... ibunya ayah."
Alis mata Roze terangkat, mengerut. "Kau yakin?"
"Yakin, Bun. Meski tidak langsung mengenalinya, tapi aku yakin itu. Oia, sepertinya dia sakit, Bunda. baru saja dia jatuh pingsan di sekitarku dan sudah dibawa pergi." terang Darriel.
"sakit?" Roze mengulang kata itu seraya berpikir bagaimana ia harus bereaksi atas pemberitahuan dari putranya ini.
"Ya... begitulah manusia, Darriel. Setiap orang bisa sakit kapan saja."
Dan atas penyakit yang kau alami, Bunda adalah orang yang menyebabkannya. Maafkan Bunda, Darriel.
.
Jevan Park sedang menyaksikan pemotretan yang sedang berlangsung. Setelah ia perhatikan, Daniel memang memiliki pesona yang kuat. Apa lagi saat anak itu kini mau berpose dengan senyuman setelah bayaraannya ditambah.
Kenapa aku merasa senyuman orang ini mirip ... denganku?
Jevan merasa seakan sedang berdiri di hadapan cermin ketika melihat wajah tersenyum Daniel.
Kalau dulu kami menikah, apa ... wajah anakku akan seperti ini juga?
Selesai sudah pemotretan. Daniel keluar dari ruangan.
"Daniel, ayo ikut saya sebentar."
Entah akan dibawa ke mana, tapi Daniel mengikuti langkah Jevander Park.
Di ruang kerja CEO. Beberapa menu hidangan telah tersedia, termasuk pencuci mulut.
"Ayo Daniel, temani saya makan."
Daniel tidak bisa berbohong jika perut kosongnya sedang berteriak kesenangan melihat banyaknya makanan lezat.
Namun, ekspresi wajahnya yang biasa saja mampu menutupi kegirangan perutnya.
Ia tidak lagi menolak ajakan Jevan seperti biasanya, melainkan ikut menyantap dengan tenang.
Sebelum mendekati ibunya, ada baiknya di mulai dari anaknya dulu.
Tak munafik, ini adalah salah satu strategi yang telah Jevan pikirkan.
"Daniel, bagaimana kabar kembaranmu?" Jevan serius ingin tahu kabar kembaran perempuan Daniel.
"Dia sehat." jawab Daniel dengan singkat.
"Oia, kalian punya adik kan? Apa dia laki-laki atau perempuan?"
"Dia laki-laki."
Baiklah, dia merespon dengan baik.
"Kalau boleh tahu, orang seperti apa mendiang ayahmu?" Jevan berpikir apa mungkin dirinya bisa sedikit meniru ayah dari anak-anak Roze, pria yang telah berhasil mendapapatkan cinta dan menikahi Roze Moza.
Danie hanya membisu, dengan lancar ia memasukkan berbagai menu ke dalam mulutnya secara bergantian.
"Aku tidak mengingat tentang ayahku. Dia mati sebelum bunda melahirkan kami bertiga."
Uhuk uhuk uhuk.
Jevander tersedak karena pernyataan Daniel. Daniel menyadari bahwa pernyataan yang keluar dari mulutnya memang sedikit mengejutkan Jevander.
Jadiii ... Roze telah melahirkan anak kembar tiga? Mengagumkan sekali dia.
.
Di posisi lain. Jungki sedang menunggu di depan sekolah menunggu keluarnya sang keponakan. Jangan tanya siapa, sudah pasti Ezralia.
"paman!" remaja itu memanggil dengan suara manja yang di buat-buat.
Jungki menyambutnya dengan membukakan pintu mobil. "Silakan masuk, Tuan puteri ..."
Jungki membawa Ezra melaju di jalan. Ezra terlihat sangat bersemangat. Moodnya benar-benar terlihat jelas dalam mode aman.
"kau terlihat sangat senang, paman jadi penasaran ada apa."
"Hmm! Seperti yang Paman tahu, karena sedang menginap di rumah sakit, jadi anaknya mantan kekasih bundaku itu sudah tidak muncul lagi di sekolah. Aku sangat senang, paman."
Jungki tertawa lepas.
"kenapa Paman tertawa? Aku tidak sedang melawak." protes Ezra.
"Paman merasa lucu mendengarmu mengatakan mantan kekasih bunda. Kau tinggal bilang saja 'ayah' kau ini ada-ada saja Ezra."
"Aku sudah bilang, Paman, Aku tidak sudi lagi menganggap dia. Aku hanya sedang menjalankan misi balas dendam atas sakit hati bunda. Itu saja."
"ya ya ya! paman setuju akan hal itu. Silakan lanjutkan, Ezra, katakan saja jika kau butuh bantuan, paman akan membantumu."
Ezra mulai berpikir seraya menggaruk pipi kanannya.
"Apa paman masih bekerja di tempat Jevan Park?"
"oh, tentu saja. Kau mau apa? Haruskah aku membuatnya meminum sianida?"
"Tidak! tidak, paman. itu terlalu kejam. Dia tidak boleh mati begitu saja. aku ingin menyiksanya pelan-pelan."
Tidak terasa keduanya tiba di sebuah restoran.
"Ayah, kau datang lebih awal rupanya,"
Ezra sedikit terheran. Paman Jungki malah membawanya duduk satu meja dengan seorang pria tua yang disebutnya ayah.
"Ezra, perkenalkan, dia Tuan Lee. Kau panggil saja dia kakek."
"Paman, orang ini adalah ayahmu?" bisik Ezra, padahal sudah jelas mendengar paman Jungki memanggil dia ayah.
Jungki mengangguk yakin.
Kenapa paman membawaku bertemu ayahnya? Apa jangan-jangan aku akan diperkenalkan sebagai kekasih kecilnya? Ezra merasa merinding.
"Hai, Kakek," sapa Ezra, cukup ramah.
Pria tua di depannya hanya tersenyum di mata, namun bibirnya terlihat bergetar, seperti berada antara ingin bicara atau menangis.
Makanan habis di lahap setelah lima belas menit.
Inilah waktunya bagi Tuan Lee untuk memperkenalkan diri. Ternyata makanan yang baru ia santap memberinya sedikit kekuatan untuk bicara dengan anak ini.
"Ezra, silakan berbincang dengan kakek. Paman mau keluar untuk menghabiskan sebatang rokok." Jungki pergi, ia memberi ruang bagi ayahnya untuk berterus terang pada Ezra.
"Ezra, siapa nama lengkapmu?" tanya tuan Lee, mencairkan suasana hening diantara mereka.
"Ezralia Moza." Jelas Ezra.
"Ezra, apa kau tahu ... dimana nenekmu?"
"Nenek? Aku tidak tahu, kakek. Oia, bundaku hanya sebatang kara sebelum aku dan adik-adikku lahir. Jadi ... kami tidak memiliki hal semacam itu." jujur Ezra.
"Ezra, kakek akan jujur padamu ... aku, sebenarnya adalah ... kakekmu."
"Ya? Hah? Kakek adalah ..."
"Aku kakekmu."
Tidak perlu berbelit-belit, Tuan Lee mengakui bahwa dirinya adalah ayah kandung dari Roze Moza. Ezra menatap tak percaya. Ia ingin percaya, tapi terdengar seperti lelucon.
"Tidak mungkin. kakek, aku tidak ingin mempercayaimu."
Ezra memungut ponsel dan tas sekolahnya, tidak ingin mendengar lelucon ini.
"kakek yang salah! kakek yang meninggalkan bundamu. Maafkan kakek, Ezra ..."
Tangis Tuan Lee mulai terdengar. Ia terlihat sangat menyesali kesalahannya di masa lalu.
Ezra berdiri mematung di tempat.
"Apa salah bundaku, kenapa kakek meninggalkannya? Apa karena kakek memiliki keluarga kesayangan?"
Degh...!
Pertanyaan Ezra melesat masuk menembak jantung tuan Lee. Ezra tidak salah.
"Maafkan kakek, Ezra... maaf..." Tuan Lee berlutut dihadapan remaja itu, membuat kaki Ezra mundur.
Keseriusan sang kakek terlihat jelas penuh dengan ketulusan. Ezra harus apa? Dia hanya seorang anak yang baru lahir kemarin sore, seorang pria tua sedang berlutut di depannya, tentu Ezra merasa kebingungan.
"Aku bukan bunda. Jangan memohon padaku."
Ezra sadar, yang harus menerima permohonan ini adalah bundanya. Bundanya yang baik hati, cantik, sabar, bagaimana mungkin orang-orang terdekatnya bisa dengan tega meninggalkan dan membiarkan bunda berjuang sendiri tanpa sandaran selama ini?
"Berdirilah, kakek, jangan berlutut. Orang yang menjadi tempat kakek meminta maaf adalah bundaku. Jagan memohon padaku." Ezra pergi. Ia tidak lagi mdndengarkan paman Jungki yang memanggil namanya. Buru-buru ia menaiki angkot yang berhenti di depannya.
Sampai di rumah, Ezra mencari keberadaan sang bunda. Roze yang sedang mengiris sayuran, bingung tetiba ia mendapat pelukan erat dari puterinya. Ezra menangis memeluk Roze, dengan perasaan yang teramat sangat sedih.
"Kenapa, sayang?..."
"Bunda ... I love you..."
"Iya, Nak. I love you too, sayang. Tapi ada apa ini?"
"Bunda, seorang kakek menemuiku. Tidak mungkin dia adalah ayahnya bundakan?"
Roze menarik napas dalam, seraya mengelus tangan yang sedang memeluknya. "Jadi kakek itu yang membuatmu sedih?"
Terasa kepala Ezra mengangguk di punggung Roze. "Bunda, aku sedih karena nasib kita sama. Kami juga hidup tanpa ayah, jadi Bunda tidak perlu bersedih."
"Sayang, kau harus dengar dan ingat ini baik-baik. Tidak semua orang bisa menerima latar belakang seseorang. Ada sebagian orang tua yang tidak sudi menerima pasangan anaknya yang berlatarbelakang tidak jelas."
"Bunda, apa ayah meninggalkanmu karena Bunda tidak punya ayah dan ibu?"
Roze menggeleng. "Sebenarnya waktu itu ayah tidak benar- benar ingin meninggalkan bunda. Tapi ... ayah memang tidak bisa memilih bunda."
"Berarti ayah tetap salah."
"Jangan menyalahkan ayahmu. Itu adalah haknya. Dia melakukan itu karena sayang pada ayah ibunya."
Pelukan Ezra kian erat. "Dia membuat bunda sedih demi membahagiakan ayah dan ibunya. Bunda ... ini tidak adil untukmu ..."
Roze perlahan membuat pelukan tangan Ezra terlepas. Ia pun berbalik menghadap putri satu-satunya itu. "Ini sangat adil, sayang... dia pergi lalu kalian hadir. Nikmat mana lagi yang bunda cari? Punya anak yang cantik sepertimu, dan dua lagi anak-anak tampan, memiliki kalian bertiga jaaauuuh membahagiakan dari apapun."
.
.
Abis ya ... Besok lagi ya kan...
Kirim semangat donk ges...