NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25. Antara Harus Bertahan atau Pulang

📝 Diary Mentari – Bab 23

“Keteguhan tidak tumbuh dalam kenyamanan, melainkan dalam dingin yang membekukan dan tatapan yang menjatuhkan. Di sanalah kita belajar bertahan.”

...****************...

Seminggu sudah berlalu sejak pertama kali aku berdiri kaku di balik etalase kaca Bali Tropic Wear—toko mewah yang hanya dikunjungi turis asing dengan penampilan rapi dan wangi. Rasanya seperti berjalan di antara dunia yang bukan milikku. Tapi aku mencoba.

Setiap pagi, aku bangun dalam sunyi yang dingin, bukan oleh panggilan lembut ibu, tapi oleh suara ketukan di pintu dan perintah singkat dari nenek. “Nyapu dulu. Jangan lupa kamarnya juga dibersihin. Pak Kartika gak suka lihat rambut berserakan.”

Aku hanya mengangguk dan menahan rasa ingin menangis. Tidurku malam-malam ini tidak nyenyak. Selimut empuk yang terlihat menggoda di dalam lemari tak lagi boleh kugunakan. Kata nenek, “Itu bukan buat kamu.” Maka aku tidur meringkuk dalam dingin, menggigil di atas seprai putih tanpa penutup, ditemani bayangan wajah bapak dan ibu dari foto yang kutempel di dinding sebelah kasur.

Aku tidak boleh mengeluh. Tidak boleh banyak bicara. Di rumah ini, aku adalah tamu yang harus tahu diri. Tapi meski tubuhku dingin, aku tetap bangun setiap pagi dengan semangat yang kupaksakan.

Di Bali Tropic Wear, aku mulai merasa sedikit nyaman. Aku sudah bisa menyapa pelanggan, tersenyum dengan bahasa tubuh yang sopan, bahkan menjual beberapa potong pakaian. Walaupun pembelinya hanya satu atau dua orang, aku merasa seperti telah menaklukkan sebuah gunung tinggi.

Mbak Ketut, supervisor yang sabar namun tegas, terus membimbingku. “Tari, kamu sudah mulai bagus. Jangan ragu. Tatap mata tamu dan jawab dengan jelas,” katanya sambil menunjukkan caranya melayani pembeli. Aku mengangguk. Aku ingin bisa. Aku ingin bertahan.

Namun semua kepercayaan diriku seolah menguap hari itu, saat Pak Kartika datang lebih pagi dari biasanya.

Aku baru saja selesai melipat beberapa kemeja etnik dan menyusunnya di rak ketika suara langkah kakinya terdengar. Langkah yang tegas dan tajam. Semua staf langsung berdiri tegak. Mbak Ketut menyapanya, aku hanya bisa membungkuk sedikit, kaku.

“Coba saya lihat si pintar ini kerja,” kata Pak Kartika, menatap ke arahku. Kata “pintar” terdengar seperti ejekan.

Jantungku berdetak lebih cepat. Lengan dan bibirku terasa kaku. Beberapa turis masuk ke toko. Aku tahu harus melakukan sesuatu. Tapi ketika salah satu dari mereka bertanya, “Do you have this in size medium?”, otakku kosong. Lidahku membeku.

Aku tidak menjawab. Hanya menatap sejenak, lalu panik memanggil Mbak Ketut.

Satu pelanggan lagi datang. Seorang wanita bule bertanya tentang bahan baju yang sedang dia pegang. Aku tahu jawabannya. Aku sudah menghafalnya semalam. Tapi suara itu tidak keluar dari mulutku.

Pak Kartika menghela napas panjang. Matanya tajam seperti pisau. “Tan, mana yang katanya kamu pintar di sekolah? Sudah seminggu kerja, belum bisa ngomong sama tamu? Kamu mau balik ke Kampung Karet aja?”

Aku menunduk, malu, takut, marah pada diriku sendiri.

“Kasi kamu waktu seminggu lagi. Kalau masih begini, lebih baik pulang saja,” lanjutnya, lalu pergi tanpa menoleh lagi.

Aku merasa napasku berat. Mata panas menahan air mata. Aku permisi pada Mbak Ketut, “Saya ke gudang dulu ya, Mbak.”

Dia mengangguk. “Iya, istirahat sebentar aja kalau kamu butuh.”

Gudang ada di lantai atas toko. Tempat yang dingin dan berdebu, tapi setidaknya sepi. Aku duduk di antara tumpukan kardus dan tas-tas etnik yang belum dipajang, menunduk sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

Aku kalah. Aku mengecewakan orang-orang yang percaya padaku. Mungkin memang aku tidak cukup kuat. Mungkin aku memang harus kembali ke Kampung Karet. Ke rumah anyaman bambu, ke suara ibu dan bapak yang hangat, ke pelukan senja.

Langkah kaki mendekat. Seseorang datang ke gudang. Aku buru-buru menyeka air mata, berusaha duduk tegak.

“Tari?” suara itu lembut. Aku mengenalinya—teman baru yang belum lama ini mulai berbicara denganku saat makan siang.

“Semangat ya,” katanya, menepuk pundakku pelan. “Aku juga dulu kayak kamu. Nggak bisa apa-apa pas awal kerja. Tapi lama-lama juga bisa.”

Aku mengangguk, mataku masih basah. “Aku takut. Aku malu.”

“Ya wajar. Tapi jangan nyerah. Kamu kan udah sampai sini. Ngelewatin banyak hal. Jangan pulang cuma gara-gara belum lancar ngomong bahasa Inggris.”

Kalimat itu seperti cahaya kecil di ruang gelap. Untuk pertama kalinya sejak datang ke Ubud, aku merasa tidak benar-benar sendiri.

Kami duduk bersama sebentar, hanya diam. Tapi diam yang nyaman. Diam yang meneguhkan.

Hari itu aku pulang ke ‘istana’ bukan dengan langkah ringan, tapi dengan sedikit harapan. Makan malam kembali sunyi, hanya suara sendok dan pandangan mata nenek yang mengawasi dari ujung meja.

Malamnya, aku kembali tidur di atas kasur dingin, tetap tanpa selimut. Tapi kali ini, aku tidak menangis. Aku memeluk buku catatanku, menulis pelan-pelan:

“Hari ini aku gagal. Tapi aku juga bertahan. Dan besok, aku akan mencoba lagi. Karena menyerah bukan pilihan, meski langitku belum juga cerah.”

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!