Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.
Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.
Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
# BAB 22: KEBAHAGIAAN SINGKAT
Tiga hari setelah konfrontasi dengan Daryon, Alviona masih merasakan luka di dadanya—luka yang tidak kunjung menutup. Kata-kata Daryon terus bergema: *"Jangan harap aku akan berubah hanya karena kau hamil."*
Tapi hidup harus terus berjalan.
Dan di dalam perutnya, ada kehidupan kecil yang bergantung padanya.
Kehidupan yang tidak peduli apakah ayahnya menginginkannya atau tidak.
Kehidupan yang terus tumbuh, sel demi sel, detik demi detik.
Dan untuk kehidupan itu... Alviona harus bertahan.
---
Pagi itu, Alviona bangun dengan mual seperti biasa. Dia berlari ke kamar mandi, muntah sampai perutnya kosong, lalu duduk lemas di lantai kamar mandi dengan napas tersengal.
Tapi kali ini... ada yang berbeda.
Setelah mual itu reda, ada sesuatu yang hangat di dadanya.
Bukan kebahagiaan. Belum sejauh itu.
Tapi... penerimaan.
*Ini nyata. Aku benar-benar hamil. Dan tidak ada jalan mundur.*
Tangannya melayang ke perut—gerakan yang sudah jadi refleks dalam tiga hari terakhir. Mengelus lembut bagian yang masih rata, membayangkan ada kehidupan kecil di sana yang sedang berkembang.
"Selamat pagi, sayang," bisiknya pelan, suaranya masih serak dari muntah tadi. "Maaf ya... ibu belum bisa jadi ibu yang baik... tapi ibu akan belajar..."
Ketukan di pintu kamar membuatnya terlonjak.
"Nona Alviona?" Suara Bi Sari dari luar—lembut, hati-hati. "Boleh saya masuk sebentar?"
Alviona berdiri dengan susah payah, membuka pintu.
Bi Sari berdiri di sana dengan nampan kecil—segelas susu hangat dan beberapa keping biskuit.
"Untuk mengurangi mual," ucap Bi Sari dengan senyum lembut, matanya berkaca-kaca. "Waktu saya hamil dulu, ini yang bantu."
Alviona merasakan sesuatu mencelos di dadanya. Bi Sari... tau.
"Bi... Bi tau?" bisiknya pelan.
Bi Sari mengangguk sambil tersenyum—senyum yang hangat, tanpa judgement. "Bibi pelayan. Bibi tau tanda-tandanya. Dan..." dia meraih tangan Alviona lembut, "Bibi senang untuk Nona."
Air mata Alviona keluar—tapi kali ini bukan air mata sedih. Ini air mata... haru.
Karena ada seseorang—walau cuma pelayan—yang *senang* untuk kehamilannya.
"Terima kasih, Bi..." Alviona berbisik, suaranya bergetar.
Bi Sari memeluknya sebentar—pelukan ibu yang Alviona sangat rindukan—lalu pergi dengan senyum.
---
Siang itu, Alviona duduk di taman belakang dengan segelas susu dan buku di tangan—mencoba membaca tapi pikirannya melayang—ketika dia mendengar suara familiar.
"ALVIONA!"
Nayla berlari kecil dari arah mansion dengan senyum lebar—rambut pendeknya bergoyang-goyang, mata berbinar. Di belakangnya, Velindra berjalan lebih tenang tapi dengan senyum lembut di wajah.
Alviona berdiri, bingung. "Nayla? Velindra Kak? Kenapa kalian—"
"Kita dengar beritanya!" Nayla langsung memeluk Alviona—erat tapi hati-hati, seperti takut menyakiti. "Bi Sari kasih tau! Kamu hamil!"
Alviona membeku. Bi Sari bilang?
Tapi sebelum dia bisa protes, Velindra sudah berdiri di sampingnya, meraih tangannya dengan lembut.
"Selamat, Alviona," ucapnya tulus, matanya berkaca-kaca. "Ini... ini kabar yang indah."
"Tapi... tapi Daryon..." Alviona berbisik, air matanya mulai berkumpul lagi.
"Lupakan Daryon dulu," potong Nayla cepat, mengusap air mata Alviona dengan lembut. "Hari ini tentang kamu dan bayimu. Oke?"
Nayla meraih tas besar yang dia bawa, mengeluarkan beberapa barang:
Sebuah boneka beruang kecil yang lembut.
Sebuah buku berjudul "Panduan Ibu Hamil Pertama Kali."
Sebuah kotak kecil berisi vitamin untuk ibu hamil.
Dan sebuah kartu ucapan buatan tangan dengan tulisan: *"Selamat untuk Ibu Terkuat di Dunia."*
Alviona menatap barang-barang itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya gemetar ketika mengambil boneka beruang kecil itu—lembut, hangat, berbau baru.
"Ini... ini untuk bayiku?" bisiknya.
"Untuk bayimu," jawab Nayla dengan senyum lebar. "Boneka pertamanya."
Velindra menambahkan dengan lembut, "Dan buku ini... aku pilih yang paling mudah dipahami. Ada tips-tips untuk mengatasi mual, cara jaga kesehatan, sampai persiapan melahirkan nanti."
Alviona memeluk boneka itu erat, air matanya mengalir—tapi kali ini... ini air mata kebahagiaan.
Air mata yang sudah lama—sangat lama—tidak dia rasakan.
"Makasih..." bisiknya parau. "Makasih... kalian gak tau betapa berartinya ini buat aku..."
"Kita tau," jawab Nayla sambil memeluk Alviona lagi. "Dan kita akan ada buat kamu. Selalu."
---
Sore itu, mereka bertiga duduk di taman—di bawah pohon besar dengan angin sepoi-sepoi yang menenangkan.
Nayla membuka kotak kue kecil yang dia bawa—cupcake vanilla dengan frosting pink dan biru.
"Ini perayaan kecil-kecilan," ucap Nayla sambil nyalain lilin kecil di atas salah satu cupcake. "Untuk baby Alviona yang akan lahir!"
Alviona tertawa kecil—tawa yang terdengar asing di telinganya sendiri karena sudah lama tidak tertawa.
"Aku bahkan belum tau jenis kelaminnya," ucapnya sambil tersenyum.
"Gak masalah!" Nayla mengangkat cupcake dengan lilin yang menyala. "Yang penting kita rayain! Ayo, tiup!"
Alviona menatap lilin kecil itu—api yang bergoyang pelan—dan menutup mata.
*Wish.*
*Semoga bayiku sehat. Semoga aku bisa jadi ibu yang baik. Semoga... semoga suatu hari nanti, kami bisa hidup dengan tenang.*
Dia meniup lilin itu.
Api padam.
Dan untuk pertama kalinya dalam setahun pernikahan...
Alviona tersenyum.
Tersenyum tulus.
Bukan senyum pahit. Bukan senyum dipaksakan.
Tapi senyum yang datang dari tempat dalam dirinya yang dia kira sudah mati.
Velindra dan Nayla bertepuk tangan kecil, tertawa lembut.
"Cantik banget kalau senyum," ucap Velindra sambil mengusap air mata sendiri.
"Iya! Kamu harus lebih sering senyum!" tambah Nayla.
Mereka makan cupcake bersama—ngobrol ringan tentang nama bayi, tentang warna kamar bayi nanti, tentang hal-hal kecil yang membuat Alviona merasa... normal.
Merasa seperti calon ibu biasa yang dikelilingi teman-teman yang peduli.
Bukan istri kontrak yang hamil sendirian di mansion dingin.
---
Malam itu, setelah Nayla dan Velindra pulang dengan janji akan kembali lagi, Alviona duduk di tepi ranjangnya dengan buku "Panduan Ibu Hamil Pertama Kali" di tangan.
Dia membuka halaman pertama dengan hati-hati—seperti membuka harta karun.
**Bab 1: Trimester Pertama - Apa yang Terjadi pada Tubuhmu**
Alviona membaca pelan, mata mengikuti setiap kata dengan serius:
*"Pada minggu ke-8, jantung bayi sudah mulai berdetak. Walau masih sangat kecil—sekitar sebesar kacang merah—bayi Anda sudah mulai berkembang dengan cepat..."*
Tangannya reflek melayang ke perut. "Jantungmu udah berdetak, sayang?" bisiknya pelan, senyum kecil di bibirnya. "Ibu gak bisa denger... tapi ibu percaya kamu di sana... kuat... bertahan..."
Dia terus membaca:
*"Mual di pagi hari adalah normal. Ini tanda hormon kehamilan bekerja. Cobalah makan dalam porsi kecil tapi sering..."*
*"Istirahat yang cukup sangat penting. Tubuh Anda bekerja keras untuk menciptakan kehidupan..."*
*"Bicaralah dengan bayi Anda. Penelitian menunjukkan bayi bisa mendengar suara ibu mulai trimester kedua..."*
Setiap kalimat dia baca dengan serius—seperti sedang belajar untuk ujian paling penting dalam hidupnya.
Dan memang... ini ujian paling penting.
Ujian untuk jadi ibu.
---
Larut malam, Alviona masih terjaga—tapi bukan karena takut atau sedih seperti biasanya.
Kali ini dia terjaga karena... membayangkan.
Membayangkan bayi dengan mata bulat yang menatapnya.
Membayangkan suara tangisan pertama.
Membayangkan memeluk kehidupan kecil itu di dada, merasakan kehangatan, merasakan... cinta.
Cinta yang belum pernah dia rasakan dari Daryon.
Tapi cinta yang akan dia berikan tanpa batas untuk bayinya.
Tangannya mengelus perut dengan gerakan melingkar—lembut, penuh kasih sayang.
"Kau adalah harapanku satu-satunya, sayang," bisiknya di kegelapan kamar, suaranya lembut tapi penuh determinasi.
"Ibu gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini... tapi ibu punya kamu."
Air mata keluar—tapi bukan air mata sedih. Ini air mata... harapan.
"Dan dengan kamu... ibu akan jadi kuat. Ibu janji akan melindungimu. Ibu janji akan jadi ibu terbaik yang ibu bisa."
Dia memeluk boneka beruang kecil pemberian Nayla, memeluknya erat di dada, membayangkan suatu hari nanti boneka ini akan dipeluk oleh bayinya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama...
Alviona tidur dengan senyum kecil di bibirnya.
Tidur dengan mimpi yang bukan mimpi buruk.
Tapi mimpi tentang masa depan.
Masa depan dengan bayinya.
Masa depan yang mungkin—mungkin—akan lebih baik dari masa lalunya.
---
**Di kamar utama mansion, Daryon berbaring terjaga. Dia mendengar suara tawa tadi sore—tawa Alviona dengan teman-temannya di taman. Tawa yang... asing. Tawa yang tidak pernah dia dengar sejak pernikahan mereka. Dadanya terasa aneh. Sesak tapi bukan sakit. Lebih seperti... penyesalan? Tidak. Bukan penyesalan. Dia tidak menyesal. Tapi kenapa... kenapa sekarang dia merasa seperti kehilangan sesuatu? Seperti ada yang terlewat? "Dia hamil," bisiknya pada kegelapan. "Dia hamil dengan anakku... dan dia tersenyum... tanpa aku." Kenapa itu terasa... salah?**
**Apakah kebahagiaan kecil ini akan bertahan? Atau dunia kejam akan kembali menghancurkannya? Dan apakah Daryon... mulai merasakan sesuatu yang dia sendiri tidak mengerti? Sesuatu yang mungkin... terlambat untuk dia akui?**
---
*