Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Rintik gerimis menemani Hagia sepanjang perjalanan pulang setelah meeting bersama pihak wo. Meskipun Biru adalah putra sulung dari Kyai yang cukup terkenal di kota itu, tapi pesta pernikahan mereka tidak diadakan di hotel mewah. Melainkan di sebuah gedung serbaguna yang berada di desa setempat, sedangkan untuk akad nikah nya sendiri, akan dilakukan dirumah keluarga Hagia.
Sebenarnya Hagia ingin resepsi pernikahan itu dilakukan dirumah, namun mengingat tamu mertuanya yang banyak, tentu halaman rumah mereka tidak ada menampung, juga takut menghambat perjalanan tetangga sekitar. Maka dari itu, gedung desa yang menjadi pilihannya.
Hagia menghentikan mobilnya tepat di garasi, setelah itu ia membuka seat belt nya, dan menoleh kearah sang putri yang duduk manis dalam car seat. "Sayang capek, ya?" tanyanya melihat Hasya yang sejak tadi hanya diam.
Gadis kecil itu menggeleng. "Hasya mau pipis, bunda." katanya, sepertinya diamnya Hasya karena menahan ingin buang air kecil.
"Ya ampun, kenapa gak bilang dari tadi." pekik Hagia dengan cepat keluar dari dama mobil dan membuka pintu belakang, membuka seat belt Hasya dalam car seat dan menggendongnya masuk dalam rumah.
"Assalamualaikum." ucap Hagia sambil berlari kecil menuju kamarnya.
"Walaikumsalam...." sahut Malik, pria tua dengan sarung coklat itu hanya bisa melihat punggung putrinya yang menggendong sang cucu.
Hagia keluar dari kamar mandi dengan menggendong Hasya yang di bungkus handuk, ia sekalian memandikan putri kecilnya, karena hari sudah sore.
"Lain kali kalau mau pipis bilang sama bunda, jangan di tahan ya." kata Hagia sambil mengusapkan minyak telon pada tubuh Hasya.
"Kenapa gak boleh di tahan, bunda?" tanyanya dengan wajah polos.
Hagia tersenyum hangat, sambil memakaikan baju putrinya. "Kalau di tahan, nanti Hasya sakit perut." jawabnya, Hasya manggut-manggut tanpa membantah sama sekali.
"Nah, udah selesai." katanya setelah menyisir rambut hitam Hasya. "Hasya sama Mbah Kung dulu ya, bunda mau mandi." ujarnya menurunkan Hasya dari tempat tidur.
"Oke bunda!" gadis kecil itu langsung berlari keluar dari kamarnya, Hagia tertawa pelan lalu masuk dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
.....
Matahari malu-malu menampakkan dirinya di pagi yang dingin setelah semalam turun hujan, namun gelak tawa suara Hasya membuat suasana pagi menjadi hangat. Hagia yang baru saja selesai memasak, berjalan menuju teras dengan penasaran kenapa sang putri tertawa begitu keras, biasanya saat bersama Mbah Kung nya, Hasya akan cerewet bertanya ini itu tentang burung peliharaan Malik.
Begitu sampai diambang pintu, ia terkejut karena Biru sedang bermain dengan Hasya, pantas saja tawa riang gadis kecil itu terdengar berbeda dari biasanya.
"Bundaaa!" seru Hasya melihat bundanya diantara gawang pintu.
Biru menoleh dan tersenyum lembut. Hagia menghampiri keduanya dengan hati bertanya-tanya, kenapa Biru tiba-tiba ada di rumahnya.
"Assalamualaikum, Gus." katanya.
"Walaikumsalam," jawab Biru.
Hagia melihat kesana kemari mencari keberadaan Malik, namun pria tua dengan rambut yang hampir memutih itu tidak terlihat dimanapun.
"Sayang, Mbah Kung kemana?" tanyanya, biasa Malik akan memandikan burung-burung peliharaan nya.
"Bapak pergi beli jangkrik ke pasar." jawab Biru, diikuti anggukan kecil Hasya.
"Bulungnya Mbah Kung mau makan jangklik, bunda." jelas Hasya dengan cedal.
Biru mencium gemas pipi chubby Hasya yang memang ada di pangkuannya. "Pinter banget, anak siapa sih ini?"
"Anaknya bunda sama Abi Bilu." jawabnya riang, membuat Biru kembali menghujani pipinya dengan ciuman.
Sedangkan Hagia lagi-lagi dibuat terkejut dengan jawaban Hasya. Sejak kapan Hasya memanggil Biru dengan sebutan Abi? Dan siapa yang mengajari.
"Abi?" ulangnya.
Biru menoleh kearahnya. "Gak apa-apa 'kan kalau Hasya panggil aku Abi?" tanyanya, ia memang belum mendiskusikan masalah ini sebelumnya.
"Bukannya seharusnya aku yang tanya seperti itu?" ujar Hagia membalikkan pertanyaan Biru.
"Gak apa-apa, dong. Kan aku calon suami kamu, otomatis akan jadi Abinya Hasya." jawabnya sambil tersenyum dan mengecup puncak kepala Hasya.
Hagia manggut-manggut mendengarnya. "Kamu kapan datangnya? Bukankah seharusnya masih empat hari lagi?" tanyanya.
"Hapal bener, ngitungin yaa?" goda Biru, Hagia menundukkan kepalanya. "Seharusnya memang empat hari lagi, tapi pekerjaan ku disana selesai lebih cepat, jadi aku disini sekarang." jelasnya.
Hagia ber oh ria, saat ia hendak kembali bertanya, suara Hasya membuatnya bungkam. "Abi, nanti kita jadi jalan-jalan 'kan?" tanya mulut mungil itu.
"Jadi dong, kan Abi gak bohong." jawab Biru.
"Jalan-jalan?" ulang Hagia bingung, entah apa saja yang Biru katakan pada putri kecilnya.
"Umi bilang undangannya udah jadi. Aku berencana mengambilnya nanti siang, sama Hasya." kata Biru menjelaskan.
"Tapi aku nanti siang mau bertemu dengan pihak katering." untuk pesta resepsi, mereka memang menggunakan jasa katering.
"Ya, gak apa-apa. Aku bisa kok menjaga Hasya, lagi pula aku ingin menghabiskan waktu dengan putriku." kata Biru tidak mempermasalahkan jika Hagia tidak ikut dengannya.
"Nanti malah kamu kerepotan, Gus." Hagia merasa tidak enak jika menitipkan Hasya pada Biru.
"Gak lah, Hasya anak yang manis. Iyakan sayang?" Hasya mengangguk dalam pangkuan Biru, gadis kecil itu tampak nyaman bersama calon ayah sambungnya.
.....
Seperti yang dikatakan Biru, siang ini ia benar-benar membawa Hasya ikut dengannya mengambil undangannya udah disalah satu percetakan terbaik yang ada di kota ini. Setelah mengambil undangan, Biru mengajak Hasya ke sebuah arena bermain yang ada dalam mall.
Biru terlihat menikmati peran barunya sebagai Abi dari Hasya, ia sama sekali tidak terlihat kerepotan mengurus balita yang aktif seperti Hasya. Bahkan dalam arena bermain, ia ikut menemani Hasya bermain dari mainan satu ke mainan yang lain.
Jika orang tidak tahu, mereka pasti akan berpikir bahwa Biru dan Hasya adalah ayah dan anak kandung. Seperti sekarang ini, Hasya dan Biru tertawa keras saat melintasi seluncur panjang yang berujung di sebuah kolam bola. Membuat seseorang yang melihatnya heran dan tidak suka.
"Hasya!" suara itu terdengar keras di ikuti tatapan tidak suka dari pemiliknya.
Biru dan Hasya menolah kearah sumber suara. "Ayah," cicit Hasya pelan melihat Heru yang juga ada di arena bermain.
Biru tersenyum ramah dan langsung menggendong Hasya. "Assalamualaikum, Mas." sapa Biru pada ayah kandung Hasya.
Heru menatap tidak suka dengan kedekatan Biru dan Hasya, namun ia tetap menjawab salam Biru, "Walaikumsalam." ketusnya. Heru kembali menatap Hasya dengan lembut, namun gadis kecilnya malah memeluk erat leher Biru.
"Hasya gak salim sama ayah?" katanya lembut.
Hasya mengangkat wajahnya melihat Heru, kemudian melihat Biru yang tersenyum. "Ayo salim sama ayah." bujuk Biru, membuat Heru semakin tidak suka.
Biru menurunkan Hasya dari gendongan nya, membiarkan gadis kecil itu mendekati ayahnya untuk salim. Namun baru beberapa langkah, sebuah suara menghentikan kaki kecil Hasya dan ia kembali memeluk kaki Biru.
"Ayahhh!" seru bocah laki-laki berusia dua tahun, dia adalah Radhin. Putra kedua Heru dari pernikahan nya bersama Dewi.
Radhin langsung memeluk Heru, diikuti dengan Dewi yang memang tadi berseluncur bersama. "Eh, ada Hasya." kata Dewi ramah. "Hasya sama siapa? Bunda mana?" matanya celingukan mencari keberadaan Hagia.
Biru sedikit bingung dengan situasi yang terjadi, namun ia segera menggendong Hasya yang wajahnya kini murung.
"Abi, Hasya mau pulang." cicitnya, gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya diceruk lehar Biru.
"Abi?" ulang Heru dan Dewi bersamaan.
Biru tersenyum hangat tanpa berniat menjelaskan apapun pada Heru, ia langsung pamit, merasa Hasya tidak nyaman dengan situasi ini. Meninggalkan Heru dengan sejuta rasa penasarannya, mengapa putrinya memanggil pria yang tidak ia kenal dengan sebutan Abi. Apakah Hagia sudah menikah lagi? Bukankah masa Iddah mantan istrinya itu belum lama selesai? Secepat itukan Hagia menemukan penggantinya? Dan masih banyak pertanyaan berkecamuk dalam hatinya, tanpa bisa menemukan jawaban, kecuali ia bertanya langsung pada mantan istrinya.
*
*
*
*
*
TBC
Terimakasih untuk para readers yang sudah menemani author sampai bab ini...
Author harap, alur yang alur berikan berbeda dengan novel-novel yang pernah kalian baca.
Semua plot sudah matang sebelum author tulis, pokoknya ikuti aja setiap bab nyaaa...
Sarangeeee sekebon jagung tetangga 🫰🏻🫰🏻🫰🏻