Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 – Suara Malam Yang Terlalu Dekat
Hujan rintik masih mengetuk pelan jendela kamar Embun, ritmenya lembut seperti lagu latar yang sengaja dipasang Tuhan untuk menemani seseorang yang sedang jatuh hati tanpa sengaja. Lampu meja di sudut ruangan memancarkan cahaya kekuningan, menciptakan bayangan samar di dinding; bayangan yang bergerak setiap kali Embun bergeser gelisah di atas kasur.
Ia duduk bersandar pada headboard, memakai sweater rajut longgar, rambutnya masih sedikit lembap setelah mandi. Udara dingin membuat pipinya memerah alami, tapi bukan itu yang membuat jantungnya gelisah sejak sore tadi.
Di pangkuannya, layar ponsel menyala. Nama kontak itu—yang masih belum ia ubah—menyala dalam balon chat:
Mr. Don’t Know.
Embun sudah memikirkan ribuan cara untuk buka percakapan duluan… tapi semuanya berakhir dengan tombol delete. Ia tidak ingin terlihat terlalu semangat, tapi juga tidak ingin terlihat tidak peduli. Ironisnya, setiap kali ia ingin mengirim “hai”, jantungnya malah minta pensiun dini.
Dan ketika ia lagi memikirkan apa pun selain keberadaan dirinya sendiri— notifikasi itu muncul.
Sebuah Notifikasi pesan. Embun menegang.
Pelan-pelan, ia membuka pesan itu.
Mr. Don’t Know (suara bariton hangat, sedikit serak): “Jadi… liburan lo bikin suara lo beku… tapi bikin gue kepanasan.”
Hening. Embun tidak langsung bernapas.
Bibirnya terbuka sedikit. Hatinya jatuh ke lantai. Otaknya blackout.
Ia menutup wajah dengan bantal. “Ya ampun… ya Tuhan… ya apapun yang di atas sana… itu barusan apa?!”
Suaranya terdengar rendah dan santai, tapi ada sesuatu di balik nada itu—sesuatu yang halus, menggoda tanpa ia sadari—membuat Embun menggigit bibir bawahnya sambil berusaha menenangkan diri, meski usahanya jelas gagal karena detik berikutnya ia sudah duduk tegak, lalu turun lagi, berguling sebentar di kasur, berputar tanpa arah, dan akhirnya jatuh tersungkur ke bantal dengan napas berantakan dan jantung yang menolak bekerja normal.Setelah lima menit drama internal, ia mengambil ponsel dengan tangan yang hampir tremor.
“Gue harus bales. Gue harus…” katanya pada dirinya sendiri.
Ia mengetik sesuatu. Menghapus. Mengetik lagi. Menghapus lagi. Hampir menyerah.
Dan kemudian… otaknya memutuskan untuk mengambil jalan paling memalukan dalam sejarah hidupnya:
Embun: Emang… suara gue bisa bikin orang kepanasan, ya? 😳
Begitu tombol send ditekan…
Embun langsung menutup wajah dengan kedua tangan, menjerit ke bantal tanpa suara.
“KENAPA GUE GITUIN??????”
Ia sudah siap pindah negara, pindah dimensi, bahkan pindah galaksi kalau perlu, ketika ponselnya tiba-tiba bergetar—balasan datang cepat, terlalu cepat—membuat Embun membeku di tempat; ia menarik napas panjang lalu membuka chat itu pelan-pelan, hati-hati seperti seseorang yang sedang membuka surat tilang, hanya untuk mendapati balasan itu tersusun rapi dalam tiga baris pendek yang langsung membuat jantungnya melorot ke perut.Tapi cukup untuk menghancurkan kestabilan emosional seseorang.
Mr. Don’t Know: Bisa. Dan yang lebih parah…Lo kayaknya nggak sadar efeknya.
Embun menatap layar. Tidak bergerak dan tidak berkedip.
Lalu— pelan-pelan— pipi dan telinganya memanas bersamaan, seperti habis dilempar ke sauna.
“YA AMPUNNNNNNNNNNNN…” Ia jatuh ke samping sambil memeluk guling seolah guling itu satu-satunya hal yang bisa menahan serangan jantung kecil yang sedang terjadi.
Hatinya meleleh. Otaknya nge-lag. Harga dirinya entah ke mana.
Ia menutupi wajah dengan bantal, tapi senyum bodoh di bibirnya tidak bisa hilang.
Jangan ditanya keadaan Embun saat ini. Hatinya, kebakaran hebat tingkat darurat nasional, seperti ada petugas damkar yang harus dipanggil khusus hanya untuk memadamkan pipinya yang mendadak panas tanpa izin. Otaknya, short circuit total, kabel-kabel logika putus, sistem operasi perasaan crash, dan seluruh aplikasi kewarasan langsung force close. Dan harga dirinya, tidak diketahui keberadaannya, kemungkinan sudah melarikan diri ke negara tetangga sambil dadah-dadah sedih, membawa koper dan pesan terakhir: “Jaga diri ya, Bun. Aku nggak kuat lihat tingkah lo barusan.”
**
Di seberang kota yang sama dinginnya malam itu…
Langit duduk bersandar di sofa apartemen penthouse-nya, lampu ruangan temaram, secangkir teh sudah dingin di meja. Ia memandangi layar ponsel dengan senyum kecil yang sangat jarang muncul di wajahnya.
Ia membaca ulang chat barusan. Lalu ulang lagi. Lalu memutar ulang voice note Embun yang sempat ia simpan—suara lembut yang terdengar gugup, bergetar sedikit, tapi manis dengan cara yang tidak ia mengerti.
“Dia nggak sadar… dan itu yang bikin otak gue tambah awut awutan,” gumamnya pelan.
Ia menunduk, jari mengetuk sisi ponsel.
Satu kalimat muncul di kepalanya. Kalimat yang sangat ingin ia kirim… tapi ia tahan.
Untuk pertama kalinya, seseorang yang bahkan belum ia lihat wajahnya dengan jelas… bisa membuatnya tersenyum seperti orang bodoh di malam-malam sepi seperti ini.
Sementara Embun…
masih guling-guling di kasur, memeluk guling sambil menggigiti ujung bantal, berusaha tidak mati karena malu dan bahagia bercampur jadi satu.
Dan dalam hati kecil mereka—meski tidak mereka akui— keduanya tahu. Ada sesuatu di antara mereka.
**
Balasan tiga baris itu baru saja dibaca Embun ketika notifikasi lain muncul—kali ini berupa voice note, pendek, hanya beberapa detik… tapi cukup untuk membuatnya terdiam seperti baru ditabrak kupu-kupu raksasa.
Mr. Don’t Know (berkata pelan) : “Udah santai aja… suara lo nggak berbahaya.”
Pause sebentar—lalu nada rendahnya turun satu oktaf,
Mr. Don’t Know : “Tapi gue nggak janji gue tetap normal pas denger.”
Embun refleks menutup wajah dengan bantal, menjerit tanpa suara, kemudian membalas dengan voice note tujuh detik yang berisi tawa gugup dan satu kalimat gemetar,
Embun : “Jangan bercanda gitu… gue jadi malu.”
Dan entah kenapa, setelah itu obrolan mereka mengalir seperti dua orang yang sudah saling kenal bertahun-tahun. Tidak ada lagi jeda canggung. Tidak ada lagi editan kata. Hanya dua manusia yang berbicara apa adanya.
Mereka tertawa tentang hal-hal kecil—tentang dinginnya kerjaan, tentang kopi sachet yang kebanyakan gula, tentang gossip artis, tentang liburan di pncak yang dinginnya gak gak pake nego dulu .
Kadang Embun mengirim voice note pelan, suaranya pecah karena mencoba menahan tawa. Kadang si Mr. Don’t Know membalas dengan gumaman rendah, seperti sedang berbicara sambil menyandarkan kepala ke sofa.
Sampai akhirnya, Embun mulai terdengar semakin pelan… semakin serak… lalu nyaris berbisik.
Embun : “Gue… udah ngantuk.”
Mr. Don’t Know : “Tidur gih,”
jawab si Mr. Don’t Know lembut, nada suaranya turun seperti malam yang meredup.
Embun : “Tapi… ngobrolnya enak.”
Mr. Don’t Know : (tertawa kecil) “Besok masih ada pagi.”
Ada jeda. Lalu Embun membalas dengan suara paling halus—suara yang terdengar seperti seseorang yang sedang menggulung diri di balik selimut tebal:
Embun : “Oke. Gue tidur duluan, ya… Besok gue dengerin suara lo lagi.”
Setelah itu… tidak ada respon. Hanya suara napas pelan dari voice note terakhir—Embun benar-benar ketiduran.
**
Sedangkan Langit menatap layar ponselnya lama sekali, seolah tidak yakin perempuan itu benar-benar tertidur di tengah percakapan mereka. Dan anehnya… ia tidak keberatan.
Bahkan, ia memutar ulang voice note terakhir itu. Dua kali. Tiga kali. Sampai ia sendiri tersenyum, pelan… lembut… nyaris tidak terlihat kecuali oleh cahaya lampu meja.
Apartemen Langit remang, hanya diterangi lampu gantung dengan cahaya hangat yang jatuh lembut di lantai kayu. Di luar, hujan rintik masih turun, memantulkan kilau lampu kota. Langit duduk bersandar di sofa, satu tangan memegang ponsel, satu lagi menekan pelipisnya—bukan karena pusing, tapi karena ia baru menyadari betapa bodoh dan bahagianya dirinya malam ini.
Voice note Embun masih terbuka. Suara itu—halus, mengantuk, sedikit serak—mengisi ruang hening apartemennya.
Dan entah kenapa… suara itu terasa seperti sesuatu yang seharusnya ia lindungi.
“Gue tidur duluan, ya…”
Langit kembali memutar bagian itu, dan hanya diam. Tidak ada logika bisnis yang bisa jelasin kenapa dada kirinya terasa hangat seperti begini. Tidak ada strategi perusahaan yang bisa menjelaskan kenapa suaranya Embun terus menempel di kepala.
Ia menyandarkan tubuh, menatap langit-langit sambil menghela napas panjang—napas yang lebih seperti menyerah daripada lelah.
“Suaranya… bisa bikin orang lupa cara mikir.” Nada suaranya sendiri terdengar seperti ia sedang menegur diri, tapi bibirnya justru melengkung kecil.
Untuk pertama kalinya dalam sekian lama… Langit tidak terlihat seperti CEO Atmaja Group. Tidak dingin. Tidak kaku. Tidak terburu-buru. Hanya seorang pria yang kehilangan semua wibawanya pada seseorang yang bahkan belum ia lihat wajahnya dengan jelas.
Ia memejamkan mata, dan seketika… yang muncul adalah siluet perempuan bersyal biru itu di cabin Puncak. Lalu suara Embun dari voice note barusan. Lalu kembali ke senyuman singkat yang ia lihat dari jauh siang tadi.
Dua perempuan, dua momen… tapi perasaannya sama.
“Bisa aja, kan, dua-duanya orang yang sama,” gumamnya pelan, senyum samar muncul lagi.
“Tapi kalau nggak… ya sial. Bisa bisanya gue kepincut sama dua orang yang beda.”
Ia mengusap wajahnya, masih dengan tawa kecil yang gagal ia tahan. Hujan semakin deras, mengetuk kaca jendela. Dan untuk pertama kalinya sejak lama… Langit merasa malamnya tidak kosong.
Ponselnya masih menyala di tangan—chat terbuka, dengan nama kontak yang sederhana.
“Unknow Number.”
Ia mengetik pelan, tidak berharap balasan karena perempuan itu sudah terlelap.
Langit: “Selamat tidur. Gue lanjut jaga pos malam ini.”
Ia menekan send… lalu menyandarkan kepala pada sofa, diam-diam menikmati sensasi bodoh yang menggembirakan itu.
Setelah menekan tombol send untuk pesan terakhirnya, Langit masih menatap layar ponsel itu beberapa detik—seolah menunggu sesuatu terjadi, padahal ia sendiri tahu perempuan itu sudah terlelap dalam detik pertama voice note-nya melambat.
Ia merebahkan kepala ke sandaran sofa, tapi matanya tidak langsung terpejam. Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di kepalanya, menghantam logikanya seperti palu godam.
“…Nama dia siapa?” Langit membuka mata. Lalu menatap ponsel. Lalu mengerjapkan matanya.
Perlahan—benar-benar perlahan—dia bangkit duduk lagi seperti baru sadar melakukan kebodohan terbesar sepanjang riwayat per-chat-an.
“Tadi… gue ngobrol sejam. Voice note-an. Sampe gue berasa melting…” Ia memijat batang hidung, menunduk. “…Tapi gue nggak tau NAMA dia?”
Kemudian— Langit menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Tuhan… gue CEO perusahaan teknologi terbesar di negara ini. Gue bisa hafal kode codingan, bisa bedain nada suara orang lewat rekaman, bisa menganalisis ratusan data…”
Ia menurunkan tangan pelan-pelan. “…TAPI GUE LUPA NANYA NAMA CEWEK YANG BARU SAJA BIKIN GUE KEHILANGAN WIBA—”
Ia berhenti. Menghela napas panjang dan pasrah.
“Dia tidur. Dan gue cuma bisa nunggu sampe besok. Keren banget.”
Senyum kecil muncul lagi, lelah tapi hangat, seperti seseorang yang menerima takdir bahwa dia resmi masuk fase bodoh dalam urusan perempuan.
Ia menyandarkan tubuhnya perlahan, memejamkan mata sekali lagi. “Besok. Besok gue tanya. Kalau gue nggak lupa lagi gara-gara suara dia.”
Dan dengan pikiran itu, Langit akhirnya tenggelam ke dalam kantuk— hanya ditemani suara hujan, aroma kopi yang mulai dingin, dan satu fakta konyol,
Bahwa ia, seorang pengusaha yang selalu punya rencana… baru saja jatuh hati pada seseorang yang bahkan belum ia ketahui namanya.
**
Pagi itu, matahari belum benar-benar naik ketika Embun menggeliat pelan di balik selimut hangatnya. Rambutnya masih awut-awutan, pipinya menempel bantal, dan bulu matanya saling menempel karena tidur terlalu nyenyak.
HP-nya tergeletak di samping kepala — posisi klasik orang yang ketiduran sambil voice note-an.
Vibrasi halus membuatnya menggeliat lagi.
Bzz— bzz—
Embun membuka satu mata. Lalu meraih HP dengan tangan masih lemas. Lalu melihat layar. Dan— Detik berikutnya, dia langsung duduk tegak seperti zombie yang baru terbangun dari kubur.
Di layar ada satu pesan.
Mr. Don’t Know: Selamat tidur. Gue lanjut jaga pos malam ini.”
“.......................”
Embun membeku. Kemudian perlahan — perlahan banget — bantal di sampingnya ia tarik dan ia tundukkan wajah ke dalam bantal itu.
Dan setelah itu… “AAAAAAAHHHHHH YA TUHAN MALUUUUUU!!!!”
Suara teriakannya teredam sempurna di bantal, tapi tetap saja terdengar seperti seseorang yang baru melamar orang lewat voice note tanpa sadar.
Embun jatuh ke kasur lagi, berguling seperti sushi gulung gagal.
“Kenapaa gue ketiduran?! KENAPAA?! Gue bukan bayi jam sembilan malam udah tumbang!”
Ia memegang kepala. Mengingat voice note terakhirnya.
Ingat napasnya sendiri yang sudah berat karena ngantuk. Ingat kalimat terakhirnya—
“Nanti gue dengerin suara lo besok…”
Embun menjerit kecil lagi. “Oke. Oke. Bun. Tenang. Mungkin dia nggak denger jelas. Mungkin dia tidur duluan. Atau mungkin… mungkin sinyal dia putus.”
Ia membuka chat, melihat tanda centang membaca. Pesannya centang biru, centang biru dua. Nama pengirim: Mr. Don’t Know.
Hancur sudah harapan isolasinya dari realita.
“Dia baca… Dia dengerin… dan dia jawab ‘selamat tidur’…” Embun menutup wajah.
“Gue mati. Gue beneran mati.”
Dan setelah itu— dia ketawa sendiri sambil menutup mulut. Karena, di balik rasa malu itu… ada sesuatu yang lain. Ada rasa hangat yang menjalar dihatinya, ada rasa gemas dan rasa… deg-degan yang sama sekali bukan deg-degan biasa.
“Dia… baik banget,” gumamnya, pipi merah, suara hampir tak terdengar. Ia menarik napas panjang, mencoba mengembalikan kewarasan.
“Oke. Balas. BA-LAS. Normal aja. Cool. Tenang.” Embun duduk bersila, menepuk pipinya beberapa kali.
HP di tangan. Jempol siap mengetik dan layar percakapan pesan terbuka. Chat Mr. Don’t Know masih muncul. Dan tepat ketika ia hendak mengetik sesuatu…
Pesan baru muncul.
**
Sementara itu…
Langit baru saja bangun. Rambutnya sedikit berantakan, hoodie masih dipakai, dan HP masih ada di genggaman. Ia menghela napas panjang.
“Gue ketiduran sambil mikirin dia. Gila.”
Ia bangun perlahan, berjalan ke dapur, menyalakan mesin kopi otomatis. Suara mesin mulai berdengung, tapi pikirannya masih di perempuan itu.
Perempuan tanpa nama. Perempuan bersuara lembut yang ketiduran sambil voice note-an.
Langit menyandarkan pinggul ke meja dapur, satu tangan memegang gelas kopi, satu lagi membuka chat. Masih belum ada balasan dari perempuan itu.
“Masih tidur?” gumamnya.
Ia tersenyum kecil. “Lucu juga kalau dia bangun-bangun langsung panik.”
Ia menatap layar HP… dan entah kenapa jari-jarinya mengetik sendiri.
Langit: Pagi. Lo tidur nyenyak semalem?
Langit menatap pesan yang ia kirim. Mengangguk kecil.
“Simple. Tenang. Normal. Nggak bikin orang kabur.”
Setidaknya… itu pikirannya. Tapi hatinya? Hatinya, ngarep jawaban suara lagi.
Ia memutar ulang voice note Embun yang paling lembut — yang ada gumaman kecil sebelum dia benar-benar ketiduran.
Dan ia tersenyum seperti manusia paling kalah tapi paling bahagia di muka bumi.
“Gue lupa nanya nama lo…” gumamnya, nada suara meremehkan diri sendiri. “Gue beneran nggak beres.”
**
Notifikasi muncul di HP Embun. Dan seketika ia menggigil.
Mr. Don’t Know : Pagi. Lo tidur nyenyak semalem?
Embun langsung menarik selimut sampai ke kepala. “Oh Tuhan… kenapa dia sweet banget pagipagi gini…”
Ia mengetik:
Embun: Gue ketiduran duluan ya semalem… hahaha…
Lalu hapus.
Embun: Pagi!! Sorry gue tumbang tiba-tiba 😭
Hapus lagi
Embun: Pagi :)
Ia berhenti. Lalu ngetik tambahan.
Embun : Dan… iya. Tidurnya nyenyak. Kayaknya gara-gara ngobrol sama lo.
Ia terdiam. Panik melanda, tapi ia tetap kirim pesan itu.
S E N D.
Setelah ditekan, Embun langsung menutup wajah pakai bantal dan berguling ke arah jendela.
“ASTAGA… APA YANG GUE LAKUKAN???”
Tapi senyumnya… tidak hilang-hilang dari wajah cantiknya
**
tbc