Setelah terpeleset di kamar mandi, Han Sia, gadis modern abad 25, terbangun di tubuh Permaisuri Han Sunyi tokoh tragis dari novel yang dulu ia ejek sebagai “permaisuri paling bodoh”.
Kini terjebak di dunia kerajaan kuno, Han Sia harus berpura-pura sebagai permaisuri yang baru sadar dari koma, sambil mencari cara untuk bertahan hidup di istana penuh intrik dan penghianatan. Namun alih-alih pasrah pada nasib, ia justru bertekad mengubah sejarah. Dengan kecerdasan modern dan lidah tajamnya, Han Sia siap membalikkan kisah lama dari permaisuri lemah menjadi wanita paling berkuasa dan akan membuat mereka semua menyesal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Di istana Qing yang megah, cahaya matahari pagi menembus kisi jendela berukir naga emas. Di dalam aula utama, Kaisar Li Feng duduk di kursi giok tinggi, matanya tajam menatap laporan yang baru dibawa oleh pengawal pribadinya, Yu Qian.
“Sebutkan dengan jelas,” ucap Li Feng pelan namun penuh tekanan.
Yu Qian berlutut. “Yang Mulia, laporan dari utara. Di wilayah Qingbei, tepatnya dekat perbatasan desa Tayun, ada seorang pemuda bernama Wen Lang yang memimpin pemberian bantuan bagi warga miskin yang datang dari daerah kekeringan.”
Li Feng terdiam. Suara gemericik air dari kolam di luar istana terdengar lembut, tapi hati sang Kaisar terasa berat.
“Pemuda itu...” gumamnya. “Apakah kau melihatnya?”
“Tidak langsung, Yang Mulia. Tapi laporan warga menyebut, ia memiliki tatapan yang tajam dan cara bicara yang menenangkan seperti seorang pemimpin. Mereka bilang, rakyat memanggilnya Tuan Wen, orang yang tahu kapan harus memberi perintah dan kapan harus mendengar.”
Li Feng menutup matanya sesaat. Dalam pikirannya, muncul sosok wanita berwajah tegas, dengan mata yang sama mata yang dulu ia kenal sangat baik.
“Han Sunyi,” ucapnya lirih. “Kau muncul di antara rakyat… seperti dulu.”
----
Sedangkan di tepi perbatasan desa Tayun, suasana berbeda jauh dari kemegahan istana. Udara berdebu, angin membawa bau tanah kering, dan jerit anak-anak yang lapar terdengar di antara tenda-tenda darurat. Namun di tengah penderitaan itu, terlihat secercah harapan.
Menjelang sore, setelah rakyat mendapatkan makanan dan perawatan, Han Sunyi berjalan menyusuri tepi sungai yang hampir kering. Ia jongkok, menyentuh tanah yang retak-retak.
“Tanah ini pernah subur,” katanya pelan. “Tapi tiga tahun tanpa air… tidak mungkin hanya karena cuaca.”
Zhi Dao yang berdiri di belakangnya mengangguk. “Aku juga berpikir begitu. Jalur air utama dari bendungan utara seharusnya melewati Tayun. Jika kering, berarti ada yang memutus alirannya.”
Han Sunyi memejamkan mata sesaat. “Korupsi... atau sabotase.”
“Menurut laporan yang sempat kudengar dari pasukan lama,” lanjut Zhi Dao, “ada bangsawan yang membeli lahan sekitar bendungan dan membangun penyimpanan pribadi. Tapi kami tak punya bukti kuat.”
Han Sunyi berdiri, menatap jauh ke arah barat di mana matahari hampir tenggelam. “Kalau benar itu, maka bukan alam yang kejam, melainkan manusia.”
Mei Lian yang baru datang dengan membawa air, mendengar sebagian percakapan itu. “Ayahku juga berkata begitu,” ujarnya hati-hati. “Beliau pernah mengirim surat pada pengawas bendungan, tapi tak pernah mendapat balasan. Katanya, semua urusan air kini dipegang oleh Mentri pertanian Kang He.”
Han Sunyi bergumam “metri Kang He?” ulangnya.
Mei Lian mengangguk. “Ya, Ia bawahan langsung dari paman jauh Kaisar Li Feng. Orang-orang bilang ia bijak, tapi ayah tidak percaya. Sejak ia menguasai bendungan, banyak daerah mengering, dan pajak air melonjak.”
Han Sunyi menatap ke tanah, rahangnya mengeras. “Li Feng… apakah kau tahu apa yang dilakukan pamanmu?”
Malam tiba, dan api unggun menyala di antara tenda-tenda pengungsi. Rakyat mulai tenang, anak-anak tidur di pangkuan ibu mereka, dan para penjaga bergantian berpatroli.
Han Sunyi duduk sedikit jauh dari kerumunan, memandangi api dengan pikiran berputar. Zhi Dao datang membawa secawan teh hangat.
“Nona—eh, maksudku, Tuan Wen. Kau belum makan.”
Han Sunyi menerima cangkir itu, menatap permukaannya. “Zhi Dao, jika benar bendungan itu disabotase, berarti ada tangan istana yang kotor.”
“Aku pikir begitu juga,” jawabnya. “Tapi bagaimana kita buktikan tanpa menarik perhatian?”
Han Sunyi menatapnya. “Dengan cara lama mengamati dari bawah. Kita akan pura-pura jadi pedagang pengantar bahan makanan ke bendungan. Aku ingin tahu siapa yang berani menahan air rakyat.”
Zhi Dao mengangguk. “Aku siap.”
Mereka terdiam sejenak. Dari kejauhan, terdengar suara tawa lembut Mei Lian sedang bermain dengan anak-anak kecil, membantu Yuyi membagikan roti sisa.
Zhi Dao memperhatikan pemandangan itu lama.
“Dia gadis yang berani,” katanya pelan.
Han Sunyi menoleh, menyadari arah pandangan murid setianya. “Kau tertarik, ya?” godanya lembut.
Zhi Dao terkejut. “Ah? Tidak, aku hanya—”
“Sudah-sudah,” potong Han Sunyi sambil tersenyum samar. “Aku bukan buta, Zhi Dao. Kalau kau memang ingin mengenalnya, tunggulah sampai semua ini selesai. Dunia ini belum aman untuk cinta polos.”
Zhi Dao menunduk, tersenyum malu. “Aku mengerti, Nona.”
Keesokan harinya, Han Sunyi menulis laporan singkat dengan tinta hitam di lembar kain sutra, lalu menyerahkannya pada burung pengantar pesan. Surat itu dikirim bukan kepada pejabat istana, melainkan kepada Li Feng langsung tanpa nama pengirim, hanya cap kecil berbentuk bunga teratai di ujung surat.
Isinya singkat:
“Rakyat Tayun mati bukan karena langit, tapi karena manusia.
Periksa bendungan utara dan nama di balik pajak air.
Bila kau masih Kaisar sejati, lihatlah dengan mata hatimu, bukan laporan mentahmu dari seseorang yang dulu percaya padamu.”
Beberapa hari kemudian, di istana Qing, Li Feng membuka surat itu di ruang pribadinya. Saat matanya menangkap tanda teratai di ujung surat, tangannya bergetar.
“Teratai...” bisiknya. “Tanda itu hanya dimiliki satu orang.”
Ia berdiri, menatap keluar jendela. Langit sore memerah, seperti luka lama yang terbuka.
“Han Sunyi,” katanya lirih. “Kau masih hidup.”
Tanpa ragu, ia memerintahkan Yu Qian, “Kumpulkan pasukan rahasia. Kita akan menuju bendungan utara, tanpa memberitahu Mentri Kang He dan juga paman Li Sun. Aku ingin tahu siapa yang berani mempermainkan rakyatku.”
Sementara itu, di Qingbei, Han Sunyi kembali berbaur di antara rakyat, memastikan tenda-tenda berdiri kokoh dan makanan cukup untuk seminggu. Mei Lian menghampiri, membawa kantung kecil berisi biji teratai.
“Ayah ingin mengucapkan terima kasih,” katanya lembut. “Katanya, kau seperti cerminan masa mudanya. Katanya juga, semoga benih ini tumbuh di tamanmu sebagai tanda harapan.”
Han Sunyi menerima kantung itu. “Benih teratai lagi,” katanya sambil tersenyum kecil.
Mei Lian tertawa. “Karena bunga itu satu-satunya yang bisa tumbuh dari lumpur tanpa kehilangan keindahannya. Seperti orang-orang baik di dunia ini.”
Zhi Dao yang mendengar dari belakang hanya bisa diam, matanya beralih ke Mei Lian dengan kekaguman yang sulit disembunyikan.
Han Sunyi menatap mereka berdua, lalu menatap langit jingga di atas. “Kalian berdua... mungkin generasi setelahku yang akan memperbaiki dunia ini.”
“Apa maksud Tuan Wen?” tanya Mei Lian.
“Dunia selalu butuh dua hal untuk seimbang,” jawab Han Sunyi lembut. “Kekuatan untuk melindungi, dan hati untuk memahami.”
Matahari tenggelam sepenuhnya. Di ufuk barat, awan berwarna emas memudar menjadi ungu. Angin membawa aroma bunga teratai dari kolam buatan di dekat tenda bunga pertama yang ditanam Han Sunyi beberapa hari lalu kini mulai mekar perlahan.
“Lihat,” ujar Mei Lian lirih. “Teratai itu… mekar.”
Han Sunyi menatapnya, senyum tipis terukir di wajahnya. “Tanda bahwa bumi belum mati. Dan mungkin, hati manusia juga belum sepenuhnya hilang.”
----
Malam turun, dan di kejauhan, suara derap kuda terdengar. Sebuah pasukan kecil bergerak cepat menuju arah mereka. Zhi Dao segera siaga, tangannya memegang pedang.
“Tuan Wen, ada pasukan datang dari utara!” seru Zhi Dao
Han Sunyi berdiri, matanya menatap tajam ke arah jalan berdebu.
Namun ketika pasukan itu mendekat, lampu obor mereka menyingkap bendera dengan lambang naga putih bukan lambang perang, tapi simbol pribadi milik Kaisar Li Feng sendiri.
Zhi Dao terkejut. “Itu... pasukan istana tingkat satu!”
Han Sunyi memejamkan mata sesaat. “Jadi akhirnya kau datang juga, Li Feng.”
Di bawah cahaya bulan, dua takdir yang lama terpisah kini mulai saling mendekat lagi.
Sementara rakyat tertidur dengan damai di bawah tenda-tenda, sejarah diam-diam mulai bergerak di antara mereka membawa nama Wen Lang atau Han Sunyi, Li Feng, Zhi Dao, dan Mei Lian menuju titik pertemuan yang akan mengubah segalanya.
Bersambung...