Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Kediaman Jenderal Fang
Lucien berada di ruang kerjanya, duduk tegak di balik meja kayu besar. Sebuah buku tebal terbuka di hadapannya, namun sejak tadi matanya tidak benar-benar membaca satu pun kata.
Di sampingnya, Max berdiri dengan sikap tegap menanti perintah.
"Apakah Nona Shu sudah pulang?" tanya Lucien tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku.
"Belum, Jenderal. Nona mengatakan ingin mencari bahan obat herbal," jawab Max singkat.
Alis Lucien sedikit berkerut.
"Hari sudah hampir gelap. Seorang gadis berjalan sendiri sangat berbahaya di luar sana." Ia menutup bukunya perlahan. "Pergi cari Nona Shu. Pastikan dia kembali dengan selamat."
"Baik, Jenderal!" jawab Max cepat, lalu berbalik pergi.
Saat melangkah ke luar ruangan, Max tak bisa menahan gejolak pikirannya.
"Seorang jenderal yang dingin dan angkuh, ternyata bisa secemas ini pada seorang gadis? Selama ini Nona Shu sering membuatnya naik darah, tapi tak sekali pun beliau benar-benar menghukumnya."
Langkah Max akhirnya menghilang di sepanjang lorong.
Kini, hanya tersisa Lucien seorang diri di ruangan luas itu.
Ia meletakkan buku yang tadi dipegangnya ke atas meja. Ruangan mendadak terasa jauh lebih sunyi dari sebelumnya.
Tatapannya menerawang ke jendela, memandangi warna langit yang mulai berubah jingga gelap.
Sesuatu yang asing perlahan menyusup ke dadanya—bukan marah, bukan kesal… tapi gelisah.
“Ah Zhu…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Jenderal Fang menyadari satu hal yang membuatnya tidak nyaman.
***
Sementara itu, di gang sempit yang sepi Storm terpaksa menghadapi beberapa penyerang seorang diri.
Wajahnya tetap tenang, namun di balik ketenangan itu, pikirannya bekerja cepat.
Dalam satu gerakan halus, ia menaburkan serbuk halus dari telapak tangannya ke arah para pria itu. Serbuk itu beterbangan di udara, membuat dua orang di depan langsung terhuyung, batuk hebat sambil memegangi wajah mereka.
Di saat yang sama, Strom mengeluarkan jarum akupunkturnya dan melemparkannya satu demi satu, menusuk titik-titik tertentu hingga membuat lawannya kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur.
Namun dari belakang, sebuah lengan tiba-tiba melingkari tubuhnya dengan kasar.
Storm menjatuhkan tubuhnya ke belakang untuk melepaskan diri dari pelukan pria itu. Mereka sama-sama terjatuh ke lantai, dan kepala pria tersebut lebih dulu membentur batu hingga terluka dan berdarah.
Dengan gerakan cepat, Storm berbalik dan menendang lawannya yang lain hingga terpental dan menabrak dinding, terkapar kesakitan.
Keheningan sejenak menyelimuti gang itu.
Salah satu pria yang masih berdiri menatap Storm dengan mata terbelalak, jelas tak menyangka seorang wanita bisa bergerak selincah dan sekuat itu.
“Wanita ini… bisa bertarung?” gumamnya, suaranya penuh keterkejutan.
Storm berdiri tegak, napasnya sedikit memburu, namun tatapannya tetap tajam. Ujung jarinya masih menggenggam satu jarum terakhir.
"Siapa kalian, berani menyerangku?" tanya Storm sambil menahan pergelangan tangannya yang nyeri.
Di sisi lain gang, tersembunyi di balik tumpukan peti kayu, seorang pria memegang senjata tajam di tangannya, menunggu saat yang tepat untuk bertindak.
“Kami adalah musuh Lucien Fang. Katakan… apakah dia terluka parah?” tanya salah satu dari mereka.
“Hanya luka ringan. Tidak mematikan,” jawab Storm dingin.
“Kalau hanya luka ringan, untuk apa seorang dokter pribadi selalu berada di sisinya?” selidik mereka.
Storm menatap mereka dengan jijik.
“Jenderal Fang adalah pahlawan negara. Bukan seperti kalian ... sampah yang muncul tanpa asal-usul.”
Wajah mereka mengeras.
“Serang! Lumpuhkan kakinya!” perintah salah satu dari mereka.
Beberapa lelaki langsung bergerak bersamaan. Storm dengan cepat melemparkan jarumnya, salah satunya mengenai seorang penyerang dan membuat tubuh pria itu langsung oleng sebelum jatuh berlutut.
Storm memanfaatkan celah itu untuk menghindari serangan yang lain, lalu berlari menyusuri gang sempit.
Namun tiba-tiba, sebuah sosok muncul menghadangnya dari depan.
Tanpa ragu, Storm melemparkan pil kecil dari genggamannya. Pil itu meledak kecil saat menyentuh tanah, mengeluarkan asap menyengat.
“Mataku…!” jerit pria itu sambil memegangi wajahnya.
Storm mengambil apa pun yang sempat diraihnya di tanah—sepotong kayu, pecahan benda tumpul—dan melemparkannya ke arah para penyerang demi menghalangi pandangan mereka, lalu berbalik hendak melarikan diri.
Namun pada saat itulah—
Sebuah rasa panas menusuk tajam di sisi perut kirinya.
Storm terhenti seketika.
Pandangan matanya membesar perlahan saat melihat pegangan pisau mencuat dari sisi tubuhnya. Hangat… lalu basah. Darah mulai menetes ke tanah di bawah kakinya.
Untuk beberapa detik, dunia di sekelilingnya terasa hening. Pria itu kemudian mencabut senjatanya dan membuat darah luka Storm mengalir semakin deras.
Tubuhnya mulai kehilangan tenaga… namun ia masih berdiri, berjuang untuk tidak rubuh.
"Sakit sekali… Apakah aku akan mati sekali lagi? Tidak bisa… Aku masih ingin pulang. Aku ingin bertemu Papa dan Mama. Aku tidak boleh mati di sini…" batin Storm, sambil menekan luka di perutnya yang cukup dalam.
Lawannya yang telah menikamnya kembali mengangkat senjata, hendak menyerang sekali lagi. Namun tiba-tiba sebuah suara tembakan menggelegar memecah udara.
Max terlihat berdiri di kejauhan. Penglihatan Storm mulai buram, tubuhnya kehilangan kekuatan. Telapak kakinya yang gemetar nyaris tak sanggup lagi menahan tubuhnya di atas aspal.
"Aku… mau pulang…" gumam Storm pelan, bayangan kedua orang tuanya dan kenangan bersama Nic berkelebat di benaknya.