Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Luka Lama dan Siasat Murahan
Malam itu, suasana kamar terasa sangat sunyi, berbanding terbalik dengan gemuruh di dada Aini. Saat dia sedang mencoba menenangkan pikirannya yang kalut, tiba-tiba HP di atas nakas bergetar hebat. Sebuah nama muncul di layar, membuat napas Aini tertahan sejenak.
Ibu Dewi.
"Sudah kuduga... Ujung-ujungnya pasti telepon cuma buat minta setoran bulanan. Nggak pernah sekali pun tanya kabar dengan tulus," gumam Aini pelan dengan senyum getir. Dia menarik napas panjang sebelum menggeser tombol hijau.
"Halo, Bu. Assalamu’alaikum," ucap Aini berusaha setenang mungkin.
"Waalaikumsalam! Aini, kamu ini bagaimana sih? Ini sudah lewat tanggal berapa, kok kamu belum kirim uang ke Ibu? Ibu ini sudah dikejar-kejar orang koperasi, mau ditaruh di mana muka Ibu kalau sampai mereka datang ke rumah lagi!" sahut Ibu Dewi di seberang sana tanpa basa-basi, suaranya melengking tajam.
Aini memijat pangkal hidungnya.
"Aini lagi nggak punya uang, Bu. Bulan ini bener-bener kering. Aini nggak pegang uang lebih sama sekali."
"Hah! Nggak punya uang gimana maksudmu? Varo kan baru gajian dua hari lalu! Ibu tahu gajinya dia besar, posisi dia di kantor juga bagus. Pasti kamu dikasih jatah banyak, kan? Jangan bilang uangnya kamu pakai buat foya-foya sendiri, beli tas atau baju baru diam-diam tanpa kasih tahu Ibu!" tuduh Ibu Dewi dengan nada curiga yang menyakitkan.
Aini terkekeh hambar.
"Foya-foya? Bu, buat makan sehari-hari saja Aini harus putar otak. Bulan ini Mas Varo nggak kasih Aini uang sepeser pun. Semua gajinya diserahkan bulat-bulat ke Ibu Sarah. Aku saja sekarang cuma jadi penonton di rumah ini, nggak pegang uang belanja sama sekali."
"Apa?! Diserahkan ke mertuamu?! Kok kamu bodoh sekali sih jadi istri, Aini! Masa kamu kalah sama mertua sendiri? Kamu itu istrinya, kamu yang berhak pegang uang itu! Kamu rebut dong, jangan mau ditindas! Kenapa kamu jadi lemah begini? Mana harga dirimu sebagai menantu?!" Ibu Dewi semakin meradang, suaranya sampai pecah karena emosi.
"Ya mau bagaimana lagi, Bu. Memang begitu keadaannya sekarang. Ibu Sarah yang pegang kendali, dan Mas Varo lebih nurut sama ibunya. Jadi, Aini bener-bener nggak bisa kirim uang ke Ibu bulan ini. Tolong Ibu mengerti sedikit," pinta Aini pelan.
"Loh, nggak bisa begitu! Kamu kan punya usaha rumah makan! Masa satu sen pun nggak ada untungnya? Terus Ibu mau makan apa di kampung kalau kamu nggak kirim uang? Kamu tega lihat Ibu kandungmu sendiri kelaparan sementara kamu tinggal di rumah mewah?" Ibu Dewi mulai menggunakan senjata andalannya: rasa bersalah.
Aini terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada yang lebih tegas dari biasanya.
"Hasil rumah makan itu Aini pakai buat muterin modal lagi, Bu. Sewa tempat, gaji pegawai, semua naik. Lagian, Ibu kan punya toko sembako di kampung yang modalnya dulu dari Aini. Hasilnya kan lumayan besar, Bu. Apalagi sekarang Cilla sudah nggak tinggal sama Ibu, harusnya pengeluaran Ibu jauh lebih hemat, kan? Ke mana semua uang hasil toko itu pergi, Bu?"
Ibu Dewi sempat terdiam beberapa detik, tampak kaget karena Aini yang biasanya penurut mulai berani mempertanyakan keuangannya.
"Toko lagi sepi, Aini! Orang-orang di kampung lagi pada susah, banyakan yang ngutang daripada yang bayar tunai! Kamu jangan pelit-pelit lah sama Ibu kandung sendiri, nanti kualat kamu!"
"Masa sih sepi terus, Bu? Kan Ibu juga baru saja panen padi di sawah belakang rumah yang luas itu, kan? Harusnya uangnya banyak dari hasil jual gabah," pancing Aini lagi.
"Anu... itu... hasil panennya lagi hancur, Aini! Banyak yang dimakan tikus sama burung, sisa yang bagus cuma sedikit, cuma cukup buat makan Ibu sehari-hari saja. Sisanya busuk!" Ibu Dewi berbohong dengan sangat lancar, padahal Aini tahu betul tahun ini panen di kampung sedang melimpah.
"Masa sih seburuk itu? Kata Cilla, sawah Ibu hasilnya bagus banget tahun ini. Malah dia bilang Ibu baru saja beli motor baru secara tunai bulan lalu?" ucap Aini sengaja mengarang cerita motor itu untuk memancing reaksi ibunya.
"Eh! Cilla bilang begitu?! Anak itu memang bermulut besar! Itu... itu motor bekas, Aini! Belinya pun nyicil, bukan tunai! Kamu jangan lebih percaya sama omongan adikmu yang nggak jelas itu!" Ibu Dewi mulai panik dan gelagapan.
"Sudah deh, pokoknya kamu harus cari cara. Kirim Ibu uang sekarang juga! Jangan jadi anak durhaka yang lupa sama orang tua!"
"Maaf ya, Bu. Kali ini Aini tetap nggak bisa. Aini sudah terlalu banyak kasih uang, tapi Ibu nggak pernah menghargai Aini. Ibu selalu lebih sayang sama Cilla, selalu belain dia. Aini nggak bakal lupa gimana cara Ibu membedakan kami sejak kecil sampai sekarang. Cilla selalu Ibu sanjung, sementara Aini cuma Ibu cari kalau Ibu butuh uang. Aini capek, Bu," ucap Aini dengan suara yang bergetar hebat. Luka lama itu kembali menganga.
Ibu Dewi terdiam cukup lama, mungkin terpukul dengan kejujuran Aini yang tiba-tiba.
"Aini, kamu jangan bicara begitu..."
"Sudah ya, Bu. Aini mau istirahat. Aini minta maaf kalau omongan Aini menyakitkan, tapi ini kenyataannya. Assalamu’alaikum." Aini langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban lagi. Dia menarik napas dalam, mencoba membuang sesak di dadanya.
Tiga hari berlalu dalam ketegangan yang tersembunyi. Tak terasa, dua hari lagi adalah hari Minggy. Hari di mana Varo dan Cilla berencana akan menikah secara siri di kampung halaman Cilla. Aini tidak tinggal diam, dia terus mengawasi setiap gerak-gerik mencurigakan di dalam rumah itu. Dia sering melihat Varo berbisik-bisik dengan Cilla dan Ibu Sarah di pojok ruang tamu, seolah sedang menyusun rencana besar.
Aini kemudian mengambil HP-nya dan mengirim pesan singkat kepada Siska melalui aplikasi pesan instan.
Aini: "Ai, Minggu besok hari H-nya. Lo sudah siapin semuanya kan? Jangan sampai ada yang kelewat."
Siska: "Beres, Ai! Pasukan gue sudah standby. Tim dokumentasi dan 'tamu kejutan' sudah siap tempur. Kita bakal kasih mereka pertunjukan yang nggak bakal mereka lupain seumur hidup. Biar mereka tahu rasa gimana rasanya main-main sama dokter yang punya koneksi banyak!"
Ain: "Sip. Kabari gue terus perkembangannya. Gue bakal pantau dari dalam sini. Pastikan semuanya rapi dan jangan sampai bocor sebelum waktunya."
Tiba-tiba, suara cempreng Ibu Sarah memecah keheningan ruang tengah, memanggil nama Aini dengan nada yang dibuat-buat manis.
"Aini! Sini kamu sebentar, Nak!"
Aini menghampiri mertuanya yang sedang duduk lesehan di ruang tengah, dikelilingi oleh beberapa kotak kardus dan tumpukan kain. "Iya, Bu? Ada apa? Tumben panggilnya pakai 'Nak', ada maunya ya?" tanya Aini dengan wajah polos yang sangat sarkastik.
Ibu Sarah tampak sedikit gugup, dia merapikan tumpukan kain di depannya.
"Ini... kamu tolong pergi ke toko plastik di depan kompleks sekarang. Beli plastik parsel yang bening dan agak tebal itu ya. Beli lima gulung sekalian sama pita-pita yang warna emas dan perak."
"Plastik parsel? Buat apa banyak banget gitu, Bu? Ibu mau buka toko kado atau mau bungkus bingkisan lebaran? Kan lebaran masih jauh?" tanya Aini, matanya melirik tajam ke arah kotak-kotak yang ada di lantai.
"I-ini... Ibu cuma mau bantu teman Ibu. Katanya dia mau buat hantaran seserahan buat anaknya yang mau menikah lusa, terus dia minta tolong Ibu yang belikan bahannya karena dia lagi sibuk nggak sempat keluar rumah," jawab Ibu Sarah dengan alasan yang terdengar sangat dipaksakan dan dibuat-alih.
"Hah? Serius, Bu? Masa hantaran seserahan zaman sekarang bungkusnya pakai plastik parsel bening begitu? Biasanya kan orang pakai kotak mika yang mewah atau kotak akrilik biar kelihatan berkelas? Masa nikahan cuma pakai plastik parsel? Apa temen Ibu itu miskin banget?" pancing Aini lagi, sengaja ingin melihat reaksi mertuanya.
"Ya mana Ibu tahu! Mungkin teman Ibu itu seleranya memang sederhana, atau mungkin dia pengen hemat budget! Kamu jangan banyak tanya, deh! Tugasmu cuma beli, bukan jadi kritikus seserahan! Ini uangnya seratus ribu, sisa kembaliannya kamu ambil saja buat beli es. Cepat pergi sekarang sebelum tokonya tutup!" bentak Ibu Sarah yang mulai kehilangan kesabaran karena terus dipojokkan.
"Oke, oke, Bu. Aini berangkat dulu ya," jawab Aini sambil mengambil uang tersebut dengan senyum miring yang tersembunyi.
Di atas motor, Aini tertawa terbahak-bahak saat menyusuri jalan kompleks.
"Hahaha! Pinter banget aktingnya si Ibu. Jelas-jelas itu buat bungkusin hantaran si Cilla. Ya ampun, mau nikah lagi tapi pelitnya sudah mendarah daging sampai ke tulang. Masa seserahan buat calon menantu kesayangan cuma mau dibungkus sendiri pakai plastik parsel murahan? Nggak sudi banget keluar uang buat bayar jasa hias seserahan yang layak. Kasihan kamu, Cilla, ternyata calon mertuamu itu bener-bener pelitnya tingkat dewa! Siap-siap saja hidup susah sama mertua model begitu."
Aini memutuskan untuk mengikuti saja seluruh skenario mereka. Dia ingin melihat seberapa rapi mereka bisa menyembunyikan bangkai kebohongan itu di hadapannya, sebelum akhirnya bau busuk itu tercium oleh semua orang di hari minggu nanti.
BERSAMBUNG...