Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Pagi yang Tak Biasa
Pagi ini awan mendung membuat suasana enak untuk tidur bergelung selimut dan bermalas-malasan. Tapi sayang, Yuri harus segera berangkat ke kampus. Hari ini hari kedua ujian semester, ujian pagi di mulai jam delapan.
Yuri sedang bersiap. Jam digital menunjukkan jam tujuh kurang limabelas menit. Sebentar lagi Ezra menjemputnya. Yuri menghela napas panjang. Entah ini keputusan terbaiknya apa bukan, beberapa hari ini sudah berurusan terus dengan Ezra... dan merasakan pertama kalinya dibully dari seniornya, Tania dan geng.
Di atas ranjang tergeletak satu paperbag berisi jaket dan baju milik Ezra— yang sempat dia pakai waktu itu. Sudah dia cuci bersih dan hari ini niatannya mau dikembalikan.
Yuri mengoleskan lipstik nude tipis-tipis, pikirannya melayang ke kejadian semalam. Dosennya, Pak Kenan, dengan segala tingkahnya yang membuat jantungnya serasa ingin copot. Yuri yakin, dia cuma kaget saja semalam. Apalagi pas dia sadar... dia kaget setengah mati begitu ingat semalam cuma pakai baju tidur tipis didepan dosennya.
"Mati gue. Mampus. Yuri, bego. Ini gimana kalau gue harus tatap muka sama Pak Kenan lagi? Bodoh, bodoh... ," gerutunya sambil menghela napas pasrah.
Getar ponsel menyadarkannya kembali ke realita. Ada nama Ezra di layar. Yuri buru-buru mengangkatnya.
“Hallo.”
“Hana, gue sudah di depan.”
“Ok. Gue keluar sekarang.”
Yuri mematikan ponsel, menyambar tas ransel dan paperbag yang sudah dia siapkan. Pagi ini dia hanya memakai kemeja hitam lengan pendek di lapis cardigan maroon, celana panjang hitam bergaris, dan sepatu kets.
Saat berjalan menuju gerbang, dia bertemu Bi Ati yang sedang menyapu halaman depan.
“Pagi, Kak. Mau berangkat kuliah ya?”
“Pagi, Bi. Iya nih, berangkat dulu ya. Btw, saya nggak lihat Bapak Bi?”
“Oh, Bapak ikut Ibu ke Kalimantan, Kak. Katanya sebulan di sana. Ibu lagi penelitian gitu, Bibi mah nggak ngerti begituan,” katanya sambil mendekat. Sapu lidi ada di genggamannya.
“Oh gitu. Pantesan sepi beberapa hari ini. Kalau gitu permisi ya, Bi.”
Dari lantai dua rumah utama, Kenan melihat interaksi Yuri dan pembantu di bawah. Secangkir kopi panas di tangannya, uapnya mengepul. Ia tersenyum kecil dari balik jendela kamarnya sebelum memperhatikan ke arah gerbang—dan melihat Yuri dijemput seseorang disana.
Dia lagi, batinnya.
***
Ezra keluar dari mobil tepat saat Yuri melangkah keluar gerbang kecil. Senyumnya cerah, dia membukakan pintu mobil untuk Yuri.
“Pagi, Cantik,” sapanya ringan.
“Pagi, Bang Ez,” jawab Yuri dengan senyum tipis. Perasaannya campur aduk—ada rasa bersalah karena sikapnya kemarin, tapi juga… dia bingung sendiri.
Ezra menutup pintu, memutari mobil, lalu duduk di balik kemudi bersiap menuju kampus.
“Bang, ini jaket sama bajunya. Sudah gue cuci bersih,” Yuri menyerahkan paperbag. Ezra hanya tersenyum, mengambilnya, lalu meletakkannya di bangku belakang. Sebelum menyalakan mesin, dia sempat mengusap kepala Yuri sebentar membuat Yuri sedikit kaget, kepalanya sedikit tertarik untuk menghindar.
“Ujian di ruangan mana pagi ini?” tanya Ezra memecah sunyi didalam mobil.
“Di ruang Bisnis A, lantai satu. Nanti turunin kayak kemarin saja di MIPA.”
“Gue turunin di belakang gedung serbaguna FEB saja, kalau lo mau. Di sana sepi, nggak bakal ada yang lihat. Kalau lo masih takut atau risih… ya dari pada muter jauh dari MIPA. Kaki lo juga masih sakit.”
“Ya, sudah,” ujar Yuri pasrah. Dari tadi ia belum berani menatap Ezra secara langsung. Kali ini, ia memilih sibuk mengetik pesan ke Widya untuk bertemu di gedung serbaguna.
“Hana.”
“Ya?” Yuri tetap menatap keluar jendela. Jalanan ramai; semua berkejaran dengan waktu. Kerja, sekolah… atau seperti dirinya, ujian di kampus.
“Lo marah karena pernyataan gue waktu itu? Gue nggak bakal nagih jawabannya sekarang. Gue kasih waktu buat lo mikir lebih matang. Dan maaf kalau pengakuan gue bikin lo nggak nyaman. Hana, please jangan menghindar dari gue.”
Suara Ezra terdengar tulus, hati-hati.
Yuri menelan ludah. “Bang Ezra nggak salah…” suara Yuri pelan, hampir tenggelam oleh deru kendaraan di luar sana yang berlalu lalang.
Ezra menoleh sedikit. “Terus kenapa lo tiba-tiba menjauh?”
Yuri menggigit bibirnya. Ada rasa bersalah, tetapi juga… ia tahu betul cowok seperti Ezra akan mudah luluh kalau berhadapan dengan cewek rapuh. Dan jujur saja, dia butuh Ezra tetap di pihaknya. Di tengah kekacauan yang tiba-tiba muncul belakangan ini, contohnya sama Tania, Pak Kenan, dan ujian… Yuri butuh seseorang yang bisa dia jadikan tempat bersandar. Meski kadang dia sendiri nggak yakin apakah hal itu benar atau sekadar pelarian.
Dia menarik napas panjang, matanya masih nggak beranjak dari jendela. “Gue cuma… takut saja. Banyak hal kejadian kemarin. Terus soal pengakuan lo—gue jelas kaget dan tiba-tiba panik. Bukan berarti gue nggak peduli.”
Sengaja, suaranya ia turunkan sedikit. Membiarkan nada lelah dan genting terdengar jelas di telinga Ezra.
Ezra bersuara dengan lembut. “Hana…”
“Iya, gue salah kemarin menghindar dan ketus sama lo, Bang.” Yuri memelintir ujung cardigan, gelisah. “Tapi… gue beneran nggak tahu harus gimana. Gue nggak mau lo pergi karena salah paham.”
Kalimat terakhir itu meluncur dengan halus, penuh jeda terukur—seolah cuma dia satu-satunya tempat Yuri bisa bergantung.
Ezra menarik napas, bahunya menurun. “Gue nggak akan pergi kemana-mana.”
Yuri mengangguk pelan, seolah merasakan lega. Padahal di dalam hati, ada sedikit rasa puas karena berhasil menurunkan tensinya setelah apa yang dia lakukan kemarin.
Biar bagaimanapun, dia butuh Ezra tetap didekatnya… dia nyaman dengan seniornya ini.
Ezra meliriknya lagi. “Yang penting lo nggak menjauh kayak kemarin. Gue sempat mikir yang nggak-nggak.”
Yuri buru-buru memanfaatkan momen itu, nada manisnya keluar tanpa ia sadari. “Jangan mikir gitu, Bang… Kalau gue butuh bantuan, gue masih bakal cari abang duluan, kok.”
Kalimat itu terdengar ringan. Tapi ia tahu, ia sedang menarik Ezra sedikit lebih dekat lagi—cukup dekat untuk membuat dirinya aman, tapi belum cukup dekat untuk memberi jawaban pasti.
Ezra tersenyum kecil, matanya hangat. “Syukurlah.”
Sementara itu, Yuri kembali menatap ke luar jendela… senyum tipis terselip di sudut bibirnya. Sedikit, hampir tak terlihat.
Terkadang, bertahan hidup di dunia kampus yang penuh tekanan itu butuh strategi—dan Yuri, meski tampak polos, tapi dia tahu persis kapan harus terlihat rapuh, dan kapan harus menenangkan seseorang hanya dengan beberapa kata lembut keluar dari bibirnya.
***
Mobil Ezra baru saja terparkir di balik gedung serbaguna, tersembunyi oleh beberapa pohon besar yang membuat siapa pun sulit melihat mobil ini.
Klik
Seatbelt Yuri terbuka. Ia meraih tas, bersiap turun. Namun sebelum sempat bergerak, pergelangan tangannya dicekal Ezra. Jam baru menunjukkan pukul 07.30—masih ada setengah jam sebelum ujian semester dimulai.
“Nanti pulang sama gue. Ok?” suara Ezra serius, matanya menatap lurus ke mata Yuri.
Yuri yang ditatap seintens itu mendadak panas-dingin. Pandangannya langsung beralih ke arah jalanan sepi. “Gue kelarnya sore nanti…” jawabnya lirih.
“Nggak papa. Nanti kabari gue aja. Gue hari ini ujian pagi sama siang,” jawab Ezra santai, tapi tetap dengan tatapan yang nggak menjauh dari wajah cantik Yuri.
Tangan Ezra yang lain terangkat, menyentuh dagu Yuri, memaksa matanya kembali beradu pandang.
“O-ok…” suara Yuri goyah, pipinya memanas dan mulai memerah dengan jelas.
Ezra tersenyum tipis. Ia mendekat pelan—
Cup.
Sebuah kecupan mendarat di salah satu pipi Yuri.
“Bang!” Yuri terlonjak kecil, kaget bercampur malu. Apalagi ini masih di lingkungan kampus. Ezra malah tersenyum lebih lebar, senyum manis yang membuat Yuri makin salah tingkah. Dasar senior sinting, batinnya.
Cup.
Ezra sekali lagi mengecup pipinya. Pipi Yuri makin memerah. Udara di dalam mobil jelas berubah—lebih berat, lebih panas.
“Ish…” Yuri memalingkan wajah, berusaha kabur dari situasi itu.
Ezra menahan bahunya ringan dan tanpa peringatan, mengecup pelan sisi leher Yuri yang terlihat jelas di hadapannya.
“Ah…” desah pendek itu lolos sebelum sempat ia tahan. Yuri refleks menutup mulut dengan tangan lainnya, matanya membulat karena kaget.
Ezra si pelaku hanya tertawa pelan. “Daripada gue merusak lipstik lo, kan?” godanya sambil mengedipkan satu mata.
“Bang Ezra!” Yuri memukul dada Ezra, tapi jelas bukan pukulan serius. Lebih seperti reaksi spontan dari seseorang yang benar-benar malu dan nggak siap menghadapi agresi manis seperti itu.
Tanpa menunggu Ezra menambah aksinya, Yuri buru-buru membuka pintu dan turun. Ia berjalan pelan menuju gedung, wajahnya memanas, telinganya ikut merah. Sepanjang jalan, dia ngedumel dalam hati sambil tangannya sibuk mengipasi wajahnya.
Senior sialan… arghhh.
Tapi jantungnya masih berdetak kacau, dan lehernya masih terasa hangat.