Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Wanita itu menunduk cepat, seakan menyembunyikan sesuatu di balik napasnya yang bergetar.Lalu,klik. Gelang di pergelangan tangannya menyala. Cahaya putih memercik, menelan siluetnya dalam kabut dingin dermaga.
Sebelum Apollo sempat mendekat, sosok itu sudah menghilang,dan dalam sepersekian detik berikutnya, muncul di belakangnya.
Tendangan keras menghantam punggungnya.
“Sial.”
Apollo berbalik cepat, menahan sakit, matanya tajam seperti binatang terpojok.
Wanita itu menatapnya dingin. “Mari bertarung,” ucapnya datar namun di balik suara itu, terselip getaran halus yang tak bisa disembunyikan: antara benci dan rindu.
Angin malam memukul keras permukaan dermaga, menciptakan suara decit panjang dari tali tambat yang tertarik kencang.
Di bawahnya, lautan bergejolak,gelap, seperti menyimpan sesuatu yang menunggu untuk bangkit.
Lampu-lampu dermaga berkelap-kelip, menerangi tumpukan kontainer yang menjulang seperti labirin baja. Dan di atasnya, dua bayangan melompat, bertarung dengan kecepatan yang mata manusia biasa tak akan mampu mengikuti.
Tubuh Apollo terhentak ke belakang ketika sabetan pedang pendek nyaris mengenai lehernya. Ia menangkis dengan belati logam bertepi tebal, memutar pergelangan tangan hingga pedang lawan terpental, memantul di udara lalu kembali ke genggaman wanita bertopeng itu seperti ditarik oleh magnet tak terlihat.
Keduanya berdiri diam sejenak, saling menatap. Hanya hembusan napas yang terdengar. Besi, garam, dan amarah bercampur dalam udara dingin.
“Kau tidak buruk,” ucap Apollo akhirnya, napasnya berat tapi suaranya tetap dingin.
“Tapi kau bergerak seperti seseorang yang sudah kulatih.”
Wanita itu menegang. Ia tidak menjawab, hanya menarik napas dalam dan memaling kan wajahnya.
“Jangan lihat aku,” katanya pelan. Suaranya gemetar , tapi bukan karena takut.“Aku bukan dia.”
Apollo memejamkan mata, menahan gemuruh di dadanya. Ia tertawa kecil, getir.
“Kalau begitu kenapa suaramu.sama seperti doa terakhirnya?”
“Cukup!” seru wanita itu tiba-tiba. Gelombang energi biru melesat dari pedangnya, meme cah permukaan kontainer dan memantulkan cahaya seperti kilat. Apollo terlempar ke belakang, nyaris jatuh, tapi ia menancapkan pisaunya ke besi untuk menahan diri.
“Jadi, kau ingin aku percaya bahwa kau bukan dia?” Apollo bangkit perlahan, wajahnya kini gelap. “Baik. Maka lawan aku sebagai orang asing.”
Ia maju, dengan gerakan cepat dan penuh tekanan emosional. Setiap serangan bukan lagi tentang membunuh , tapi tentang memaksa kebenaran keluar dari balik topeng itu.
Wanita itu menangkis, memutar, menendang . tapi ritme mereka kini berbeda. Di sela sabetan dan dentingan logam, ada getaran samar , kenangan, penyesalan, dan rasa cinta yang berusaha disangkal.
“Kau masih menyimpan teknikku,” kata Apollo lirih, menahan pedang di antara mereka. “Langkah ketiga,rotasi penuh, lalu tusukan kiri. Itu hanya aku dan dia yang tahu.”
Wanita itu menggertakkan gigi. “Kau terlalu banyak bicara.”Mereka beradu lagi.
Topeng itu semakin retak. Satu retakan lagi dan mungkin semuanya akan berakhir.
Tapi sebelum itu terjadi, wanita itu menunduk cepat dan menekan gelang di pergelangan tangannya. Sebuah perangkat kecil memancarkan cahaya putih menyilaukan.
“Sial—” desis Apollo, menutup wajahnya dari ledakan cahaya.
Dalam sekejap, kabut tebal menyelimuti seluruh area. Suara langkah ringan bergema lalu menghilang.
Saat kabut perlahan memudar, Apollo berdiri sendiri di atas kontainer yang kini retak dan berasap. Di ujung sana, hanya tertinggal sesuatu kecil yang jatuh dari kabut serpihan topeng putih, setengah pecah.
Ia menunduk, memungutnya. Ujung jarinya bergetar. “Kalau itu kau, Rena…” suaranya pelan, nyaris seperti doa.
“Mengapa kau bersembunyi dariku? Mengapa kau tidak membiarkan aku mati bersamamu saat itu?”
Hening. Angin laut kembali berembus.
Dan dari kejauhan, hanya terdengar suara rantai kapal bergoyang pelan , seperti gema masa lalu yang enggan pergi.
Ketika asap mulai mengendur, yang tersisa hanya topeng naga yang tergeletak di tanah, hangus di tepinya. Apollo menunduk, hendak memungutnya ,tapi pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang lain.
Sebuah kalung kecil. Tali kulit hitam, dengan liontin perak berbentuk phoenix . Burung yang terbakar dalam nyala abadi.
Apollo memungutnya perlahan, matanya terpaku. Jari-jarinya bergetar.“Kalung ini…”
Ia mengenalnya.Kalung yang pernah ia berikan bertahun-tahun lalu, pada seorang wanita yang ia kira telah menghilang dari dunia ini.
Kalung milik Rena. malam musim dingin di balkon mansion mereka , malam terakhir sebelum perang. Salju turun pelan, menempel di rambut Rena yang panjang.
“Kau tahu arti simbolnya?” tanya Apollo waktu itu, nada suaranya lebih lembut dari biasanya.
Rena menatap liontin perak di dadanya, bentuknya seperti burung phoenix yang sayapnya setengah terbakar.
“Burung yang lahir dari abu,” jawabnya sambil tersenyum samar. “Kau memberiku api, Axel. Aku akan kembali dari mana pun, bahkan dari kematian sekalipun.”
Saat itu, Apollo hanya tertawa pelan. Ia mengusap kepala Rena, menyentuh kening nya dengan keningnya sendiri.
“Kalau kau benar-benar kembali dari kematian, pastikan kau tidak membuatku menunggumu terlalu lama.”
—
Kini, di dermaga dingin yang basah darah dan kabut, kenangan itu menghantamnya seperti gelombang. Kalung itu dingin di tangannya. Phoenix perak di tengahnya berkilau samar, meski penuh jelaga.
“Tidak mungkin…”
Suara Apollo serak, nyaris seperti orang yang kehilangan arah. Ia menggenggam kalung itu kuat-kuat hingga urat di tangannya menegang.
“Rena apa yang sudah kau lakukan…?”
Langkah berat terdengar dari arah belakang.
Eliot muncul, menuruni tumpukan kontainer dengan pistol masih terangkat. Di wajahnya tampak kelelahan dan sedikit darah di pelipis.
“Semua orang kabur, Tuan. Tidak ada satu pun sinyal yang bisa kami lacak,” katanya cepat, menurunkan pistolnya ketika melihat keadaan sekitar.
Ia berhenti beberapa langkah di belakang Apollo.“Apa itu?” tanyanya, matanya menyipit melihat benda di tangan Apollo.
Apollo tidak menjawab.Ia masih menatap liontin itu, seolah benda itu adalah hantu masa lalu yang hidup kembali.
Eliot mendekat perlahan, matanya mengamati wajah tuannya yang tampak jauh lebih kosong dari biasanya.
“Bos…” panggilnya hati-hati. “ Kau melihat sesuatu?”Tak ada jawaban.
Apollo hanya berdiri diam.Ia memejamkan mata, napasnya tertahan sesaat.
“Tidak,” akhirnya ia menjawab. “Aku hanya mengenalinya… bahkan tanpa perlu melihat.”
Kalimat itu menggantung di udara, tajam dan menyakitkan. Eliot menunduk sedikit, ekspresinya berubah sendu.Ia tahu.
Tuannya itu masih menyembunyikan kenyata an bahwa sejak luka di Vladivostok,dulu saat matanya nyaris tidak lagi berfungsi. Dan hanya di hadapan satu nama… Rena… kebuta annya seakan lenyap sementara.
Apollo menggenggam kalung itu lebih erat, lalu menyelipkannya ke dalam saku jasnya.
“Kirim orang ke seluruh dermaga,” katanya datar. “Cari jejak siapa pun yang mengguna kan gelang transmisi cahaya.”
Ia berjalan pelan menuju tepi dek, langkahnya mantap meski matanya tampak kosong menatap kabut laut.
...****************...
Mobil hitam berhenti perlahan di depan gerbang utama mansion Dragunov. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur bau logam dari pagar besi besar berukir lambang naga bersayap. Lampu taman berpendar lembut, memantul kan genangan air di jalan batu, dan di antara pantulan itu, tampak siluet bangunan raksasa, dingin, dan penuh rahasia.
Suara mesin mereda, dan hanya detak jam di dalam mobil yang terdengar. Di kursi belakang, Apollo duduk diam, mata menatap kosong keluar jendela. Wajahnya tampak seperti patung granit yang dipahat untuk menutupi sesuatu di dalam—gelombang perasaan yang tidak diizinkan muncul ke permukaan.
Ia masih bisa mencium bau garam dan besi dari dermaga di bajunya. Masih bisa mendengar suara desing pedang, retakan topeng naga itu, dan cahaya samar di balik nya. sepasang mata yang menghancurkan semua logika yang telah ia bangun selama bertahun-tahun.
Rena.
Nama itu terus bergema di benaknya seperti mantra terlarang. Wanita itu atau setidaknya bayangannya muncul di medan yang seharus nya sudah ia bakar habis dari ingatannya.
Dan kini, entah bagaimana, ia muncul kembali dalam bentuk seorang wanita bertopeng, dengan gerak tubuh, napas, bahkan tatapan yang sama.
Pintu mobil dibuka dari luar. Hujan menetes pelan dari atap ke pundak jas hitamnya saat ia turun. Dua barisan pengawal bayangan sudah menunggu di bawah tangga batu; mereka menunduk serempak begitu ia lewat. Tak ada kata yang diucapkan, tapi tekanan dari langkah Apollo sudah cukup untuk memberi perintah.
Eliot dan Johan berdiri di ambang pintu, pakaian mereka kusut, wajahnya menegang. masih belum tidur setelah pencarian yang sia-sia sejak malam sebelumnya. Begitu Apollo melewati mereka, tak satu pun berani bicara.
Dia berjalan lurus menuju ruang tamu besar. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya dingin ke arah tubuhnya yang basah,mencipta kan bayangan panjang di lantai marmer hitam. Ia menjatuhkan diri ke sofa kulit hitam, menyilangkan kaki, dan menyandarkan kepala.
Tangan kirinya naik, menekan pelipis. Ia menutup mata. Napasnya dalam, berat.
Rena. Sekali lagi nama itu datang, membawa seluruh kepingan kenangan yang selama ini ia kubur di dasar kehampaan.
Rena, wanita yang membuatnya mengenal cinta, tapi juga menghancurkan makna cinta itu sendiri.Wanita yang dulu ia kuburkan bersama dirinya sendiri.
Tapi kini, dia muncul lagi di bawah wujud topeng logam dan suara asing yang terlalu familiar.
Namun, sesuatu di dalam diri Apollo tahu… bukan hanya masa lalu yang mengguncang nya malam ini. Ada sesuatu yang lebih dekat. Lebih nyata.
Ia membuka matanya, dan tiba-tiba semuanya tersambung. Lyora.
Istrinya. Wanita yang selama ini ia lindungi, ia pelajari, bahkan ia curigai diam-diam.
Sebelum pertempuran di dermaga, anak buahnya sempat melapor: kamera pengawas di kamar Lyora sempat glitch, mati selama beberapa menit.
Dan ketika sistem menyala kembali, wanita itu sudah hilang. Apollo bangkit dari sofa. Langkahnya cepat, mantap, menaiki tangga marmer menuju lantai dua.
Pintu kamar utama terbuka perlahan. Hening.Ruang itu masih tertata rapi seperti biasa. Ranjang dengan seprai putih mulus, bantal tersusun, dan di udara masih melayang samar aroma melati, aroma khas Lyora.
Namun ada sesuatu yang lain… sepi yang terlalu sempurna. Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya bergema lembut di lantai kayu. Pandangannya menelusuri tiap detail: meja rias, cermin, vas bunga di sudut ruangan. Semuanya tampak normal—tapi itulah yang membuatnya semakin tidak tenang.
Apollo menunduk, memerhatikan sesuatu di tepi ranjang. Sebuah pita merah. Potongan kecil, terselip di lipatan selimut.
Ujungnya basah oleh embun, dan di serat kainnya menempel serabut halus, mungkin dari kuku manusia, mungkin dari boneka. Ia mengenali benda itu seketika.Tali dari boneka Lyora.