NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Ini Bukan Belanda

"Terima kasih, Yem," ucap Soedarsono lembut. "Kau yang selalu ada untukku. Bahkan di saat tersulit dulu. Kau yang sabar mendengarkan keluh kesahku. Sampai aku akhirnya jadi bupati."

Pariyem terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Soedarsono yang berbeda pagi ini.

"Tapi sayang aku tak bisa membawamu ke kadipaten," lanjutnya dengan nada menyesal yang terdengar tulus.

"Tidak apa, Ndoro. Saya mengerti. Saya sadar diri." Pariyem tersenyum.

Soedarsono mengusap pipi Pariyem, lembut. "Kau mau apa, Yem? Nanti kubelikan kalau aku ke sini lagi. Kemungkinan akan lebih sering karena ada proyek pembangunan jalan dekat Kedung Wulan. Kau mau kalung? Gelang? Giwang? Nanti kupesankan ke tukang emas langganan."

Pariyem mengangkat wajah. Matanya yang sendu berbinar dengan harapan yang tak bisa ditahan.

"Ndoro," ucapnya halus, hampir berbisik. "Kalau boleh saya lancang ... bolehkah saya bertemu putra saya? Sekali saja. Saya tidak mau apa-apa lagi. Perhiasan yang Ndoro berikan sudah banyak."

Senyum di wajah Soedarsono perlahan surut. Dia menarik napas panjang.

"Kalau itu ... aku tidak bisa, Yem. Ibu tidak akan mengizinkan. Kau tahu betul bagaimana Ibu."

"Kalau tidak boleh memegang, apa boleh saya melihat saja dari jauh, Ndoro?" Suara Pariyem bergetar. "Tolong bawa saya ke kadipaten. Sebentar saja. Saya ingin melihat putra saya. Seperti apa rupanya?"

Soedarsono terdiam. Tangannya mengusap dagu lancip istrinya dengan gerakan seperti kasihan.

"Lebih baik tidak sama sekali, Yem. Sekali kau melihatnya, kau akan semakin sedih. Aku tahu ini tidak adil, tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada yang bisa melawan Ibu. Suasana hati Ibu akhir-akhir ini membaik dengan kelahiran Pram. Jadi aku tak mau mengacaukannya."

Pariyem mengangguk, kembali memaksakan senyum meski hatinya remuk.

Soedarsono mengecup pipi Pariyem, lalu bibirnya. "Kau selalu patuh. Aku suka itu."

Kemudian dia melanjutkan dengan nada yang lebih ringan, seolah membicarakan hal sepele.

"Jangan pikirkan Pram. Dia sehat di sana. Gemuk. Semua orang menyayanginya. Bibirnya tipis seperti bibirmu, kulitnya terang sepertimu. Selain itu, milikku semua. Dia tampan."

Setiap kata seperti pisau yang menusuk. Pariyem menggigit bibir agar tidak menangis.

"Pram sudah ada yang mengurus dengan baik. Pram diurus Ibu untuk menjadi penerus kadipaten selanjutnya. Tugasmu hanya melayaniku."

Kata-kata itu mungkin dulu terdengar manis, membuat Pariyem merasa istimewa. Tapi sekarang terdengar dingin dan kejam. Dia bukan istri. Dia bukan ibu. Dia hanya alat. Tidak lebih dari pelayan yang tidur di ranjang majikan.

Pariyem mengantar Soedarsono sampai ke kereta. Berdiri di kuncung pendopo, tersenyum manis hingga kereta tak terlihat lagi, hilang di tikungan jalan.

Langit telah terang sepenuhnya. Burung-burung berkicau riuh di pohon asam. Tapi Pariyem masih berdiri di sana, menatap gerbang kayu berukir yang tertutup dengan hati pedih.

Bayangan wajah putranya tergambar di benaknya. Bayi yang merupakan paduan antara dirinya dan Soedarsono. Bibir tipis seperti miliknya, kata Soedarsono. Kulit terang. Gemuk. Sehat.

Seperti apa matanya? Apakah sudah bisa fokus menatap? Apakah dia sudah bisa tertawa? Apakah tangannya sudah bisa meraih mainan?

Pariyem mondar-mandir di beranda. Gelisah. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Dia sedang tidak ingin membatik atau menyulam. Semua pekerjaan rumah sudah dikerjakan pelayan. Rumah besar ini terlalu sepi, terlalu kosong.

Tiba-tiba sebuah ide gila muncul di kepalanya.

"Kang Wiro!" panggilnya pada kusir yang sedang memberi makan kuda di belakang.

"Ada apa, Yu?"

"Siapkan kereta. Aku mau keluar."

Kusir tua itu mengerutkan dahi. Jarang sekali Pariyem keluar rumah. "Mau ke mana?"

"Ke ... ke pasar. Mau beli benang untuk menyulam."

Kereta kuda sederhana disiapkan. Tanpa lambang keluarga Prawiratama. Tanpa hiasan mewah. Ada satu kereta mewah lain di rumah itu, tapi hanya untuk istri sah. Istri selir hanya dapat kereta sederhana dengan kuda tua.

Tapi Pariyem tidak iri lagi. Mendapat fasilitas kereta saja sudah mewah baginya yang dulu ke mana-mana dengan berjalan kaki.

"Ke pasar mana, Yu?" tanya Wiro saat kereta mulai bergerak.

"Ke ... ke arah kadipaten dulu, Kang. Saya mau lihat-lihat."

Kang Wiro menoleh heran tapi tidak berkomentar. Dia mengarahkan kuda ke jalan utama menuju kadipaten.

Kereta melintasi sawah yang menguning, melewati kampung-kampung kecil, menyusuri kali yang airnya jernih. Semakin dekat ke kadipaten, jalanan semakin ramai. Pedati sapi mengangkut hasil bumi, orang-orang berjalan kaki dengan bakul di kepala, sesekali mobil Belanda melintas dengan klakson nyaring.

Akhirnya tembok tinggi bercat putih terlihat. Pagar kadipaten yang megah, membentang sepanjang mata memandang. Di baliknya, atap-atap joglo menjulang dengan genteng yang berkilauan.

"Pelan-pelan saja, Kang!" seru Pariyem.

Kereta melaju perlahan di sepanjang tembok. Pariyem mencoba mengintip dari celah-celah, tapi tidak ada yang terlihat selain pepohonan rindang.

Gerbang besar akhirnya terlihat. Dijaga ketat oleh pengawal berpakaian adat, memegang tombak dan perisai. Ada juga yang bersenjata api, senapan panjang yang mengkilap.

Hanya sekilas Pariyem melihat bagian dalam—taman luas dengan air mancur, jalan setapak dari batu, bangunan-bangunan megah di kejauhan. Seumur hidup, belum pernah dia menginjakkan kaki di sana.

"Berhenti, Kang. Saya mau turun sebentar."

"Di sini, Yu? Ini gerbang kadipaten."

"Iya, sebentar saja."

Pariyem turun dari kereta, berdiri di depan gerbang dengan jantung berdebar. Salah satu pengawal mendekat.

"Ada keperluan apa, Nyai?"

"Saya ... saya mau masuk. Ada keperluan dengan keluarga bupati."

Pengawal itu mengerutkan dahi. "Ada surat izin?"

"Surat izin?"

"Ya, surat jalan dari kadipaten. Atau undangan. Tidak sembarangan orang bisa masuk."

"Tapi saya ... saya dari—"

"Minggir! Minggir!" Seorang pengawal lain berteriak. "Ada kereta mau masuk!"

Kereta Pariyem terpaksa menyingkir ke sisi pagar. Dari balik tirai kereta yang terbuka sedikit, Pariyem mengenali landau mewah itu. Lambang singa bersayap di pintunya.

Marius Vecht.

Tatapan mereka bertemu sekilas. Mata hijau itu melebar sedikit, mengenali Pariyem. Ada sesuatu di sana—terkejut? Prihatin? Pariyem tidak sempat membaca.

Kereta bahkan tak diperiksa. Melihat lambang di pintu, gerbang langsung dibuka lebar. Landau meluncur masuk dengan mulus, menghilang di balik tembok tinggi.

Pariyem menghela napas panjang. Betapa bodohnya dia. Bahkan tidak mengerti aturan. Tidak semua orang bisa masuk kadipaten.

Ada yang punya hak istimewa seperti pejabat Belanda. Ada yang butuh surat izin. Dan ada yang tidak akan pernah diizinkan masuk. Seperti dirinya.

Dengan langkah lesu ia kembali ke keretanya, menaiki kendaraan itu dengan tatapan nanar ke arah gerbang.

"Mbakyu mau ke mana lagi?" tanya Wiro.

"Pulang saja, Kang. Tidak jadi ke pasar."

Dalam perjalanan pulang, Pariyem menatap kosong ke luar jendela. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan lagi.

Dia bahkan tidak bisa melihat putranya sendiri. Gerbang kadipaten tertutup rapat untuknya, meski dia yang melahirkan calon pewaris di baliknya.

Di kepalanya, suara Marius Vecht kembali bergema. Di negeri saya, setiap ibu berhak melihat anaknya.

Tapi ini bukan negeri Belanda. Ini Jawa. Dan di Jawa, seorang selir tidak punya hak apa-apa, bahkan atas putranya sendiri.

1
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
Fitriatul Laili
mau diracun ya kayaknya
Kenzo_Isnan.
oalah yem yem karma dibayar tunai ,,tp kok yo melas men yem yem ra tegel q ngikuti kisah mu sek sabar yo yem yem
Kenzo_Isnan.
lanjut kak ayoo semagaaattt 💪💪💪💪
🌺 Tati 🐙
ditunggu kabar sumi dan keluarga besarnya...yem sekalian kamu minta maap sama sumi,kalau perlu minta bantuan sumi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!