NovelToon NovelToon
PESUGIHAN POCONG GUNUNG KAWI

PESUGIHAN POCONG GUNUNG KAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Menjadi Pengusaha / CEO / Tumbal / Iblis / Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: triyan89

Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
​Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4

​Malam itu, di dalam kamar yang pengap dan gelap di kompleks Gunung Kawi, Aryan memulai puasa mutih pertamanya. Ia duduk bersila di atas lantai, ditemani semangkuk nasi putih dan air mineral. Setiap suapan terasa hambar, namun terpaksa ia telan, mengingat tujuan besarnya, Kekayaan.

​Setelah Ki Sabdo meninggalkan kamar, suasana hening menyelimuti. Hening yang berbeda dari heningnya malam di Jakarta, hening yang mencekam, seolah alam semesta sedang menahan napas, menanti langkah pertama Aryan menuju jurang kegelapan.

​Hari pertama puasa terasa berat, bukan hanya karena lapar, tapi karena rasa cemas. Aryan terus merapal kalimat penenang di dalam hati, mencoba mengingat ajaran agamanya, namun setiap kali ia mencoba berdoa, bayangan wajah Rina yang seolah membekukan lidahnya.

​Pada hari kedua, Ki Sabdo datang membawa sebilah pisau kecil berkarat dan kain hitam lusuh.

​"Ini adalah pusaka yang harus kamu bawa sebagai sesembahan ke Goa Macan. Benda keramat ini akan memancing mereka," kata Ki Sabdo, suaranya pelan tapi berwibawa. "Dan ini, ikat di pergelangan tanganmu. Ini akan melindungi jiwamu agar tidak langsung diseret jika kamu gagal, tapi tidak akan melindungimu dari ketakutan."

​Ki Sabdo menyerahkan seutas tali jerami berwarna merah yang sudah kering dan terlihat rapuh. Aryan mengikatnya, terasa dingin di kulitnya.

​Hari ketiga berlalu, Aryan sudah sangat lemas. Ia tidak tidur nyenyak. Ia sering mendengar suara langkah kaki di luar kamar, bisikan samar, dan bau kemenyan yang semakin menyengat. Tekadnya mulai goyah, namun sekali lagi, ia berhasil melewatinya dengan membayangkan betapa bahagianya ia nanti saat bisa kembali ke Jakarta sebagai orang kaya.

​Malam yang dinanti sekaligus ditakuti itu tiba. Pukul sebelas malam. Ki Sabdo masuk ke kamar Aryan. Pria tua itu kini membawa lilin kecil yang bersinar redup.

​"Sudah siap, Anak Muda?" tanya Ki Sabdo.

​Aryan mengangguk. Tubuhnya lemas, tapi matanya memancarkan tekad membara.

​"Bagus. Ingat, hanya ada dua pilihan. Kaya atau Mati. Kalau kamu lari, kamu tidak akan bisa kembali. Kamu akan menjadi penghuni Goa Macan selamanya."

​Ki Sabdo kemudian menyuruh Aryan melepaskan semua pakaiannya. Aryan ragu sejenak, namun rasa malu sudah terkalahkan oleh rasa putus asa. Ia menanggalkan kemeja lusuhnya, menyisakan tubuh yang kurus karena puasa.

​"Ambil pisau dan kain hitam ini, bungkus pisau ini. Letakkan di depan tempat kamu bersemedi. Jalanlah ke bawah gunung. Kamu akan menemukan jalan setapak kecil yang menuju ke Goa Macan. Jangan pernah menoleh ke belakang, apapun yang kamu dengar. Dan ingat, jangan pernah sentuh mereka," perintah Ki Sabdo tegas.

​Aryan mengangguk, mengambil bungkusan sesembahan itu dengan tangan gemetar.

​Ia berjalan keluar dari kamar, lalu turun dari kompleks makam. Udara malam itu mencekik. Dingin dan sunyi. Langkah kakinya terasa berat di jalan setapak yang gelap, hanya dibantu oleh cahaya bulan yang sesekali muncul dari balik awan.

​Sekitar setengah jam berjalan, Aryan menemukan jalan setapak kecil yang hampir tertutup semak-semak. Ia yakin, inilah jalan menuju Goa Macan. Aroma tanah basah dan daun kering, bercampur dengan aroma amis, menghiasi malam itu.

​Ia berjalan menyusuri jalan setapak, semakin jauh masuk ke dalam hutan, semakin pekat kegelapan di sekitarnya. Suara-suara malam mulai bermunculan, jangkrik, burung hantu, dan yang paling mengganggu, suara-suara yang terdengar seperti bisikan tepat di samping telinganya.

​“Aryan, kenapa kamu di sini? Pulanglah...”

​“Ini bukan jalanmu, Nak. Kamu masih punya waktu...”

​Aryan mencoba mengabaikannya, namun suara itu terdengar sangat jelas, seolah ada seseorang yang berjalan di sampingnya. Ia terus berjalan, memejamkan mata sebentar untuk menguatkan mental.

​Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang sangat menusuk. Bau busuk, seperti bangkai yang sudah membusuk selama berhari-hari, menyengat hidungnya. Langkah kakinya terhenti.

​Di depannya, pohon Rengas raksasa menjulang tinggi, batangnya berwarna merah gelap, dan rantingnya merayap seperti tangan-tangan raksasa. Di bawah pohon itu, sebuah lubang gelap terlihat, itulah Goa Macan.

​Tanpa menunda, Aryan berjalan menuju tengah-tengah di antara pohon dan mulut goa. Ia meletakkan bungkusan sesembahan di tanah yang lembab. Ia duduk bersila, lalu memejamkan mata, memulai semedinya. Ia berusaha menenangkan pikiran, mengingat perkataan Ki Sabdo: Jangan takut, jangan lari.

​Ia baru beberapa menit bersemedi, gangguan itu mulai datang. Suara tawa perempuan yang sangat dekat. Tawa itu terdengar seperti Rina, Laras, dan Nirmala, seolah mereka sedang menertawakannya yang duduk telanjang di tengah hutan.

​“Lihat dia, Aryan si pengemis, Dia mau kaya, Mimpi.”

​“Dasar cowok miskin, bisanya cuma nyari jalan pintas!”

​“Kamu bahkan nggak bisa beli kopi untuk kami, apalagi beli kekayaan!”

​Tawa itu perlahan berubah menjadi tangisan pilu, lalu raungan mengerikan yang membuat udara di sekitar Aryan bergetar. Keringat dingin mulai bercucuran di seluruh tubuhnya.

​Aryan mencoba fokus pada napasnya, mengabaikan suara-suara itu. Ia memegang erat jimat tali merah di pergelangan tangannya.

​Gangguan berikutnya datang dalam bentuk samar. Ketika Aryan membuka sedikit matanya, ia melihat bayangan hitam bergerak cepat di mulut goa. Bayangan itu tinggi, menjulang, dan berbau anyir.

​Tiba-tiba, bayangan itu melompat keluar, dan kini berdiri tegak di depannya. Sesosok ​Pocong.

​Tidak hanya satu, ada tiga sosok yang berdiri di depannya. Ketiganya tampak mengerikan. Kain kafan mereka kotor, penuh lumpur, dan sobek di beberapa tempat, memperlihatkan kulit yang menghitam dan membusuk. Bau busuk itu kini tak tertahankan.

​Pocong yang berada di tengah adalah yang paling besar dan mengerikan. Wajahnya menghitam, matanya melotot tanpa kelopak, dan mulutnya menganga lebar, seolah mengeluarkan bunyi desisan.

​Pocong itu melompat-lompat perlahan mendekat ke arah Aryan. Setiap lompatan, tanah bergetar pelan.

​“Manusia lemah, Apa maumu?!” suara Pocong itu berat, bergetar, bergema di telinga Aryan seolah berasal dari dasar bumi.

​Aryan ingin berteriak, ingin lari. Naluri bertahannya menjerit-jerit menyuruhnya lari sejauh mungkin. Ia t

Teringat Ki Sabdo mengatakan kalau ia lari, ia akan mati.

​"Aku... aku... ingin kekayaan," teriak Aryan, suaranya tercekat. Ia berusaha menatap mata Pocong itu, meskipun matanya dipenuhi rasa takut.

​Pocong di tengah itu melompat lagi, kini jaraknya hanya satu meter di depan Aryan. Pocong itu memiringkan kepalanya, seolah sedang mengamati mangsa yang ketakutan.

​“Kekayaan? Hahaha.. Kamu pikir kekayaan itu semurah tiket keretamu? Kami hanya memberi kekayaan pada mereka yang berani. Kamu, manusia miskin dan penakut, pantasnya hanya menjadi budak kami!”

​Dua pocong di sampingnya ikut bergerak, melompat-lompat mengelilingi Aryan. Mereka mengeluarkan bunyi desisan dan erangan, seolah siap menerkam.

​Aryan gemetar hebat. Ia merasa kencing di celana. Tubuhnya terasa beku. Namun, di tengah ketakutan yang mencekiknya, bayangan Rina muncul kembali. Rina sedang tertawa terbahak-bahak, sambil melambai-lambaikan uang seratus ribuan.

​"Cuma tukang ojek. Cinta tidak bisa bayar tagihan."

​Kata-kata itu seolah menjadi api yang membakar rasa takut Aryan. Ia merasa jauh lebih sakit hati dihina Rina daripada takut pada tiga pocong di depannya. Dendamnya mengalahkan naluri hidupnya.

​Aryan membuka matanya lebar-lebar, menatap Pocong di depannya dengan tatapan yang kini bukan lagi takut, melainkan penuh kebencian.

​"Aku tidak takut," teriak Aryan, dengan suara serak. "Aku sudah tidak punya apa-apa untuk ditakutkan. Kalian mau mengambil nyawaku? Ambil saja! Tapi sebelum itu, aku akan mengambil kekayaan yang pantas aku dapat."

​Pocong-pocong itu terdiam sejenak, terkejut dengan keberanian Aryan.

​Pocong di tengah itu mengangkat tangannya yang terbungkus kafan. "Sombong! Kami akan mengujimu!"

​Tiba-tiba, pocong-pocong itu melompat lebih dekat, sangat dekat hingga Aryan bisa mencium bau yang begitu menyengat. Mereka mulai mencakar-cakar tanah di sekitar Aryan, melemparinya dengan kerikil dan ranting.

​Lalu, pocong yang berada di sisi kanan mengarahkan wajahnya yang busuk itu tepat di depan wajah Aryan, hanya berjarak beberapa senti.

​“Lihatlah nasibmu. Tubuhmu kotor, hidupmu hina. Lebih baik mati sekarang.”

​Pocong itu melompat, lalu berputar-putar di atas kepala Aryan, menciptakan pusaran hawa dingin.

​Aryan hanya memejamkan mata. Ia membiarkan angin dingin dan bau busuk itu menerpa wajahnya. Ia teringat pesan Ki Sabdo. Jangan Sentuh Mereka. Ia tidak bergerak sedikit pun, duduk kokoh seperti batu.

​Keheningan kembali datang. Pocong itu kembali berdiri di depannya, menatapnya tajam.

​“Kenapa kamu tidak lari? Kenapa kamu tidak menjerit?”

​"Karena... aku tahu... kalian hanya menakuti." kata Aryan, mencoba menipu dirinya sendiri, padahal ia tahu persis sosok di depannya sangat nyata. "Aku tidak akan lari. Aku ingin kekayaan itu."

​Pocong itu tertawa, tawa yang menusuk telinga. “Kaya? Ya! Kamu akan membayar harga yang mahal, manusia serakah!”

​Pocong itu kemudian menunjuk ke arah bungkusan sesembahan yang dibawa Aryan, pisau yang terbungkus kain hitam.

​“Ambil benda itu. Tusukan ke dadamu. Darahmu adalah perjanjian kami.” perintah Pocong itu.

​Aryan melihat bungkusan itu. Ia tahu ini adalah ujian terakhir. Mengorbankan diri sendiri. Tapi Ki Sabdo tidak pernah menyebutkan ini.

​"Tidak. Ki Sabdo bilang... tumbalnya bisa berupa waktu atau kesenangan dunia. Aku tidak akan mengorbankan nyawaku." tolak Aryan keras.

​Pocong itu tampak marah. Dua pocong di sampingnya berteriak dan melompat-lompat ganas, menciptakan kegaduhan luar biasa.

​“BERANI KAU MEMBANTAH KAMI?! JANGAN SOK PINTAR, MANUSIA SERAKAH!”

​Pocong itu mengangkat tangannya, lalu mengayunkannya. Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam menyerupai kabut tebal menyambar dada Aryan.

​Aryan merasakan sakit yang luar biasa di dadanya, seperti ada yang mencakar dan meremas jantungnya. Ia ambruk, terbatuk-batuk, merasakan darah merangkak naik ke tenggorokannya. Ia tahu, ini nyata.

​Namun, di tengah kesakitan itu, sekali lagi ia melihat wajah Rina, kini wajahnya tampak mengejek dan jauh.

​"Aku butuh cowok yang seenggaknya bisa ajak aku makan di tempat kayak gini tanpa harus mikir besok makan apa."

​"Cukup!" teriak Aryan, mengeluarkan semua sisa kekuatannya. "Aku tidak akan mati di sini! Aku harus kembali! Aku harus tunjukkan pada Rina!"

​Aryan bangkit, berdiri di depan tiga pocong itu, meski tubuhnya telanjang dan lemah. Ia menatap balik pocong-pocong itu dengan mata merah karena menahan tangis dan amarah.

​"Aku terima perjanjian kalian. Apapun tumbalnya. Aku tidak akan lari. Aku hanya butuh kekayaan sekarang juga!" tantang Aryan, napasnya tersengal.

​Ketiga pocong itu terdiam. Suasana hening kembali, bahkan suara jangkrik pun lenyap.

​Pocong itu, sosok yang paling menakutkan, perlahan menjatuhkan tangannya. Perlahan, bayangan hitam tebal yang menyelimuti tubuhnya mulai memudar.

​“Baik. Kamu punya tekad. Kamu berhasil melalui ujian ini.”

​Suara Pocong itu kini tidak lagi mengancam, melainkan terdengar seperti bisikan kering yang lelah.

​Pocong itu kemudian berbalik, melompat menuju Goa Macan. Dua pocong lainnya ikut menghilang, seolah larut dalam kegelapan.

​Aryan berdiri terpaku, terengah-engah, merasakan darah mengering di sudut bibirnya.

​Dari dalam Goa, terdengar suara gemerisik, lalu Pocong itu kembali, kini tidak lagi menakutkan, terlihat seperti sebuah bayangan kabur yang memegang sesuatu.

​Pocong itu melemparkan sesuatu ke tanah di depan Aryan. Benda itu mengeluarkan bunyi denting ringan.

​Aryan menunduk. Itu adalah sebilah Besi Kuning kecil, yang permukaannya dipenuhi ukiran rumit dan mengeluarkan energi panas.

​“Ambil itu, Jimat Kekayaan. Rawat dia baik-baik. Selama benda itu bersamamu, kamu akan mendapatkan kemudahan dan kekayaan yang tak terduga. Kamu akan mendapatkan rumah mewah, mobil, dan semua yang kamu inginkan.”

​Pocong itu kemudian melompat mundur, menuju mulut Goa Macan.

​“Tapi ingat, Manusia. Perjanjian ini tidak gratis, kamu harus menukar dengan Kebahagiaanmu. Dan yang terpenting, setiap malam Jumat Kliwon, kamu harus memberikan kami sesembahan yang lebih berharga dari benda yang kamu bawa sekarang.”

​“Kalau kamu melanggar satu janji saja... kami akan mengambil nyawamu. Sekarang, pergilah, ambil hartamu.”

​Perkataan terakhir Pocong itu menghantam dada Aryan.

​Aryan tidak menjawab. Dengan tangan gemetar, ia mengambil Jimat Besi Kuning itu. Jimat itu terasa panas di telapak tangannya.

​Ia buru-buru memungut pakaiannya, memakainya, dan berlari sekencang-kencangnya keluar dari Goa. Ia tidak lagi peduli dengan jalan setapak yang gelap atau hutan yang sunyi. Ia hanya ingin menjauh, membawa jimat yang kini terasa seperti beban berat.

​Ia berhasil. Ia mendapatkan jimatnya.

​Namun, ia juga telah mengikat jiwanya pada sebuah janji gelap, dengan nyawanya sebagai taruhan.

1
Oriana
Kok susah sih thor update, udah nungguin banget nih 😒
bukan author: Masih review kak
total 1 replies
Dallana u-u
Gemes banget deh ceritanya!
bukan author: lanjutannya masih review kak
total 1 replies
cocondazo
Jalan cerita seru banget!
bukan author: lanjutannya masih review kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!