Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.
Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapakah Sosok Itu?
Perjalanan menuju pos pendakian 4, yang merupakan pos terakhir sebelum puncak Gunung Arga Dipa, terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. Jalan setapak yang tadinya datar kini berubah menjadi tanjakan curam, dipenuhi akar-akar besar dan batu licin yang tertutup lumut.
Raka berjalan paling depan sambil membuka jalan dengan tongkat kayu yang ia temukan di jalur sebelumnya.
“Hati-hati ya, tanahnya lembek banget, bisa kepleset,” katanya sambil menoleh ke belakang.
Novi yang berjalan di tengah kelompok menarik napas panjang.
“Gila... ini sih kayaknya udah tujuh puluh derajat kemiringannya,” ujarnya setengah mengeluh.
Lala yang tampak kelelahan, menyeka keringat di dahinya.
“Untung tadi kita sempet istirahat. Kalo enggak, gue udah nyerah dari tadi.”
Sementara itu, Citra berjalan lebih lambat dari sebelumnya. Nafasnya mulai tersengal, tapi ia tetap berusaha mengikuti langkah teman-temannya. Leo sesekali menengok ke belakang untuk memastikan Citra gak tertinggal.
“Ayo Citra, dikit lagi nih!" Katanya Dimas yang berjalan di depannya.
Leo mengerutkan dahi tiba-tiba. Hidungnya menegang, seolah ada sesuatu yang menusuk tajam ke dalam rongga hidungnya — bau bangkai yang begitu menyengat. Ia spontan menutup hidung dengan tangan.
“Aduh… bau apaan nih?” gumamnya pelan.
Ia menoleh ke kiri dan kanan, tapi tak ada apa-apa selain pepohonan lembab yang berlumut dan tanah basah yang menguarkan aroma hutan setelah hujan.
Leo mengernyit. Ia mencium lagi udara di sekitarnya — baunya semakin tajam, seperti daging busuk bercampur belatung, bahkan membuat perutnya terasa mual. Tapi anehnya, angin yang berhembus tak membawa bau itu ke arah siapa pun selain dirinya.
“Aneh banget…” bisiknya sendiri.
Langkahnya mulai melambat. Ia merasa seolah bau itu mengelilinginya, makin lama makin dekat, seperti ada sesuatu yang berdiri tepat di belakangnya.
Ia menelan ludah, lalu perlahan menoleh ke belakang.
Namun di sana — tidak ada siapa-siapa.
Saat Leo menoleh ke arah kanan di bawah sebuah pohon besar
Leo menahan napas. Di bawah pohon besar yang akar-akarnya menjalar seperti tangan raksasa, ia melihat seseorang berdiri diam — seorang pria muda dengan seragam oranye tim SAR. Seragamnya tampak kotor, penuh lumpur, dan robek di bagian lengan.
Rambutnya basah, menempel di dahi. Wajahnya pucat sekali, nyaris keabu-abuan, tapi matanya terbuka menatap lurus ke arah Leo.
Leo menatap lebih lekat.
Mulut pria berseragam SAR itu bergerak pelan, seolah sedang berbicara — tapi tak ada suara sedikit pun yang keluar.
Bibirnya membentuk kata demi kata, seperti seseorang yang sedang berusaha berteriak, namun seluruh suaranya tertelan oleh udara dingin gunung.
Leo berusaha membaca gerak bibir itu, tapi semakin ia perhatikan, semakin aneh bentuk mulut pria itu: kadang huruf-hurufnya tidak jelas, kadang seperti membentuk kalimat panjang yang tak mungkin diucapkan manusia.
Namun anehnya ketika melihat sosok pria dengan pakaian tim SAR itu Leo tidak merasa ada ketakutan dalam hatinya.
“Apa... apa yang abang omongin, Bang?” bisik Leo pelan.
Tapi pria itu terus menggerakkan bibirnya — cepat sekali, hingga akhirnya gerakannya tak lagi menyerupai kata. Rahangnya mulai terbuka lebar… terlalu lebar, lebih dari seharusnya.
Suara serak lirih mulai terdengar samar, seperti angin berbisik di sela pepohonan.
“...tolong… jangan naik…”
Leo membelalak. Darahnya serasa berhenti mengalir.
Teriakan Nando terdengar menggema di sela-sela pepohonan,
“ Woi Leo! Ayo cepetan! Lo ngapain bengong di situ?”
Leo tersentak. Dadanya berdegup keras—baru sadar kalau ia sudah jauh tertinggal dari rombongan.
“Iya! Gue nyusul!” teriaknya balik, meski suaranya nyaris tak terdengar di tengah desiran angin gunung.