Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Lamaran Diterima
🦋
"Gavriel… apa kau ingat Olimpiade sembilan tahun lalu? Olimpiade Matematika di SMA Kripala. Kakakku mewakili SMA Kamboja Putih… Asteria Calderon."
Nada suara Auliandra terdengar sengaja memotong ucapan Asteria, seolah ingin menyelipkan jarum halus di tengah percakapan.
Tatapan Asteria langsung tajam menusuk. Ia benci disela. Tapi ketika yang melakukannya adalah Auliandra, amarahnya terpaksa ia telan. Matanya seperti ingin berkata banyak hal, namun bibirnya tetap terkunci.
Auliandra hanya membalas dengan senyum tipis dan alis yang terangkat, gerakan kecil yang justru terasa seperti ejekan.
"Oh… jadi kau pemenang Olimpiade itu," ucap Gavriel datar. Jelas dari tatapannya bahwa ia tidak benar-benar peduli.
Bagi Gavriel, kejadian sembilan tahun lalu hanyalah serpihan masa lalu yang nyaris terhapus dari ingatannya.
Shara, sebaliknya, justru semakin hidup. Matanya berbinar, menimbang-nimbang Asteria dengan tatapan penuh rencana. Fakta bahwa Asteria dan Gavriel pernah berada di ruang yang sama di masa lalu baginya adalah celah emas. Jika Gavriel mau memulai langkah, segalanya akan jauh lebih mudah.
Asteria bersandar santai di sofa, lalu melirik Auliandra dengan tatapan yang tak kalah menusuk. Auliandra tetap tersenyum, bahkan sempat memainkan alisnya naik-turun, seperti sengaja menantang. Godaan kecil itu nyaris membuat Asteria ingin meraih rambut adiknya. Sayangnya, ada tamu. Ayla yang menyadari ketegangan itu langsung mencubit paha kedua putrinya di bawah meja. Seketika keduanya menegakkan punggung, pura-pura tenang.
"Tidak masalah jika Nona Auliandra menolak," ucap Shara, nada suaranya tetap manis namun sarat ambisi.
"Kami tidak memaksa. Lagipula… pernikahan tanpa cinta memang tak ada artinya."
Ia lalu menoleh pada Asteria. "Tapi bagaimana dengan Nona Asteria? Usia Anda sudah cukup matang. Tidak berniat menikah tahun ini?"
Pertanyaan itu seperti pancingan yang dilempar tepat ke arah yang sudah ia incar. Asteria menatap Auliandra sekilas, satu tatapan yang berkata: jadi ini tujuannya. Setelah hening sejenak, ia mengangkat kepalanya dan berkata mantap.
"Baiklah. Aku bersedia."
Shara langsung tersenyum, puas. Dalam pikirannya, ia sudah melangkah setengah jalan menuju pengaruh besar yang bisa diberikan keluarga Calderon pada Wardana Grup.
Alex dan Ayla hanya saling bertukar senyum tipis. Bagi mereka, kebahagiaan kedua putrinya jauh lebih penting daripada urusan gengsi atau bisnis.
Namun, ketenangan itu pecah ketika Gavriel berkata tegas.
"Aku tidak setuju."
Keheningan menelan ruangan. Shara dan Prayoga sontak menatapnya, terkejut. Semua usaha mereka seperti runtuh seketika.
"Maaf, Tuan Alex," lanjut Gavriel, berdiri. "Aku sudah pernah menikah. Aku punya tiga anak, satu sempat lahir lalu meninggal, dan dua kembar meninggal bersama ibunya. Jika Asteria mau menjadi yang kedua… dan selalu berada di urutan kedua, silakan. Tapi aku tidak akan pernah melupakan istriku."
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan ruang tamu yang membeku.
"Gavriel!" seru Asteria, bergegas mengejarnya.
Di taman samping rumah Calderon, Gavriel duduk di bawah pohon mangga. Udara sore yang lembab tak mampu meredam bara di dadanya. Ia lelah. Lelah pada ibunya, pada tuntutan, pada hidup yang seolah tak pernah memberi ruang untuk kebahagiaannya sendiri.
"Askara!"
Gavriel mengernyit. Nama itu… sama persis seperti yang pernah diucapkan Valora. Hanya Valora yang memanggilnya begitu. Tapi… kenapa Asteria?
"Aku lebih suka memanggilmu Askara," ucap Asteria santai saat duduk di sampingnya. "Bukankah indah, Askara dan Asteria?"
Gavriel menatapnya, mencoba membaca maksudnya.
"Aku tidak melamarmu."
"Tapi aku menerima lamaranmu," balas Asteria, senyumnya tipis.
"Auliandra sudah memilik kekasih yang bernama Jevano, dari keluarga Atharel. Jadi pilihan satu-satunya hanyalah aku! Sebenarnya aku paling benci menjadi yang ke dua, tapi karna kau pernah bersaing denganku dan itu yang membuatku tertarik denganmu"
"Aku pria beristri"
"Istrimu sudah tiada"
"Istriku masih hidup!"
Kalimat-kalimat berikutnya menjadi pertarungan halus antara dua tekad. Hingga akhirnya, Gavriel menyerah, bukan pada cinta, tapi pada kelelahan. Ia setuju… dengan syarat. Ia hanya akan memberi nafkah lahir. Nafkah batin? Tidak.
"Tidak masalah," jawab Asteria dingin.
"Aku bukan tipe yang mencari itu."
Saat mereka kembali bergandengan tangan ke ruang tamu, Shara nyaris bersorak dalam hati. Auliandra hanya tersenyum samar, menyembunyikan sesuatu yang entah apakah itu keheranan, ejekan, atau rencana.
"Baiklah bu aku setuju" Ucap Gavriel dingin lalu kembali duduk ketempatnya semula
Asteria duduk kembali di samping ibunya, tangan kanannya berada di belakang punggung ibunya begitupun dengan tangan kiri Auliandra yang berada di belakang punggung ibunya untuk menyerahkan cincin berlian dengan hiasan kupu-kupu terbang di atas cincinnya. Asteria tersenyum simpul saat menerima pemberian dari Auliandra.
***
Gavriel melangkah masuk ke kamarnya dengan wajah yang letih, napasnya berat seperti habis berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Ia menutup pintu pelan, bersandar sebentar, lalu menatap ruangan kosong itu.
Hatinya terasa kotor, bukan karena ia berniat mengkhianati istrinya, tetapi karena ia tidak mampu menolak Asteria. Ada sesuatu yang membuat langkahnya tertahan setiap kali ingin berkata "tidak".
Ia merebahkan tubuh di ranjang. Pandangannya kosong menatap langit-langit. Suara petir dari luar jendela membuat udara malam terasa makin berat. Satu tetes air mata jatuh, lalu menyusul yang lain.
Ia bangkit, memutuskan untuk mandi sebelum tidur. Namun baru saja melangkah, alisnya mengerut. Ada suara gemericik air dari kamar mandi, lalu suara bersenandung.
Siapa yang berani masuk ke kamarnya tanpa izin?
Ia menunggu di depan pintu kamar mandi. Sengaja diam, menanti orang itu keluar.
Cklekk.
Pintu terbuka, dan yang muncul membuat napasnya tercekat. Valora, kulitnya putih pucat, rambut basah, mengenakan dress peach selutut dan tersenyum sambil mengulurkan handuk.
"Mas mau mandi?"
Gavriel memandangi wajah itu, separuh tak percaya.
"Apa… hantu bisa mandi?" gumamnya lirih.
Valora mengangkat alis. "Kenapa? Menurutmu aku harus selalu pucat, kusut, dan berantakan? Aku ini hantu cantik, Mas. Masa mau tampil menyeramkan setiap saat?"
Gavriel menatapnya lama, bibirnya hampir tersenyum. Valora memang selalu seperti ini, bahkan di masa hidupnya, kulitnya sudah pucat. Sekarang… entah ia benar hantu atau tidak, senyumnya tetap sama.
"Minggir, aku mau mandi," ucap Gavriel, mendorongnya lembut ke kasur. Valora duduk patuh, sementara ia masuk ke kamar mandi.
Tiga puluh menit kemudian Gavriel keluar, rambutnya basah, dada bidangnya terbuka tanpa atasan. Ia melihat Valora masih duduk di tepi ranjang… namun ekspresinya berubah. Wajah itu tidak lagi bercahaya seperti tadi.
"Ada apa? Tidak biasanya kau diam begini."
Valora menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, "Aku harus pergi."
Saat ia hendak menjentikkan jarinya, Gavriel bergerak cepat, memeluknya erat dari belakang.
"Aku tahu kau nyata, Lora. Aku tahu kau masih hidup waktu itu. Maafkan aku… mari kita mulai lagi dari awal. Aku akan membujuk Ibu, kita bisa hidup bahagia bersama."
Pelukan Gavriel semakin kuat, membuat Valora sulit bernapas. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan.
"Jangan pernah pergi lagi," bisik Gavriel. "Aku akan membatalkan pertun..."
BUK!
Tubuh Gavriel limbung lalu ambruk. Valora menoleh kaget, di belakangnya berdiri Edwin, memegang benda yang barusan ia gunakan untuk memukul Gavriel.
"Mari pulang," ucap Edwin tenang, mengulurkan tangan.
Valora menatap Gavriel yang tergeletak di lantai, napasnya masih ada, namun matanya terpejam. Ada rasa iba yang menekan dadanya. Lalu ia menatap Edwin, sorot matanya sendu, nyaris seperti menyerah.
"Baiklah… akan kubantu."
Edwin tersenyum tipis. Valora meraih tangannya, dan dalam sekejap keduanya menghilang, menembus dinding.
Di balik pintu kamar, sepasang mata mengawasi. Seorang pria dan wanita melangkah masuk, menarik Gavriel ke tempat tidur seperti menata seseorang yang tertidur pulas. Bagi yang melihat, ini hanya akan tampak seperti mimpi buruk yang tak berbekas.
🦋To be continued...