Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Bab 21 -
“Bunuh saja aku! Hahaha! Kematian si Perempuan CEO itu... sudah di depan mata!” seru ketua gerombolan Topeng Ular dengan tawa liar, darah menetes dari bibirnya yang pecah. Matanya menyala seperti orang kerasukan.
Tanpa pikir panjang, Aryo yang sudah dikuasai amarah menatap tajam, jemarinya menegang di pelatuk. Dor!
Suara tembakan memecah udara. Kepala Ular itu roboh seketika. Tubuhnya jatuh keras di tanah berdebu.
Napas Aryo memburu. Ia tak menunggu lama. Setelah memastikan tak ada musuh tersisa, ia berlari ke arah mobil, mendobrak pintu dan segera memeriksa keadaan Meliana.
“Meliana! Kamu tidak apa-apa?” Aryo mencondongkan tubuh, matanya menyapu kabin mobil. Ia menemukan Meliana meringkuk di bawah kursi, gemetar hebat, wajahnya pucat.
“Siapa mereka, Aryo? Apa... apa yang mereka mau?” suara Meliana bergetar, nyaris tak terdengar.
“Gerombolan perampok,” jawab Aryo cepat, suaranya tegas tapi lembut. “Tenang... semua sudah dikalahkan. Roni dan grup satu-tiga datang membantu.”
Meliana mengerjap, masih sulit mencerna apa yang baru saja terjadi. Gambarannya masih jelas: darah, teriakan, suara tembakan, dan—Lukas—eh, Aryo—yang menembak orang tanpa ragu. “Aryo... kamu... kamu membunuh orang tadi,” bisiknya tak percaya, matanya membulat ketakutan.
“Mereka hendak membunuhku. Dan kamu,” kata Aryo lirih tapi pasti. “Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Roni dan tim juga terpaksa melumpuhkan sisanya. Mereka semua bersenjata. Kalau aku tidak lebih cepat, mungkin kita yang mati.”
Di dalam hatinya yang paling dalam, Aryo tahu ia menyesal. Tapi darah harus dibayar darah—itulah jalan yang selalu menjeratnya.
Meliana memperhatikan sosok Aryo dengan mata berkaca. Ia heran bagaimana pria itu bisa tetap tenang setelah semua itu. Jasnya hanya bernoda darah sedikit, meski tadi ia bertarung mati-matian. Gerak tubuhnya tetap anggun, dingin, penuh kendali.
Aryo menatapnya sebentar, lalu melepas jas dan menyelimutinya dengan lembut. “Tenangkan diri dulu. Sekarang sudah aman. Kita lanjutkan perjalanan setelah kamu siap.”
Meliana hanya bisa mengangguk pelan.
Aryo keluar mobil sebentar. Di luar, sirene samar-samar terdengar dari kejauhan. Ia memeriksa Roni yang tergeletak di pinggir jalan, bahunya terluka tembak. Aryo segera menekan luka itu dan berteriak ke timnya untuk memanggil ambulans. Ia juga menelpon Gladys, melaporkan situasi.
“Terima kasih, Aryo... kalau kau tidak menembak orang itu, mungkin aku sudah mati,” ucap Roni lemah, menyodorkan tangan untuk dibantu berdiri.
Aryo menyambut tangannya dengan kuat. “Kau orang berani, Roni. Aku salut.”
Roni tersenyum samar. “Aku juga peduli sama Meliana. Aku tahu kenapa kau dijadikan pengawalnya... ternyata aku tidak salah.”
Aryo hanya tersenyum tipis. “Mari, aku bantu ke ambulans.” Ia mengantar Roni dengan hati-hati. Mobil ambulans akhirnya datang, sirenanya menggema menembus kesunyian malam.
“Kau pergilah, lanjutkan perjalanan ke tempat pelelangan. Acara itu penting buat Meliana,” pesan Roni.
Aryo menepuk bahu Roni. “Kau jaga diri, sobat.”
Dalam perjalanan menuju Kota J, mobil meluncur pelan di jalan tol malam yang sepi. Lampu-lampu kota berpendar redup di kaca depan. Aryo memegang setir, tapi pikirannya jauh mengembara. Ia tidak bisa melupakan tatapan mati orang yang baru saja ia bunuh.
Sementara di kursi belakang, Meliana diam saja, menatap kosong ke luar jendela. Dari kaca spion tengah, Aryo melihat pantulan wajahnya—pucat, dingin, tapi matanya masih bergetar.
Meliana masih bisa merasakan suara letusan pistol bergema di telinganya. Ia baru sadar, pria yang selama ini dijuluki "pengawal pribadi" ternyata punya sisi lain yang mematikan.
Saat ponselnya berdering, Aryo segera mengangkat. “Ya, Pak Kamal.”
“Aryo, bagaimana keadaan Meliana?”
“Beliau baik-baik saja, Pak. Sekarang dalam perjalanan ke tempat pelelangan.”
Meliana melirik cepat, lalu menunduk. Dalam hatinya ia membatin getir: Tidak, aku tidak baik-baik saja...
Ia menatap lagi pria di depan sana. Aryo Pamungkas. Pria misterius yang dulu ia kira hanya mantan prajurit biasa. Tapi yang ia lihat malam ini... sungguh berbeda. Tatapan tajam, reaksi refleks yang sempurna, dan ketenangan saat membunuh—itu bukan milik orang biasa.
“Siapa kamu sebenarnya, Aryo?” tanyanya tiba-tiba, suaranya pelan tapi menekan.
Aryo menatap spion, terdiam beberapa detik. Pertanyaan itu terlalu sering ia dengar, tapi selalu sulit dijawab. “Yang kamu perlu tahu... aku penjagamu. Itu saja.”
“Kamu... menyimpan sesuatu dariku, ya?”
“Tidak ada rahasia di antara kita, Bu CEO,” jawabnya dengan senyum samar, tapi matanya tak ikut tersenyum.
Meliana tahu itu dusta. Ia bisa merasakannya.
Mereka tiba di tempat pelelangan yang mewah. Gedung tinggi berlampu kristal, penuh orang-orang berjas rapi dan gaun mahal. Aryo duduk di samping Meliana, pandangannya terus menyapu ruangan. Instingnya bekerja, setiap gerakan mencurigakan diperhatikan.
Pelelangan dimulai. Barang-barang antik: guci langka, lukisan kuno, dan perhiasan bersejarah dilelang satu per satu.
Meliana mengangkat papan tawar beberapa kali, tapi setiap kali ia kalah oleh penawar lain—Walikota Liman, sosok berpengaruh dari Kota T, yang juga dikenal sebagai pengusaha tangguh.
“Aduh, kalah terus,” keluh Meliana sambil manyun.
Aryo tersenyum kecil. “Kesal ya, gak bisa bawa pulang barang-barang antik itu?”
“Huh, bukan urusanmu,” sahut Meliana sambil melipat tangan.
Namun pikiran Aryo sudah melayang ke tempat lain. Nama Walikota Liman memicu alarm di kepalanya. Ia tahu, Liman masih punya hubungan dekat dengan Keluarga Zola. Dan dari pengakuan Roxil sang tangan kanan Nagajaya, keluarga itu yang menginginkan kejatuhannya.
Ia mengepalkan tangan di pangkuan. Dalam diam ia bersumpah: siapa pun yang berani mengusik Meliana, akan dia buat menyesal.
Setelah acara usai, Aryo menyiapkan kepindahan mereka ke kondo mewah milik keluarga Andara. Ia bahkan ikut menjemput Thania dari rumahnya. Tapi sejak kemarin, Aryo memperhatikan—Thania tampak murung. Ia jarang bicara, dan malamnya tidak mau tidur sekamar dengan Meliana.
“Thania, kamu kenapa sih?” tanya Meliana, menatapnya khawatir.
Dari dapur, Aryo yang sedang menyiapkan makanan menoleh sedikit.
“Sebal!” jawab Thania keras, menghentakkan kaki.
“Sebal kenapa? Cerita dong,” bujuk Meliana lembut.
Thania menghela napas keras, wajahnya memerah menahan marah. “Kupikir, setelah Jerry Zola mati, aku bakal bebas dari pertunangan itu. Tapi ternyata... tidak!” Ia menepuk meja dengan kesal.
Meliana dan Aryo sontak menatap kaget.
“Mereka malah nyuruh aku bertunangan sama anak laki-laki lain dari keluarga Zola! Aku bahkan gak tahu siapa! Gila, kan? Mama dan papa malah setuju-setuju aja. Dasar mereka tuh, budak keluarga Zola!” seru Thania frustrasi.
“Ya ampun, Thania...” Meliana menepuk bahunya menenangkan.
“Aku gak ngerti. Demi relasi bisnis aja perasaan anak dikorbankan. Aku yakin, cowok itu pasti sama aja—dingin, sombong, dan busuk kayak keluarga mereka!”
Thania terus mengoceh, matanya berkaca.
Aryo menatapnya dalam-dalam. Ia memahami betul rasa itu. “Setinggi-tingginya mereka, suatu saat akan jatuh juga. Dengan cara yang tak mereka duga,” gumamnya dingin.
Ucapan itu membuat Meliana menoleh cepat. Hatinya mencelos.
Jangan-jangan... Aryo-lah yang membunuh Jerry Zola? pikirnya ngeri. Ia bahkan tanpa sadar berteriak kecil.
“Hei, kenapa, Mel?” tanya Thania, khawatir.
“Ng... nggak apa-apa, ada semut,” jawab Meliana gugup.
Ia lalu mendekat ke dapur, berbisik ke Aryo. “Kamu yang bunuh Jerry Zola, ya?”
Aryo memutar tubuh pelan, matanya tajam tapi tenang. “Tentu saja bukan. Kamu ngawur.”
“Tapi... kata-katamu tadi seolah kamu punya dendam pribadi pada keluarga Zola. Aku dengar sendiri.”
“Ah, kamu salah dengar,” katanya ringan, mencoba mengalihkan.
Meliana mendengus. “Cepat atau lambat, pembunuh itu akan terungkap. Semoga saja benar, bukan kamu.”
Aryo menatapnya, senyum kecil muncul. “Kalau aku yang bunuh, kamu marah?”
Nada suaranya setengah menggoda.
Meliana diam. Tak menjawab.
“Hei, kalian pacaran mulu!” seru Thania, yang dari tadi memperhatikan. “Aku kan lagi bete!”
Meliana sontak menjauh dari Aryo. “Siapa juga yang pacaran!”
“Itu bisik-bisik mesra ngapain?” goda Thania.
“Urusan kerja!” sergah Meliana cepat.
“Ah bohong. Udah ah, aku mau jalan-jalan aja. Butuh udara segar.”
“Sebaiknya jangan sendirian,” kata Aryo cepat.
“Hmm... ide bagus. Gimana kalau kamu yang nemenin aku?” Thania tersenyum nakal. “Boleh ya, Mel?”
Meliana melipat tangan, malas menatap. “Terserah. Pakai saja Aryo sesuka hatimu.”
Thania menunjuk dan tertawa. “Ha! Cemburu, ya!”
“Gak ada kata cemburu. Silakan saja!”
“Tenang Mel, aku gak akan godain dia kok,” ujar Thania sambil tertawa.
Meliana hanya menghela napas berat.
Aryo menatap Meliana sejenak, lalu berkata lembut, “Kunci pintu rapat-rapat. Jangan buka kalau bukan kami.”
“Siap, Pak Satpam,” balas Meliana ketus.
Thania menimpali, “Tenang, aku panggil bodyguardku untuk jaga di luar.”
“Baiklah, kalau begitu kita tunggu mereka datang dulu,” kata Aryo. Ia tidak tega meninggalkan Meliana begitu saja.
Saat akhirnya mereka berdua keluar, Meliana menatap punggung Aryo sampai pintu tertutup.
Ada sesuatu di antara Thania dan Aryo—tatapan yang sulit dijelaskan.
Sebelum pintu menutup sempurna, Meliana sempat melihat Thania menatap Aryo dengan pandangan menggoda, penuh arti.
Dan hatinya bergetar tak nyaman.
Apa maksud tatapan itu?
Bersambung.