Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 — Mantra Ekstrasi Terarah
Nama-nama topik riset masih berputar di udara, memantulkan cahaya biru lembut di wajah para siswa. Ethan menatap papan mantra bercahaya itu lama—dan semakin lama ia melihat, semakin ia menyadari sesuatu yang berbeda dari bayangannya.
Awalnya, ia kira Klub Mantra hanyalah versi tingkat lanjut dari kelas Profesor Flitwick: membedah teori, mempraktikkan variasi mantra, lalu menulis laporan kecil sebagai latihan. Tapi ini… bukan itu.
Ini adalah ruang penelitian sesungguhnya.
Setiap topik di papan itu bukan pelajaran, melainkan proyek terbuka—sebuah undangan bagi siapa pun yang berani menyentuh batas pengetahuan sihir.
Flitwick menurunkan tongkatnya perlahan. “Topik-topik di atas adalah arah riset untuk tahun ajaran ini,” katanya, suaranya ringan tapi mengandung tekanan yang khas. “Topik yang sudah menghasilkan temuan akan dihapus dari daftar. Yang belum—akan tetap kami pertahankan. Aku juga akan menambahkan arah baru bila ditemukan inspirasi.”
Beberapa murid mencatat cepat di perkamen. Suara bulu pena yang menggores pelan memenuhi ruangan.
“Sekarang, semuanya boleh memilih topik penelitian masing-masing,” lanjut Flitwick. “Setidaknya satu, boleh juga lebih. Kumpulkan data sendiri, dan laporkan perkembangan seminggu sekali.”
Nada suaranya berubah. Di kelas, Flitwick dikenal sabar—selalu mengulang teori sampai muridnya paham. Tapi malam ini, cara bicaranya lebih seperti direktur lembaga riset daripada pengajar.
Ethan menatap perkamen kosongnya, lalu menyalin satu per satu topik yang tertera di udara. Ia tidak berniat langsung memilih; semua terdengar menarik. Namun matanya berhenti lama pada baris terakhir:
Kuantifikasi Sensitivitas Sihir.
Ia tahu dari caranya Flitwick menatapnya sekilas saat menyebutnya—topik itu muncul karena sesuatu yang pernah mereka bahas berdua.
Vanessa Greengrass, yang duduk di sebelahnya, mengernyit sambil menatap papan mantra itu. “Kepekaan magis? Bukankah itu terlalu abstrak untuk diteliti?” gumamnya pelan. “Bagaimana kau mengukur sesuatu yang bahkan tak bisa dilihat?”
Ethan hanya tersenyum samar.
Ia tahu kenapa Flitwick tertarik: karena diskusi mereka beberapa hari lalu soal bagaimana seseorang bisa *merasakan* sihir sebelum mantra selesai dilafalkan.
Tapi ia tak berniat menjelaskannya.
“Baik,” kata Flitwick lagi, menutup daftar di tangannya. “Topik satu, dua, lima, dan enam adalah proyek lama—penelitian lanjutan. Hasil terobosannya jarang, tapi setiap tambahan data tetap berharga. Sedangkan topik tiga, empat, dan tujuh baru aku tambahkan tahun ini.”
Pandangan Flitwick—lagi-lagi—secara tidak sengaja tertuju pada Ethan saat menyebut nomor tujuh. Beberapa murid menangkap tatapan itu, tapi tak berkomentar. Mereka tahu sang profesor memang suka punya *murid favorit* di awal tahun.
“Selanjutnya,” katanya sambil menepuk tangannya pelan, “kita beri tepuk tangan untuk Prefek Vanessa Greengrass, atas publikasi artikelnya di jurnal Century Charms!”
Tepuk tangan riuh segera memenuhi ruangan. Beberapa siswa bersiul kecil, yang lain menatap Vanessa dengan takjub.
Ethan menoleh. Ia baru tahu nama itu—Century Charms— dan dari reaksi seisi ruangan, ia paham itu bukan jurnal biasa.
“Terima kasih, Profesor,” kata Vanessa dengan senyum gugup tapi penuh percaya diri. Pipi peraknya memerah sedikit. “Saya hanya beruntung mendapatkan bimbingan Anda tahun lalu.”
“Tidak perlu merendah,” balas Flitwick ceria. “Artikelmu tentang Aplikasi Multifungsi Mantra Pengusir adalah terobosan luar biasa. Bahkan Profesor Marchbanks memujinya.”
Ethan menatap ke depan, tertarik. Mantra Pengusir?
Ia pernah mendengar—mantra dasar yang digunakan untuk melenyapkan atau menolak sesuatu. Tapi versi “multifungsi” jelas bukan hal sederhana.
Flitwick mengangkat tongkat peraknya dan mengarahkannya ke tirai belakang ruangan. Seketika kain itu berubah menjadi layar besar berwarna pucat, seperti permukaan air yang tenang.
“Baik, mari kita bahas karya Miss Greengrass.”
Tulisan melayang muncul di udara: diagram rune, pola sihir, dan grafik energi. Beberapa murid berdecak kagum.
“Dalam makalah ini,” jelas Flitwick, “Vanessa menggabungkan Mantra Pengusir — Repuls —dengan sifat-sifat alkimia dari Mantra Ekstensi Tak Terdeteksi untuk menciptakan operasi skala besar. Ia bahkan berhasil mengarahkan daya tolak sihir dengan akurasi tinggi pada objek tertentu.”
Vanessa naik ke depan, menatap seisi ruangan dengan gugup. Tapi saat mulai bicara, suaranya berubah mantap.
“Tujuan awalku sederhana,” katanya. “Aku ingin mengembangkan mantra yang bisa mengusir kabut lembap dari area perkebunan tanpa merusak tanaman. Tapi hasilnya jauh lebih luas dari yang kuduga.”
Ia mengangkat tongkat dan menatap Flitwick. Sang profesor tersenyum kecil dan melambaikan tangan.
Seketika, dua gumpalan kabut muncul di udara—satu putih seperti uap air, satu hitam pekat seperti asap tinta. Flitwick mengaduk keduanya menjadi pusaran yang sulit dibedakan.
“Silakan, Miss Greengrass.”
Vanessa menunduk sedikit, lalu melangkah maju. Gerakannya anggun, tenang.
Tongkatnya berkilau biru di ujungnya saat ia melafalkan mantra pelan,
“Repulso Extrasi Dirigere.”
(Mantra Pengusir Terarah).
Cahaya biru menembus kabut, menimbulkan riak halus. Pusaran hitam perlahan terpisah dari putihnya, lalu terhimpun menjadi bola pekat di udara sebelum menghilang ke ujung ruangan.
Hasilnya: kabut putih bersih, berpendar lembut—dan udara di sekitar terasa lebih ringan.
Suasana ruangan sejenak sunyi sebelum tepuk tangan menggema lagi, lebih keras dari sebelumnya.
“Luar biasa!” seru salah satu siswa Ravenclaw dari baris belakang.
Bahkan Flitwick tampak bangga luar biasa. “Penyempurnaan arah mantra—sempurna. Tepat sasaran!”
Vanessa menunduk sopan, matanya berkilat puas. “Terima kasih, Profesor.”
Saat ia turun dari depan kelas, Ethan menatapnya dengan senyum tulus. “Penampilan yang mengesankan, Prefek. Tekniknya luar biasa halus.”
Vanessa tertawa kecil, sedikit bangga. “Terima kasih, Cross. Belajalah giat. Aku yakin suatu hari kau bisa menyusulku.”
Ethan membalas dengan senyum samar tanpa janji.
Ia sudah membayangkan berbagai kemungkinan dari teknik itu—bukan hanya untuk pertanian, tapi juga untuk aplikasi medis dan pertarungan.
Jika arah gaya sihir bisa diatur seakurat itu…
Bayangkan mengusir racun dari luka tanpa menyentuhnya.
Atau menolak partikel logam dari darah seseorang.
Dalam pertarungan—menolak darah lawan dari tubuhnya? Itu hampir seperti senjata tak terlihat.
Pikirannya berputar cepat, namun ia segera menepisnya. Ia sadar: konsep itu terlalu ekstrem untuk dibicarakan di klub seperti ini.
Flitwick, yang masih di depan, menepuk tangannya dua kali. “Baik, semua! Kita lanjutkan dengan sesi belajar bebas. Silakan berlatih, atau diskusikan ide dengan rekan kalian.”
Satu per satu siswa bangkit dari kursi, beberapa berkumpul dalam kelompok kecil. Suara pelan memenuhi ruangan lagi.
Ethan tetap duduk, menatap tirai yang kini menampilkan diagram Mantra Pengusir. Ia mengamati rune utama dan garis alir energinya—arah, tekanan, dan titik stabilisasi. Ia bisa melihat bagaimana Flitwick menyesuaikan gaya pantul agar tetap lembut tapi presisi.
Namun, setelah mencoba memvisualisasikan penerapannya dalam pertarungan, ia menggeleng.
Tidak. Terlalu tidak stabil.
Energi mantra terlalu bergantung pada kondisi target. Jika target bergerak, arus sihirnya pecah sebelum selesai. Itu sebabnya Vanessa hanya menggunakannya pada objek statis.
“Untuk benda mati, luar biasa,” gumamnya pelan. “Tapi untuk makhluk hidup… belum.”
Vanessa melirik ke arahnya, mendengar bisikan itu, dan tersenyum tipis. “Kau mengamati hal yang sama seperti Profesor Griselda waktu itu,” katanya lembut. “Ia juga bilang keterbatasan utamanya ada di stabilitas.”
Ethan mengangguk, tanpa menoleh. “Masalahnya bukan di gaya tolaknya, tapi pada media transmisi sihir. Kalau ada cara untuk menstabilkannya—barulah bisa digunakan dalam duel.”
Vanessa terkekeh kecil. “Kau bicara seperti peneliti sejati, Ethan Cross.”
Ia hanya mengangkat bahu, lalu kembali menatap papan mantra.
Dalam hatinya, satu ide mulai berputar pelan—samar, tapi jelas berpotensi besar.
Sebuah kombinasi antara pengusiran terarah dan penerimaan sihir pasif.
Konsep yang jika benar, bisa mengubah cara sihir pertahanan bekerja.
Dan tanpa sadar, di sudut ruangan, Profesor Flitwick menatap Ethan lama.
Ada kilatan penasaran—dan juga rasa bangga—di mata mungilnya.
Malam itu, Klub Mantra bukan sekadar ruang belajar.
Ia telah berubah menjadi laboratorium ide—dan bagi Ethan Cross, itu menjadi langkah kecil pertama menuju riset magis pribadinya sendiri.