Uwais menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, Stela, setelah memergokinya pergi bersama sahabat karib Stela, Ravi, tanpa mau mendengarkan penjelasan. Setelah perpisahan itu, Uwais menyesal dan ingin kembali kepada Stela.
Stela memberitahu Uwais bahwa agar mereka bisa menikah kembali, Stela harus menikah dulu dengan pria lain.
Uwais lantas meminta sahabat karibnya, Mehmet, untuk menikahi Stela dan menjadi Muhallil.
Uwais yakin Stela akan segera kembali karena Mehmet dikenal tidak menyukai wanita, meskipun Mehmet mempunyai kekasih bernama Tasya.
Apakah Stela akan kembali ke pelukan Uwais atau memilih mempertahankan pernikahannya dengan Mehmet?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Malam harinya, rumah Mehmet dan Stela terasa tenang setelah seharian penuh drama dan kejutan bahagia.
Mereka sedang bersantai di ruang keluarga, menikmati momen hangat setelah makan malam, dan merencanakan kunjungan esok hari ke rumah orang tua Mehmet.
Stela sedang membaca-baca Buku Pink yang ia dapatkan, sementara Mehmet fokus pada laptopnya.
Tiba-tiba, ponsel Stela bergetar. Sebuah nomor tidak dikenal muncul di layar. Stela mengerutkan kening sebelum memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo?"
"Stela. Ini aku, Tasya." Suara Tasya terdengar serak, tidak seperti biasanya yang penuh percaya diri.
Stela langsung tegang. "Ada apa?"
"Aku mohon, kita harus bicara. Ini tentang Mehmet, dan ini sangat penting. Aku ada di kafe biasa kita, yang dekat kantormu. Aku mohon datang sendiri," pinta Tasya dengan nada mendesak.
Stela melirik Mehmet yang tampak tidak memperhatikan.
"Aku tidak mau bertemu denganmu."
"Stela, ini menyangkut anak. Aku mohon," bisik Tasya, menekankan kata 'anak' dengan suara yang terdengar sangat sedih dan putus asa.
Hati Stela langsung mencelos. Karena dirinya sendiri sedang hamil, instingnya sebagai seorang ibu yang baru tumbuh membuatnya tidak tega mengabaikan permintaan yang terdengar memohon itu, terutama jika melibatkan anak.
"Tapi jangan beritahu Mehmet," pinta Tasya cepat, seolah membaca pikiran Stela.
Stela ragu sejenak. Ia tidak ingin menyembunyikan apa pun dari Mehmet, tetapi ia juga tidak ingin membuat keributan di hadapan suaminya lagi. Ia menghela napas. Stela setuju.
"Baiklah. Aku datang. Jangan lebih dari setengah jam," jawab Stela sebelum menutup telepon.
Ia menyimpan ponselnya, menarik napas dalam, dan mencoba memasang ekspresi biasa.
"Sayang, aku keluar sebentar," ucap Stela pada Mehmet, meraih jaket ringan di sandaran sofa.
Mehmet langsung menutup laptopnya, khawatir.
"Keluar? Ke mana? Sudah malam, Sayang. Aku antar."
Stela menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak perlu, Met. Cuma sebentar. Aku harus mengambil dokumen yang tertinggal di mobil teman lamaku, dia ada di dekat sini. Kamu istirahat saja." Itu adalah kebohongan pertama yang harus ia ucapkan pada Mehmet sejak kehamilan mereka.
Mehmet menatap Stela dengan perasaan yang curiga.
"Dokumen apa? Kenapa harus sekarang?"
"Dokumen penting, Met. Hanya sebentar. Aku janji tidak akan lama," desak Stela, memberikan senyum meyakinkan yang terasa palsu.
Melihat tekad Stela, dan setelah hari yang melelahkan, Mehmet akhirnya mengalah.
Ia tidak ingin memulai pertengkaran di malam yang seharusnya damai ini, apalagi setelah janin mereka dikonfirmasi.
"Baiklah. Tapi kamu janji harus segera pulang. Dan Mehmet meminta untuk hati-hati. Hubungi aku kalau ada apa-apa," pesan Mehmet.
Stela mencium pipi Mehmet cepat, meraih kunci mobil dan bergegas pergi.
Stela ke kafe yang mereka sepakati. Kafe itu sudah sepi.
Tasya sudah menunggu di meja pojok, tidak tampak elegan seperti biasanya, melainkan terlihat lusuh dan menangis.
Stela duduk, menjaga jarak. "Ada apa?" Tanya Stela dingin.
"Aku tidak punya banyak waktu. Jangan berani-berani mengancamku."
Tasya tidak menjawab. Ia hanya mendorong selembar kertas lusuh ke atas meja. Itu tampak seperti hasil ultrasound dari klinik swasta. Di sampingnya, ia meletakkan alat tes kehamilan yang menunjukkan hasil positif.
"Baca ini," bisik Tasya, suaranya parau.
Stela mengambil kertas itu dengan tangan gemetar.
Ia membaca tanggal yang tertera, lalu melihat hasil ultrasound yang menunjukkan bentuk kantung kehamilan.
"Aku sedang hamil anak Mehmet," ucap Tasya dengan isakan palsu yang terdengar meyakinkan.
"Hamil?"
Tasya menganggukkan kepalanya, air mata buaya mengalir di pipinya.
"Ya. Ini anak Mehmet. Setelah di Bali kami melakukan itu. Dia melakukannya karena dia merasa bertanggung jawab padaku. Dan sekarang, aku hamil."
Stela merasakan dunia berputar. Perutnya terasa mual lagi, kali ini bukan karena morning sickness, melainkan karena hantaman kekecewaan yang tak terperi.
"Mehmet bilang hubungannya sudah berakhir! Apakah Mehmet bertemu dengannya di Bali dan tidak memberitahunya? Apakah Mehmet membohonginya?" ucap Stela dalam hati.
"Anak ini membutuhkan ayahnya, Stela. Aku mohon," Tasya meminta Stela untuk menjauh.
"Aku tahu kamu mencintainya, tapi ini adalah darah dagingnya. Aku tidak mau anakku lahir tanpa ayah."
Melihat Stela menangis, Tasya di dalam hati tersenyum sinis. Rencananya berhasil.
Stela tidak bisa lagi menahan rasa sakit.
Ia bangkit, tidak sanggup lagi melihat Tasya. Pikirannya dipenuhi gambaran Mehmet yang memeluknya, menciumnya, dan berjanji untuk hidup bersamanya selamanya, sementara ia menyembunyikan "konsekuensi" dari hubungannya dengan Tasya.
Stela keluar dari kafe tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ia berjalan ke pinggir jalan, air mata mengalir deras di pipinya, dan segera memanggil taksi untuk membawanya pulang.
Begitu Stela menghilang, Tasya mengangkat kepalanya. Ekspresi sedihnya lenyap, digantikan oleh tawa sinis yang keras.
"Ternyata kamu mudah dibohongi," ucap Tasya pada udara kosong.
Ia meraih hasil USG dan alat tes kehamilan palsu di atas meja, lalu merobek hasil USG itu menjadi potongan-potongan kecil.
Itu adalah hasil rekayasa yang ia beli dari kenalannya di sebuah klinik kecil.
Sementara itu, di dalam taksi, Stela menangis. Ia memegang perutnya sendiri, tempat janin Mehmet tumbuh.
Rasa sakit fisik di pipinya karena tamparan Uwais tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya saat ini.
Stela sedikit kecewa dengan suaminya yang membohonginya, atau setidaknya, tidak sepenuhnya jujur tentang pertemuannya dengan Tasya di Bali.
Kepercayaan yang baru ia bangun dengan susah payah terhadap Mehmet kini retak.
Stela meminta taksi berhenti di tikungan komplek perumahan, tidak sanggup pulang dan menghadapi Mehmet dengan hati yang hancur.
Ia berjalan gontai, hingga akhirnya menemukan bangku taman kayu.
Stela memutuskan untuk duduk di kursi taman itu.
Di bawah temaram lampu jalan, ia menangis pilu, memeluk lututnya, mencoba menahan rasa sakit di dada dan mual di perutnya yang terasa semakin hebat.
Rasa kecewa dan pengkhianatan dari Mehmet yang ia yakini tidak sepenuhnya jujur jauh lebih menyakitkan daripada ancaman Uwais atau kekalahan bisnis.
Ia tidak peduli waktu berjalan. Ia hanya duduk terdiam, sampai tidak sadar sudah tengah malam.
Ponsel di dalam saku jaketnya terus bergetar. Mehmet sedang panik.
"Kamu di mana, sayang? Angkat teleponmu," lirih Mehmet dalam pesan suara yang berulang kali dikirim.
Ia mengemudi perlahan, mengelilingi komplek perumahan, cemas setengah mati.
Akhirnya, Stela tersentak. Ia melihat puluhan panggilan tak terjawab dari Mehmet.
Ia harus pulang. Ia harus tahu kebenaran dan menuntut tanggung jawab.
Stela menghapus air matanya dan memutuskan untuk pulang.
Ia berjalan memasuki pagar rumahnya. Tepat saat ia menginjak teras, ia mendengar suara mesin mobil dari belakang. Itu mobil sedan hitam Mehmet.
Mehmet juga baru tiba setelah pencarian singkatnya.
Mehmet keluar dari mobil dengan cepat. Wajahnya dipenuhi kelegaan yang langsung berganti menjadi kemarahan dan kekhawatiran saat melihat wajah Stela yang pucat dan mata yang sembap.
"Dari mana kamu?" tuntut Mehmet, berjalan cepat menghampiri Stela.
Stela menggelengkan kepalanya, menghindari tatapan Mehmet.
"Sayang, ada apa? Kenapa kamu tidak angkat teleponku? Aku sudah mencarimu setengah mati!" Mehmet berusaha meraih tangan Stela.
Stela menggelengkan kepalanya lagi, kali ini dengan gerakan menolak sentuhan Mehmet.
"Stela!" Mehmet mendesak.
Stela mendongak, menatap mata suaminya dengan kekecewaan mendalam.
"Ayo kita cerai," ucapnya, suaranya pelan tetapi menghantam Mehmet telak.
Mehmet terhuyung. "Apa maksud kamu?"
"Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatan kamu ke Tasya," lanjut Stela, dadanya sesak.
"Apa maksud kamu?" Mehmet menuntut, wajahnya mengeras karena tahu Tasya pasti sudah berulah.
"Tasya hamil! Dan dia..."
Belum sempat Stela menyelesaikan kalimatnya, ia tiba-tiba mencengkeram dadanya.
Pandangannya berputar, tubuhnya terasa ringan, dan semua kekuatan untuk berkonfrontasi lenyap.
"Stela!" teriak Mehmet.
Wajah Stela memutih. Sebelum Mehmet sempat meraihnya, tubuh Stela langsung ambruk, dan Stela langsung jatuh pingsan di pelukan suaminya.
Mehmet tidak membuang waktu. Dalam keadaan panik, ia dengan cepat membopong tubuh istrinya yang lunglai.
Ia tidak peduli lagi dengan apa yang baru saja Stela katakan,nyang terpenting adalah keselamatan Stela dan janin mereka.
Ia bergegas membawa Stela menaiki tangga dan membawanya ke kamar utama, merebahkannya dengan hati-hati di tempat tidur king size.
Wajah Stela yang pucat dan suhu tubuhnya yang dingin membuat Mehmet semakin cemas.
"Dokter, tolong datang sekarang! Istri saya pingsan. Dia sedang hamil delapan minggu. Tolong, ini darurat!"
Sambil menunggu, Mehmet berlutut di sisi tempat tidur, meraih tangan Stela yang dingin, dan mengecupnya berkali-kali.
"Sayang, jangan seperti ini," bisik Mehmet, air mata penyesalan dan ketakutan membasahi pipinya.
Ia tahu konfrontasi yang terjadi barusan pasti memicu reaksi ini.
"Tolong bertahan. Maafkan aku, aku akan jelaskan semuanya. Bangun, Sayang..."
Tak berselang lama, dokter datang dengan tergesa-gesa.
Dokter Siska, yang tadi pagi penuh senyum, kini memasang wajah serius.
Ia segera memeriksa keadaan Stela, mengukur tekanan darah, dan memeriksa detak jantung.
"Tekanan darahnya turun drastis, Pak Mehmet. Ada indikasi syok emosional yang diperburuk dengan morning sickness dan kelelahan. Ini tidak baik untuk kondisi janin. Kita harus mengembalikan cairan tubuhnya segera."
Dokter Siska terpaksa menginfus Stela untuk menstabilkan kondisi dan memberikan asupan cairan serta vitamin yang cepat.
Mehmet hanya bisa melihat dalam diam, hatinya hancur melihat selang infus menusuk punggung tangan istrinya.
Setelah kondisi Stela sedikit lebih stabil dan tetesan infus sudah terpasang dengan baik,
"Dia hanya pingsan karena syok, kelelahan, dan stress berat. Biarkan dia istirahat. Jaga agar tidak ada lagi tekanan emosional. Saya akan kembali besok pagi. Hubungi saya jika ada perubahan buruk."
Setelah itu dokter berpamitan, meninggalkan Mehmet sendirian di kamar yang sunyi.
Mehmet menemani istrinya yang masih belum sadarkan diri.
Ia duduk di tepi tempat tidur, menggenggam tangan Stela, menciumnya, dan menatap wajah damai yang kini terbebas dari air mata.
"Aku akan menghancurkan mereka, Tasya dan siapa pun yang berani menyakitimu lagi," janji Mehmet lirih, air matanya menetes di selimut.
"Kamu tidak akan meninggalkanku, Sayang. Kamu tidak boleh meninggalkanku."
Permintaan cerai dari Stela dan tuduhan Tasya tentang kehamilan harus dibantah habis-habisan, tetapi itu harus menunggu sampai Stela sadar.