Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan sampah
Nathan menyuruhnya untuk berlutut, tapi Jema tidak mengerti apa maksudnya. Ia bahkan belum sempat bertanya ketika Tian dan Raka tiba-tiba memegang bahunya dari belakang.
Pegangan mereka kuat, membuat tubuh Jema terdorong turun tanpa bisa melawan.
“A-apa sih… jangan—”
Namun suaranya tidak didengar.
Lututnya akhirnya menyentuh lantai kelas yang dingin. Sementara itu, Nathan hanya berdiri di depan, menatapnya seolah ia sedang menikmati adegan itu.
"Lo mau ngomong apa?" tanya Nathan.
“Gue tau gue salah… gue udah buat kekacauan di pesta lo,” suara Jema bergetar, malu dan takut bercampur jadi satu. “Gue minta maaf, Nathan…”
“Maaf, ya?” Nathan menirukan nada suaranya dengan senyum sinis di wajah.
Jema menunduk semakin dalam. Ia tidak berani menatap wajah Nathan; ia bahkan tidak sanggup melihat reaksi teman-teman yang kini mengelilingi mereka.
Nathan lalu menggerakkan dua jarinya—kode kecil yang hanya dimengerti Tian dan Raka.
Keduanya langsung melepaskan pegangan mereka dari bahu Jema dan mundur beberapa langkah.
Suara bangku Nathan terdengar pelan mendekat. Ia membungkuk sedikit, wajahnya hampir menempel pada telinga Jema. Suaranya meresap tajam, dingin.
“Permintaan maaf lo… gak gue terima.”
Dan sebelum Jema bisa mengerti sepenuhnya—
Byuuurr!!
Cup berisi boba dituangkan begitu saja di atas kepalanya.
Cairannya dingin menusuk kulit kepalanya, manis dan lengket menuruni rambut, wajah, hingga ke seragamnya. Jema hanya bisa membeku, sementara suara tawa langsung pecah di sekelilingnya.
Nathan tertawa paling keras.
“Lain kali kalau mau minta maaf, jangan pake gaya sok suci,” katanya sambil menjatuhkan cup kosong itu ke lantai.
“Haah!”
Jema tersentak bangun, napasnya memburu seperti habis berlari. Ia mengusap wajahnya cepat—keringat dingin terasa nyata di telapak tangannya.
Ia butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia sedang berada di kelas, bukan di masa lalu.
Jema menoleh ke belakang. Meja Nathan kosong.
Entah kenapa itu membuat dadanya terasa sedikit lebih lega… atau justru lebih waspada.
Ruang kelas sepi, sebagian besar siswa belum kembali dari kantin. Jam istirahat hampir usai; jarum panjang pada arlojinya hampir mencapai angka dua belas.
Dan mimpi itu—
sebenarnya bukan mimpi.
Itu masa lalu yang tetap mengejarnya.
Dan kini, ia tidak bisa benar-benar lepas dari Nathan.
***
Saat pulang sekolah, Jema melaksanakan hukumannya—membersihkan taman sekolah. Tangannya sudah gemetar karena seharian harus mengangkat satu kaki di depan kelas, dan sekarang ia harus menyapu halaman yang penuh daun kering. Kakinya pegal, pinggangnya seperti ditarik, tapi ia tetap melanjutkan tugas itu. Untung saja Bu Mala hanya menyuruhnya menyapu sebagian taman; kalau seluruh taman, mungkin Jema sudah tumbang sejak tadi.
Ia mengira seluruh siswa sudah pulang. Suasana sekolah sudah sepi, hanya terdengar suara burung dan gemerisik angin di antara pohon-pohon. Namun ternyata dugaannya salah besar. Seseorang—orang yang justru paling ia benci—muncul begitu saja di hadapannya.
Nathan melempar botol minuman ke tanah, tepat di samping sapu lidi yang Jema pegang.
Bug!
Jema menoleh cepat, wajahnya langsung mengeras.
“Lo ngapain sih?”
Nathan menyeringai, kedua tangan dimasukkan ke saku celana.
“Gue? Gue disini lagi mantau…”
“Mantau atau mau buat masalah?” balas Jema dengan ketus.
Tian ikut menyahut sambil cengar-cengir, “Jangan galak-galak lah, Jem. Nanti cantiknya hilang.”
“Diem lo, brengsek…” Jema membalasnya tanpa ragu.
"Galak amat" Ucap Tian.
Raka cekikikan, jelas menikmati situasinya.
Jema menunjuk mereka satu per satu dengan sapu lidi.
“Lo juga diem! Mending kalian semua pergi dari sini. Gue muak sama kalian!”
Nathan malah mendekatinya satu langkah, posisi tubuhnya sedikit membungkuk agar sejajar dengan Jema.
“Gue kesini cuma mau liat lo doang kok… masih hidup atau enggak.”
“Masih. Gue masih hidup,” jawab Jema sinis. “Udah kan? Enyah dari hadapan gue sebelum gue ludahin.”
Nathan tertawa kecil. “Oke, kita bakal pergi… tapi sebelum itu…”
Nathan memberi kode kecil pada Tian dan Raka. Tatapan singkat yang hanya dimengerti mereka bertiga.
Perasaan Jema langsung tak enak, tapi ia menepisnya dan memilih fokus menyapu.
Tiba-tiba Nathan berdiri tepat di belakangnya. Dalam satu gerakan cepat, ia menarik ikat rambut Jema dan melepaskannya. Rambut panjang Jema terurai, jatuh perlahan melewati bahunya.
Nathan terdiam.
Tidak berkedip.
Tidak bergerak.
Rambut itu jatuh seperti adegan slow motion di film—dan untuk sesaat, Jema bisa merasakan tatapan itu. Yang entah kenapa, berbeda.
Jema memutar badan, wajahnya memerah karena marah.
“Lo kurang kerjaan banget sih, Nathan… dasar setan!”
Nathan masih tidak bergerak, masih memegang ikat rambut itu di udara seolah kilatan cahaya membuatnya mematung.
“Balikin ikat rambut gue!” bentak Jema.
Nathan tersentak, kaget, dan ikat rambut itu terlepas dari tangannya, jatuh ke tanah.
Dengan geram, Jema jongkok untuk mengambilnya.
Dan tepat saat tubuhnya membungkuk—
BRUUUKKK!!!
Sampah jajanan dan botol plastik jatuh menimpa kepala dan punggungnya, seperti hujan busuk yang sengaja ditumpahkan. Jema membeku, tubuhnya kaku, aroma minuman manis dan sisa makanan menusuk hidungnya.
Ternyata Tian dan Raka mengangkat satu ember penuh sampah… dan menuangkan semuanya ke atas Jema ketika ia sedang jongkok mengambil ikat rambutnya.
Tawa mereka pecah memenuhi taman.
Dan dunia lagi-lagi terasa semakin kejam bagi Jema.
“Sorry, tadi gue lihat nih ember sampahnya masih ada, belum dibuang,” ucap Tian sok polos.
“Iya, makanya kami berbaik hati nganterin sampah ini ke lo,” timpal Tian lagi. “Ntar kalau nggak bersih, Bu Mala malah nambah hukuman lo.”
“Iya bener itu,” ujar Raka sambil mengangguk semangat. “Cuma tadi si Tian kesandung, jadinya berantakan deh semuanya. Maaf ya, Jem…”
“Sapu yang bersih ya, Jem…” tambah Tian sambil menepuk-nepuk kepala Jema yang penuh sampah seolah itu hal biasa.
Jema memegang rambutnya yang kotor, ya... dan pastinya sangat bau. Cairan sisa minuman, plastik jajanan, dan serpihan kertas menempel di helai rambutnya, membuatnya merinding jijik sekaligus marah. Napasnya naik turun, bukan karena lelah, tapi karena menahan emosi yang hampir meledak.
Jema berdiri membuat Nathan kaget. Gerakan itu cepat, tiba-tiba, penuh tekanan. Mata Jema menatap lurus tanpa berkedip, membuat Nathan dan kedua temannya refleks terdiam sepersekian detik.
“Makasih ya,” ucap Jema lirih tapi tajam, “udah anterin sampah ini ke sini. Gue berterima kasih banget sama kalian bertiga.”
Nathan menepuk dadanya, pura-pura bangga. “Gue tau gue baik.”
Jema meremas gagang sapu lidi. Jemarinya sampai memutih, tanda ia berusaha sekuat tenaga tidak melempar benda itu ke kepala Nathan.
Nathan lalu tak bisa menahan tawa karena jema terlihat sangat berantakan. Rambut acak-acakan, seragam kotor, dan wajah penuh frustrasi—baginya itu seperti hiburan hari ini.
“Pergi dari sini,” ucapnya dengan napas tersengal, “sebelum gue ngamuk…”
"Yaudah gue cabut ya... Yang bersih nyapu nya..." Ledek Nathan.
Jema kembali menyapu, mencoba mengabaikan mereka meski dadanya masih sesak. Namun Nathan malah kembali menghampiri Jema. Langkah sepatunya terdengar makin dekat, membuat Jema mengangkat wajahnya dengan jengkel.
“Apalagi sih?” desis Jema.
Nathan menunduk, membuat jema menjadi heran. Sikapnya berbeda, seolah ada sesuatu yang ingin ia lakukan atau katakan, tapi Jema tak tertarik menebak.
“Gue…”
“Apa? Udah, gue maaf—”
Nathan langsung mengeluarkan beberapa sampah dari dalam tasnya. Gerakannya cepat dan penuh niat. Beberapa bungkus plastik jatuh berserakan tepat di depan kaki Jema.
“Ketinggalan...” katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Tian dan Raka ikut meledak tawa.
Jema tidak habis pikir, kok ada manusia menyebalkan seperti Nathan. Ia melihat sampah yang barusan saja dibuang Nathan—bungkus permen jelly warna-warni dengan gambar kucing yang lucu.
Permen jelly?
Dia makan permen jelly? Muka seseram itu?
Untuk sepersekian detik, Jema terdiam—bukan karena takut, tapi karena tidak percaya. Nathan, manusia paling nyebelin di sekolah, makan permen jelly seimut itu? Ironi yang bikin Jema ingin menertawakan hidup sekaligus memaki takdir.