NovelToon NovelToon
L'Oubli

L'Oubli

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Cinta Beda Dunia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dela Tan

Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.

L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Season 1 ; Bab 22 - Kembali Ke Warung

Jari-jari Murni menari-nari di atas piano, menekan tuts demi tuts dengan penuh penghayatan, melantunkan musik, menyuarakan nada-nada rohani yang menenangkan, seperti air dingin yang mengalir tenang.

Mata Murni terkadang terpejam, kepalanya sesekali bergerak-gerak, tampak tenggelam dalam lagu yang mengalun syahdu, bergema memenuhi ruang gereja yang kosong. Hari masih pagi, tidak ada misa hari ini. Murni merasa dilingkupi cahaya kudus. Hatinya terasa damai.

Sudah satu minggu ia berhasil memenangkan perang batinnya. Meskipun masih berjuang, setidaknya itu tidak sia-sia. Memang tidak mudah, memang terasa nyeri, tapi semua akan berlalu bukan?

Sampai…

Tiba-tiba ia mendengar suara seorang pria memanggilnya.

Mata Murni seketika tersentak terbuka. Jari-jarinya yang semula bergerak di atas tuts-tuts piano mendadak berhenti. Musik langsung terputus.

Murni terduduk dengan kaku, seolah terpaku di kursi.

“Suster Murni,” suara itu memanggilnya lagi. Diikuti langkah seseorang yang menghampiri.

Murni mengembuskan napas, menunduk dan menggelengkan kepala pelan.

Bukan, itu bukan suara Mahanta.

Bagaimana ia bisa mengira Mahanta datang ke sini dan memanggilnya? Itu mustahil!

“Hei, Suster Murni.” Murni menoleh, dan melihat sang pemilik suara sedang tersenyum, “Asyik betul latihannya, sampai gak dengar aku panggil-panggil dari tadi.”

Frater Filipus.

“Maaf, Frater.” Murni tertawa canggung. “Kupingku budeg kalau sedang main piano.”

Itu bohong. Ia telah melakukan dosa dusta. Karena alasan sebenarnya adalah, ia menenggelamkan keresahan dalam musik, hingga ia merasa hanyut dan tidak menyadari sekitar.

“Kamu sudah kembali dari cuti?”

Murni mengangguk, menjawab singkat. “Iya, Frater.”

Ia tidak merasa perlu menjelaskan apa-apa pada calon pastor berkumis tipis itu.

“Sedang latihan lagu apa? Untuk misa?”

“Ah tidak. Hanya melatih tangan supaya tidak kaku,” Murni mencoba bercanda. Sungguh, deburan jantungnya masih belum reda akibat salah mengira barusan.

Frater Filipus hanya ber”o”, lalu pembicaraan macet.

Murni tidak berminat berbasa-basi, dan Frater Filipus tampak bingung mencari topik.

“Kalau begitu, aku pamit dulu."Frater Filipus akhirnya memecah kebekuan. "Tadi lewat dan mendengar suara piano. Lalu aku mengintip dan ternyata itu kamu, jadi aku masuk untuk menyapa.”

“Baik, Frater. Terima kasih atas perhatiannya.”

Sungguh obrolan yang kaku.

Betapa berbeda dengan Mahanta. Meskipun laki-laki itu tidak banyak bicara, dan topik yang mereka bahas terkadang sulit dipahami, pembicaraan mereka selalu lancar. Lelaki itu sosok yang asing dan Murni baru bertemu dengannya sekitar tiga bulan lalu, tetapi seolah ia sudah sangat lama mengenalnya. Itu rasa yang selalu ada ketika ia bersamanya.

Rasa yang tidak asing. Rasa akrab yang tidak ia mengerti.

Frater Filipus sudah pergi. Dan Murni tiba-tiba merasa perjuangannya selama satu minggu ini sia-sia. Pikirannya kembali dipenuhi lelaki itu, dan dorongan di hatinya mendadak mendesak.

Ia ingin mendengar suara Mahanta. Ingin menatap kelam matanya. Ingin memandang wajah tampan dan tegas itu. Ingin membahas hal-hal tentang kehidupan dan kematian.

Seolah air banjir yang ditahan tanggul yang rapuh. Ia tahu, tanggul itu kini telah retak dan sebentar lagi pasti pecah.

Anehnya, ia tidak ingin lagi melawan.

Malam itu, Murni berpura-pura tidur cepat, menghadap tembok memunggungi Theresia. Padahal sebenarnya ia menunggu sampai rekan sekamarnya itu terlelap.

Ketika waktu menunjukkan pukul sebelas malam, ia berbalik dan menyimak suara dengkuran halus Theresia. Setelah yakin gadis itu sudah pulas, diam-diam ia mengganti baju tidur dengan celana jeans dan kemeja, mengenakan jaket dan menenteng sepatu kets.

Murni berjingkat-jingkat, membuka pintu tanpa suara, dan cepat-cepat berjalan bertelanjang kaki. Tanpa alas kaki, kakinya yang kecil tidak menimbulkan suara. Setelah tiba di luar biara, barulah ia mengenakan sepatu dan melesat ke luar pagar.

Kali ini ia sengaja datang sebelum waktu buka warung. Telah sekian lama ia bertanya-tanya bagaimana warung itu muncul. Ia telah menyaksikan warung itu lenyap begitu saja ketika fajar tiba. Ia juga ingin melihat bagaimana proses kemunculan warung itu.

Murni tiba di lokasi lima menit sebelum tengah malam.

Ia menanti dengan berdebar-debar. Seolah sedang berada di bioskop dan lampu sudah dipadamkan, menanti film diputar dengan tegang.

Selain kemunculan warung itu, yang lebih membuatnya gugup adalah… ia akan bertemu lagi dengan Mahanta!

Betapa ia… menanti-nantikan saat ini. Apakah lelaki itu juga merasa kehilangan dirinya? Apakah lelaki itu juga… merindukannya? Masihkah lelaki itu setiap malam menunggu kedatangannya?

Namun ia ingat, Mahanta berkali-kali melarangnya untuk kembali. Apakah lelaki itu serius tidak ingin melihatnya lagi? Atau itu suatu taktik mengundang halus, mengusir tetapi sebenarnya agar ia penasaran dan terus datang?

Berkali-kali Murni mengecek jam di pergelangan tangannya. Menit demi menit terasa berjalan sangat lambat malam ini, seolah dengan sengaja merayap karena tahu sedang dinanti.

Sekonyong-konyong, di ujung gang yang awalnya gelap gulita, tiba-tiba mulai ada cahaya kecil, satu disusul yang lain. Seperti seseorang menyalakan lilin satu demi satu di balik jendela.

Warung itu muncul begitu saja!

Padahal tadi tidak ada apa-apa.

Napas Murni memburu, terdorong untuk langsung mendobrak pintu dan masuk. Mungkin Mahanta baru menyalakan kompor, bersiap-siap untuk memasak dan menunggu jika ada pelanggan datang.

Murni mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya, menahan diri dengan susah payah agar kakinya tidak segera berlari.

Tidak. Ia sudah dilatih menahan emosi. Betapa pun kuat desakan di hatinya, ia harus tampak tenang di luar. Tidak meledak-ledak, tidak kehilangan kendali.

Murni memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas beberapa kali. Setelah aliran udara yang keluar masuk lebih teratur, barulah ia melangkah dengan tenang.

Ia mengangkat tangan hendak mengetuk.

Tetapi tiba-tiba pintu terbuka sendiri, dengan bunyi, “Kriettt…”

Disusul suara denting lonceng di atas pintu, seolah mengumumkan kehadirannya.

Warung itu kosong.

Tidak ada pengunjung, tidak ada pelanggan.

‘Mungkin karena baru buka,’ pikir Murni. Jika diingat lagi, para pelanggan biasanya datang sekitar jam satu, dan paling ramai sekitar jam dua.

Murni melangkah dengan jantung bertalu-talu, sebagian karena antisipasi, sebagian karena antusiasme. Tangannya bahkan terasa berkeringat.

Namun…

Tidak ada Mahanta.

Murni berjalan masuk. Lelaki itu tidak tampak. Meja dapur rapi. Meja saji warung kosong dan bersih.

Murni merasa heran, biasanya lelaki itu sedang sibuk di dapur, memunggungi pintu, tetapi pasti tahu jika ia datang, seolah memiliki mata di belakang tubuhnya. Apakah lelaki itu terlambat malam ini?

“Mahanta,” Murni memanggil. Suaranya bergema memecah sunyi.

Tidak ada jawaban.

Ia memanjangkan leher untuk melongok ke dapur. Bahkan kompor tidak menyala. Murni mengernyitkan kening. Sungguh aneh.

“Mahanta!” Ia menaikkan suara. “Kau di sini?”

Hening.

Murni terpaku di tengah warung. Berdiri linglung. Bertanya-tanya ke mana lelaki itu. Kerinduannya yang membuncah tampaknya tidak akan terobati.

Tiba-tiba terdengar denting lonceng, tanda pintu dibuka.

Dengan penuh semangat ia menoleh.

“Maha… “ Dan suaranya berhenti.

Yang masuk bukan Mahanta.

Itu seorang gadis yang tampak berantakan. Wajahnya sangat pucat. Matanya semerah darah, dan… ada jejak lebam di sekeliling lehernya. Seperti kalung anjing. Tapi bukan.

Itu jejak cekikan.

1
adi_nata
baru bab awal aura misterinya sudah sangat pekat.
💕💕syety mousya Arofah 💕💕
kok pas nmne Salman kek anakku 🙈🙈
💕💕syety mousya Arofah 💕💕: hrusnya jgn slman thorrr...Salman itu artinya minta aman dn keselamatan...nanti KLO pke slman jdi GK sesuai..haiiishhh.,galau q thorrr...tpi GK PP..cuma crita kug y
Dela Tan: Haha... otor ngebayangin profilnya Salman Khan, serem kan?
total 2 replies
Ryan Jacob
semangat Thor
Jati Putro
setiap nyawa yg di selamatkan ,
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
Jati Putro
mungkin murni reinkarnasi dari wanita yg terbakar ,
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
Jati Putro
Kalimat jangan bermakna dilarang
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran
Nike Raswanto
wow.....keren ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!