Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halangan Yang Tersembunyi Demi Rasa Sakit Tak Terucapkan
.
.
Revander menatap dalam kepada beberapa tomat merah yang terjajar di atas meja-meja kecil pada pasar yang ramai di pinggir jalan raya siang hari ini. Berkali-kali dia mengambil salah satu dari sayuran merah bulat itu, memutarnya sesekali lalu meletakkannya kembali pada tempatnya saat menganggap jika itu tidak sesuai dengan keinginannya.
Dan tak jauh dari belakangnya terdapat sosok pria mengenakan masker, serta berpakaian kemeja putih dengan kancing teratasnya sudah terbuka, dan lengan sakunya telah tergulung setengah, berjalan dengan wajah yang selalu terlihat tersenyum ‘ramah’ tanpa orang-orang lain tahu arti kebenarannya.
Setelah pria itu mengatakan ingin dirinya memasakan sesuatu untuk makan siang hari ini, gadis itu langsung meminta Tobito untuk sedikit mengubah tujuan perjalanan mereka dan berakhir pada tempat ini.
Tentu saja awalnya kedua pria asing itu terlihat ragu dengan tempat yang dia tunjukkan ini.
Bahkan Flauza bertanya akan tujuannya, dan Tobito memberikan opsi yang lain setelah mendengar maksud dari tujuannya.
Namun dengan tenang dia menolak kedua pria itu.
Ohhh...
Tidak mungkin dia akan datang ke sebuah super market hanya untuk membeli bahan-bahan pokok dengan harga yang bisa mencapai dua kali lipat lebih.
Tidak akan terjadi!!!
Mungkin ini terdengar aneh, tapi tetap saja tidak!
Gadis itu meletakkan plastik merah pada timbangan yang di berikan oleh seorang ibu-ibu penjual di kedai kecil ini.
“Jadi berapa bu?” ucap gadis itu dengan suara ramah-tamahnya.
“Enam ribu dek.” Balas seorang wanita yang ada di seberang sana mengikat plastik merah itu dengan cepat dan terampil.
Memberikan benda merah itu kepada gadis berambut hitam itu, dan sang gadis membalasnya dengan memberi dua lembaran kertas kepada wanita itu. “Terima kasih ya dek.”
Revander mengangguk pelan sembari kembali berjalan melanjutkan pencarian bahan-bahan yang ingin dia gunakan, walaupun dirinya sendiri tidak tahu apa yang dia akan masak.
Ataupun apa yang di inginkan oleh Flauza dari dirinya.
“My Revander, biarkan aku membantumu.” Ucap Flauza, suara berat pria itu yang masih saja bisa terasa dominan di tengah-tengah kebisingan ini.
Pria itu sedikit menunjuk kepada plastik yang ada di genggaman dirinya, seperti mengatakan agar memberikan benda itu kepadanya dan biarkan dialah yang membawakan hal ini.
Gadis itu hanya mengangkat tangannya dan memberikan itu dalam diam, tapi pria itu malah menggunakan kesempatan ini dengan menarik tangannya yang terjulur itu dan menggenggamnya dengan erat.
Revander melirik ke arah tangannya itu sekilas sebelum kembali melirik kearah pria yang dapat dia rasakan tengah menyeringai kepadanya itu.
Haaa....
Dasar.
Terserah saja lah.
Revander kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan membelah keramaian itu dalam diam berusaha tidak terlalu ambil pusing dengan tingkah laku pria di samping belakangnya itu.
Sedikit banyak....
Di dalam sudut hatinya masih terasa rasa cubitan kecil di sudut hatinya atas apa yang terjadi hari ini.
Cukup lama mereka berdua menghabiskan waktu di pasar ini, dan semakin lama plastik-plastik pada salah satu tangan Flauza juga semakin bertambah.
Kini mereka berada di tempat orang-orang menjual ikan, daging, dan berbagai macam seafood, membuat tempat ini terlihat lebih kotor dan memiliki aroma yang lebih kuat.
Flauza sedikit menggelengkan kepalanya dan menutup hidungnya yang tertutup masker itu dengan punggung tangannya.
“Tidak tahan?” ucap Revander tanpa menoleh ke arah Flauza.
“Tempat ini.... sangat.... menarik...” Revander mendengus pelan mendengarkan ucapan pria itu yang sedikit terbata-bata.
“Bukankah sudah ku katakan untuk tetap menungguku saja di dalam mobil, bukan?”
“Dan membiarkanmu pergi sendirian di tengah-tengah tempat asing ini?’ Flauza tertawa kecil. “ohh... My Revander, aku tidak akan membiarkan hal-hal seperti ini terjadi.”
Iris hitam gadis itu sedikit melirik pria itu dari sudut matanya.
Mendengarkan suara pria itu seakan begitu yakin, dan seperti mengucapkan sumpah yang dia tidak mengerti arti setiap perkataannya.
“Aku tidak akan pergi ke mana-mana, walaupun tempat ini jauh berbeda di bandingkan tempat yang ada di dekat kediamanku. Aku cukup yakin dengan tata letaknya”
Flauza tidak menjawab lagi perkataan gadis itu, pria itu hanya diam dengan iris cokelat itu menatap dalam punggung sang gadis yang tertutupi oleh rambut hitam panjangnya itu.
Langkah gadis itu berhenti saat berada di salah satu kedai yang menjual beberapa macam kerang dan udang besar yang masih terlihat segar, dengan beberapa wanita muda lainnya yang juga tampak asyik tengah mengobrol santai dan juga melilah-millah dagangan itu.
“Berapa udangnya satu kilo pak?” gadis itu kembali tersenyum saat bertanya.
“seratus dua puluh saja mbak.”
Er....
Cukup mahal!
“Tidak kurang?” tawar gadis itu, membuat wanita-wanita yang ada di sampingnya itu menghentikan obrolan mereka.
“Maaf mbak memang sudah begitu harganya...” balas sang pedagang sedikit melemaskan suaranya.
“Kurang sedikitlah pak...” ucap gadis itu mencoba menawar harganya lagi. “Delapan puluh ribu?”
“Seratus lima belas, mbak....”
Revander mulai menjulurkan tangannya menyentuh udang-udang itu, sedikit menekan dan membolak-balikan itu satu dengan yang lain sebelum meletakkan udang yang menurutnya cukup bagus sedikit lebih dekat ke arahnya.
“Delapan puluh lima lah pak...”
“Seratus sepuluh mbak...”
Uhhh....
Bisakah sedikit lebih turun lagi.
“Suaminya ya, Mbak?”
Hah?
Salah satu dari wanita-wanita itu bertanya kepada Revander membuka pembicaraan kecil di sana.
Eh...?
“Itu...”
“Masih pacaran ya?”
Revander hanya menatap wanita-wanita itu dengan tersenyum canggung tidak tahu harus menjawab apa.
“I-Iya bu...”
“Tampan juga pacar mbaknya..” sahut wanita lainnya. “Pantes di gandeng terus mbak, takut hilang ya” lanjut wanita itu berniat sedikit bercanda kepada gadis itu.
Revander hanya tertawa kecil.
Apa yang harus dia katakan?!
Diam Reva, coba lah untuk memilih diam, dan semua ini tidak akan menjadi lebih buruk.
Dirinya yang telah mendapatkan empat ekor udang yang berukuran cukup besar dan segar, mencari-cari sebuah tempat untuk meletakkan pilihannya itu sebelum ada orang-orang nakal yang mungkin mencoba mengambilnya.
“Empat ini seratus ribulah pak.”
Pedagang pria itu menimbang-nimbang tawaran gadis itu, sebelum setuju dengan harganya itu.
“Baiklah mbak.” Memasukkannya ke dalam dua kantong plastik hitam yang tebal dan melempar kecil kepada gadis itu.
“Terima kasih Pak. Duluan ya Bu” Revander menarik tangan pria yang hanya diam sendari tadi itu, berusaha segera mungkin meninggalkan temapt itu.
Langkah gadis itu terlihat lebih lebar dari pada sebelumnya, dengan beberapa kali memaksa mendorong orang-orang yang ada di depannya.
Hingga....
Sebuah kecelakaan kecil itu terjadi, seseorang menabrak gadis itu dengan kuat membuat tubuh gadis itu terhunyuk ke kiri dan kakinya tergesek kuat pada kayu dari kaki-kaki meja pedagang itu.
Rasa sakit dan ngilu itu langsung menyerang ke seluruh tubuh bahkan itu sampai menusuk jantung dan otaknya.
“Uuuhh.... sial”
“Ahhh.... Maaf-maaf mbak.” Seorang yang menabrak mereka dengan cepat dan gugup saat melihat tatapan tajam menusuk yang di berikan oleh Flauza kepadanya.
“Ya... tidak papa ce, maaf juga sudah menabrak” balas gadis itu sedikit mengakat tangan dengan plastik hitam yang tergantung di antara jemarinya.
Berusaha kembali berdiri tegak, menahan rasa sakit luar biasa dari kaki kiri dan nyeri seluruh tubuhnya.
OOOohhh...
Sial!!!
“Revander..!” Dapat dia dengar kepanikan yang cukup kuat dari suara berat Flauza yang langsung menunduk menahan tubuhnya.
“Tidak apa-apa Flauza, A-Ayo k-kita kembali” tanpa dia sadari, perlahan nafasnya semakin memburu seiring kepalanya yang semakin terasa berputar-putar di tengah keramaian itu.
Flauza mengambil bungkusan hitam itu pada tangan gadisnya.
Iris mata cokelat itu menatap dalam ke arah sang gadis, melepaskan genggaman tangannya dan segera mengangkat gadis itu dengan satu tangannya.
“F-Flauza!!!!! Turunkan Flauza!!!!”
Pria itu tidak berkata apa-apa, namun sekilas dia menatap tajam kepada seorang yang menabrak Revander sebelum berjalan dalam diam mengabaikan semua pasang mata yang ada di sana.
Sedangkan Revander.
Kini gadis itu tidak tahu harus bagaimana lagi.
Dengan perasaan sakit yang luar biasa, pusing dan juga malu yang tengah terjadi pada dirinya sekarang ini.
Kenapa bisa berakhir seperti ini?!!!
Tentu saja ini akan berakhir seperti ini, karena itu kami Revander!!!
Memangnya bagian mana lagi di kehidupanmu yang akan terlihat biasa huh?
Tapi kan ini di depan orang banyak!!!
Dan pria itu tidak akan peduli ~
UUhh....
Revander hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang kini terbebas, pasrah dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya saat ini.
.
Mereka keluar dari tempat ramai itu, berjalan ke arah sebuah gang di mana mobil Roll-Royce itu terparkir di depan tokoh yang masih tutup.
Tobito yang melihat Tuan dan Nona mereka datang mendekat, langsung keluar dari pintu pengemudi itu, dan berjalan mendekat ke pada Flauza.
“Tuan?”
Flauza segera menyerahkan beberapa kantung plastik belanjaan di tangannya itu kepada Tobito, dan pria pirang itu menerimanya tanpa banyak bertanya.
“buka pintu, Tobi.” Titah pria itu dengan suara beratnya.
Sedetik kemudian pintu penumpang telah terbuka cukup lebar, untuk Flauza meletakkan dengan lembut gadis itu pada kursi empuk di dalam mobil itu.
Revander yang masih menutup wajahnya itu perlahan merenggangkan jemarinya, berusaha mengintip kecil dari sela-sela itu jemarinya.
Melihat kini Flauza sedang bertumpu di hadapannya, menatap tajam ke arahnya.
“My Revander.” Panggil pria itu lagi dengan nada lebih lembut kepada gadisnya itu.
Revander menurunkan kedua tangannya membalas tatapan tajam dari iris cokelat madu milik Tuan Evangrandene itu. “S-sudah sampai di mobil?”
“Apa kamu baik-baik saja?” Flauza membalas balik pertanyaan dirinya.
Baik-baik saja?
Uhhh....
Masih ada sara nyeri dan ngilu di seluruh tubuh dan kakinya.
Tapi....
Dia tahan akan hal itu.
Uuuhh....
“Iya, aku baik-baik saja, hanya terbentur kecil, dan sedikit terkejut kok.”
Pria itu.....
Tampak kurang puas dengan jawaban yang dia berikan.
“Kamu yakin?”
Iris cokelat itu masih mencoba menembus masuk pada iris hitam malam milik gadis itu.
“Iya, Flauza... aku baik-baik saja. Ayo cepat masuk, agar cepat kembali. Sudah jam berapa ini, bukankah kamu belum makan apapun dari tadi?” Revander memperbaiki posisi duduknya agar pintu mobil itu dapat di tutup, dengan mengangkat kaki-kakinya lebih pelan dari pada biasanya.
Sedangkan pria itu sendiri tetap memperhatikan semua gerak gerik gadis itu dalam diam, dan sedikit melangkah mundur untuk menutup pintu itu.
Saat pintu itu tertutup, Revander sedikit menyentuh kaki kirinya yang masih terasa nyeri menusuk dan kini sedikit gatal, menggoyang-goyangkan kakinya berharap rasa mengganggu ini segera pergi.
Bagasi belakang mobil itu terbuka, dengan Tobito meletakkan barang-barang belanjaan mereka, dan tertutup kembali, dengan selanjutnya pria pirang itu berjalan ke sisi lain mobil ini membukakan sisi pintu penumpang lainnya agar pria berambut cokelat itu masuk.
Flauza melepaskan maskernya dan meletakkan itu pada salah satu tempat di belakang kursi di hadapannya.
Tobito pun masuk dan menghidupkan mobil itu.
Menjalankannya dengan perlahan, meninggalkan tempat yang benar-benar membuat keberadaan mobil itu begitu mencolok dan terasa benar-benar asing dan jauh di bandingkan yang lain.
.
Dalam perjalanan yang cukup panjang dan di penuhi keheningan yang terjadi di antara mereka itu, Revander tidak henti-henti menggoyang-goyangkan pelan kaki kirinya
Sudah hampir satu jam perjalanan pulang, kini mobil itu masih berada di jalan tol yang lumayan ramai di siang hari cerah itu.
Rasa nyeri, ngilu dan sedikit gatal pada itu belum juga redah, sedikit banyak membuat suasana di dalam mobil itu semakin tidak nyaman untuk dirinya.
Setidaknya itulah yang di rasakan Revander saat ini.
Sesekali dengan pelan jemari gadis itu menekan sedikit pada betis kakinya untuk menghilangkan rasa mengganggu ini, memilih rasa sakit di bandingkan rasa gatal yang tertahan.
Iris mata kecokelatan milik Flauza yang terus menatap gadisnya dari sudut mata itu, tidak mengatakan apapun , tetapi kedua tangannya terkepal cukup kuat tanpa ada yang menyadari satupun.
“My Revander....” kali ini suara pria itu terdengar seperti geraman lirih.
“Ya... kenapa kamu bertanya Flauza?” Revander menatap bingung kepada pria itu.
“Kamu... seperti tidak nyaman akan sesuatu.”
Eh....
Apa dia sudah mengetahuinya?
“Maksudmu?”
Sekilas iris mata itu terfokus ke bawah, lalu kembali menatap wajahnya. “Sendari tadi kamu terlihat lebih diam, dan juga tidak nyaman.” Jelas Flauza pelan.
“Huh?” Salah satu tangan Flauza berhenti tepat di atas kedua paha gadis itu, menghentikan gerakan-gerakan tidak beraturan yang di lakukan Revander tanpa dirinya sendiri sadari.
Mata kecokelatan itu berkilat-kilat tidak menentu arah.
“Apa yang sebenarnya terjadi My Revander?”
Hah?!
Dia benar-benar tidak mengerti.
Dia benar-benar tidak tahu apa yang di maksudkan pria itu.
“Aku.... tidak tahu?” Flauza kembali menyandarkan dirinya lagi dengan tangannya yang tetap di atas paha gadis itu. “Flauza?”
.
.
.
“Aku dapat merasakannya My Revander. Ketidak nyaman mu itu, rasa sedih dan bingung yang kamu sendiri tidak ingin mengerti, dan abaikan dalam diam.”
.
.
.
“Mulai sekarang...” senyuman khas dari pria itu kembali. “Jika kamu ingin membeli sesuatu, kamu tidak perlu datang ke tempat-tempat kumuh seperti itu lagi.” Flauza mengatakan itu tanpa peduli perubahan wajah gadis itu.
“Kenapa.... tiba-tiba saja kamu berkata seperti itu?” kini gadis itulah yang sepenuhnya menoleh kepada pria itu, seakan menuntut sebuah kejelasan dari perkataan ambigu itu. “Ada apa Flauza, kamu lah yang terlihat tidak nyaman akan sesuatu hari ini.”
“Mungkin.”
Revander hanya menghela nafas panjang.
“Atau mungkin itu karena kamu yang selalu saja membuatku seperti ini.”
Huh?
“Memangnya apa yang telah aku lakukan sampai membuatmu seperti ini?” Tangan pria itu mengelus lembut paha sang gadis. “Aku benar-benar tidak mengerti akan dirimu, Flauza.”
Tawa pria itu pecah mendengar kalimat terakhir gadis itu.
“Ohh..... jika begitu, bagaimana jika kita bermain sedikit untuk hiburan kecilku.” Tangan itu perlahan naik ke arah wajah kebingungan gadis berambut hitam itu.
“Bagaimana, jika kamu bisa memasakkan aku sesuatu yang bisa mengakui itu adalah hal yang lezat dan aku menikmatinya, maka akan ku kabulkan satu permintaanmu. Bagaimana apakah kamu setuju?”
Mengabulkan satu permintaan?
“Seperti dirimu bisa menjadi Jin lampu saja...” Celetuk sang gadis sedikit kesal, namun juga tertarik dengan tawaran pria itu. “Baiklah, kamu benar-benar meremehkan kemampuanku, dan aku akan buat kamu merasa ketagihan atas masakkanku”
absen dulu aku