Kehidupan yang semula diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, rupanya merupakan neraka bagi wanita bernama Utari. Dia merasakan Nikah yang tak indah karena salah memilih pasangan. Lalu apakah Utari akan mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan? Bagaimana kisah Utari selanjutnya? simak kisahnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Siapa Dia?
Nisa terus bergelayut manja di pelukan Utari. Utari sama sekali tidak keberatan memeluk putrinya. Sudah hampir seminggu mereka tidak bertemu. Utari sangat merindukan putrinya ini.
"Gimana kabar kamu di sana, Tari?"
"Aku baik, Ma. Mama gimana kabarnya?"
"Mama juga sama. Mama selalu sehat karena di sini ada Nisa."
Utari mengusap rambut Nisa dengan lembut. Suhu badan Nisa sudah berkurang. Dia sekarang hanya demam ringan.
Nisa sama sekali tidak bicara. Dia hanya bersandar pada ibunya dan mendengarkan orang-orang dewasa ini bicara.
Papa Tama memanggil Bian masuk ke ruangannya. Dia menceritakan semuanya. Kemarin dia meminta guru untuk mengecek kejadian di kelas Nisa. Bagaimana pun juga setelah Nisa diterima masuk di sekolah ini, Papa Tama langsung menjadi donatur di sekolah itu.
"Lalu bagaimana hasilnya, Pah?"
"Beberapa anak hanya penasaran pada Nisa dan tanpa sengaja menanyakan beradaan ayah Nisa. Papa rasa itu titik lemahnya."
Bian terdiam dan tampak berpikir, dia pun sebenarnya mencurigai hal ini. Nisa seolah tidak mau mengungkit soal ayahnya.
"Gimana kalau kamu bicarakan ini dengan Utari. Nisa perlu dibawa ke psikiater, Biarkan dia ditangani dengan seorang ahli, sebelum semuanya terlambat. Papa juga berharap Nisa bisa tumbuh normal seperti anak-anak lainnya."
Bian mengangguk dan lalu bersama keluar dari ruang kerja papa Tama.
Utari sedang menyuapi Nisa. Beruntung meski demam, Nisa masih doyan makan. Utari melihat Bian dan papa Tama yang tampak serius. Alisnya berkerut tanpa sadar.
"Bi, makan dulu, kata Tari tadi kamu ga mampir buat makan."
Bian melirik Utari dan mau tak mau tersenyum dengan perasaan bersalah. Sangking kepikirannya pada Nisa, dia sampai lupa mampir ke rumah makan selama dalam perjalanan. Utari pasti kelaparan.
"Maaf, Tari aku ga sadar sudah mengabaikan kamu tadi."
"Ga apa-apa, Bi. Kita berangkat dalam keadaan panik, tadi."
Bian duduk di dekat Utari. Utari tanpa bicara mengambil piring Bian dan mengisinya dengan nasi dan lauk serta sayur. Mama Sukma dan papa Tama saling melirik dan tersenyum senang melihat hal ini. Mereka senang karena Utari bersedia melayani Bian di meja makan, meski keduanya belum memiliki status yang jelas.
Setelah meletakkan piring di depan Bian, Utari merasakan tatapan membara dari dua orang di depannya, Utari pun mengangkat pandangannya. Wajahnya langsung memerah karena malu. Bagaimana dia bisa melupakan kedua orang ini tadi.
Utari segera duduk dan mengalihkan perhatiannya pada Nisa. Namun, Bian masih bisa melihat rona merah itu di telinga Utari. Usai makan, papa Tama mengajak semuanya berkumpul di ruang keluarga.
"Tari, besok Lisa akan datang ke sini. Papa akan pelan-pelan memperkenalkan perusahaan papa kamu. Siapa tahu, kamu ingin belajar mengelola perusahaan papa kamu."
"Tari mana bisa, Pah," kata Utari minder. Dia sadar diri pendidikan itu yang utama, sementara dirinya hanyalah lulusan tamatan SMA. Orang-orang pasti tidak akan menganggap serius keberadaannya.
"Ya kamu lihat lihat saja dulu, atau gini aja, gimana kalau kamu sekolah lagi? Kamu bisa mengambil kuliah jurusan managemen bisnis mungkin," kata papa Tama.
Utari tampaknya bimbang. Dia sendiri bingung harus bagaimana. Banyak hal yang harus dia pikirkan secara bersamaan. Namun, dia tidak tahu harus mengutamakan yang mana.
"Pah, biar Utari istirahat dulu, jangan terlalu ditekan. Biar dia memahami semuanya pelan pelan. Kan ada Bian yang bisa bantu mengelola perusahaan itu," kata mama Sukma.
"Iya, Pah. Tari pasti sudah sangat lelah," timpal Bian.
Papa Tama tidak menahannya lagi, dia hanya membiarkan Utari naik ke kamar Nisa. Mama Sukma tersenyum sambil menepuk bahu suaminya dengan lembut.
"Sabar, Pah. Utari perlu waktu. Apalagi dia sekarang punya Nisa yang juga perlu perhatian ibunya. Kita sebagai orang tua harus selalu mendukung apapun keputusan anak-anak kita. Yang terbaik menghargai pilihannya. Jika mereka melakukan hal buruk, kita berkewajiban untuk menegurnya," kata Mama Sukma.
Papa Tama menepuk punggung tangan istrinya yang ada di bahu. Ya, dia sepertinya terlalu bersemangat dan menakuti Utari tadi.
Nisa memeluk Utari dengan erat seolah tidak infin melepaskannya. Utari sama sekali belum tahu penyebab Nisa demam.
"Bu."
"Ya, Sayang. Ada apa?"
"Kita akan terus di sini kan? Nisa ga mau pulang ke sana," kata gadis kecil itu. Hati Utari seperti ditusuk jarum berkali-kali. Nisa sepertinya benar-benar trauma.
"Bu," Nisa kembali memanggil Utari. Utari menunduk dan menatap kedua mata Nisa.
"Boleh, ga, Nisa bilang ke teman-teman kalau Nisa ga punya bapak?" tanya gadis itu polos. Matanya yang hitam menatap Utari dengan berkaca-kaca.
Utari memejamkan matanya. Rasanya dia bisa melihat luka di dalam hati putrinya, hanya lewat tatapan mata saja.
"Boleh 'kan, Bu?"
"Tidur, ya, Nak. Besok ibu kasih lihat oleh-oleh yang ibu bawa dari sana."
***
Pagi itu Utari bangun kesiangan. Utari melirik putrinya yang masih terlelap. Utari memutuskan untuk segera mandi dan turun.
Saat tiba dibawah, Utari melihat mama Sukma sedang berbicara dengan dua orang wanita paruh baya dan juga seorang gadis cantik.
Mereka tampak bersemangat menceritakan banyak hal. Saat kedua wanita paruh baya itu melihat Utari, mata mereka seketika menelisik penampilan Utari dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Ini siapa, Mbak?" Salah seorang wanita paruh baya.
"Oh, Tari. Sini, Sayang. Kenalin ini tante Melati, saudara sepupu mama, terus ini putrinya, namanya Kezia. Terus di sebelah tante Melati ada temannya namanya tante Mala."
Utari mengulurkan tangannya hendak bersalaman, tapi tante Melati menolaknya. "Tidak usah terlalu kaku. yang penting kita sudah saling kenal."
Mama Sukma mengeryit kesal. "Tari g perlu salaman, Nak. Kamu masih harus mengurus Nisa, Takutnya malah kamu bawa bakteri ke dalam," kata mama Sukma sarkas.
Melati terlihat tak senang mendengar ucapan mama Sukma, tapi dia hanya bisa menahannya dan tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kakak ini siapa, Tan?" tanya Kezia pada mama Sukma.
"Dia? dia ini anak saya, kenapa memang?"
Kezia mengerutkan keningnya
"Ga mungkin. Kok tante tiba-tiba punya anak sebesar ini? Kita baru ga ketemu selama satu bulan, Tan. Masa iya tiba-tiba punya anak sebenar ini."
"Sebenarnya dia ini calon istrinya Bian," kata mama Sukma, dagunya terangkat ke atas menunjukkan kesombongannya. Kezia yang memiliki perasaan pada Bian seketika mendengar sesuatu yang patah dari hatinya.
"Tante pasti bercanda 'kan?" wajah Kezia juga pucat. Dia tidak bisa menerima jika Bian berjodoh dengan orang lain.
"Hal sepenting ini menurutmu apakah pantas untuk dijadikan candaan?"
Kezia membeku, seketika wajahnya menjadi suram dan menatap Utari dengan aura permusuhan.
utari pokoknya untuk Bian gak boleh sm yang lain 😁
ni karena mau merasakan kekayaan utari makanya di bujuk utari buat rujuk sm si akmal ...
Bagus utari jawaban yang bagus biar kapok tuh si ibu