NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19

Lobi hotel bintang lima itu dipenuhi oleh gemerlap lampu kristal dan aroma parfum mewah yang halus. Renzi baru saja melangkah masuk, matanya yang tajam langsung menyapu ruangan. Seorang wanita dengan gaun merah seksi dan rambut terurai seperti tirai sutra sudah berdiri di dekat pot bunga besar, langsung mendekat begitu melihatnya.

"Mas, kok aku telponin dan WA dari tadi nggak dibales sih?" ujarnya dengan suara manja yang dibuat-buat, tangannya langsung meraih lengan Renzi.

Renzi tersenyum, senyum tipis yang sudah terlatih. "Oh ya? Tapi dari tadi HP aku nggak bunyi." Suaranya lembut, penuh kepura-puraan.

Wanita itu mengerutkan kening cantiknya. "Hah, serius?" Cepat-cepat dia mengeluarkan ponsel dari clutch kecilnya, jari-jari dengan kuku terawat panjang menunjuk ke layar. "Ini, lihat. Bener nomer kamu kan? Udah tiga kali nelpon, lima chat nggak dibales."

Renzi berpura-pura mengecek saku jasnya. Yang dia keluarkan hanya satu ponsel—perangkat resmi untuk bisnis dan keluarga. Perangkat satunya, yang berisi semua kontak "khusus"-nya, tak ada. Ekspresinya tetap tenang.

"HP aku kayaknya ketinggalan di kantor, sayang," ujarnya sambil mengelus pipi wanita itu, sebuah gestur yang terasa kosong.

Wanita itu mendengus. "Huh... pantesan." Ada sedikit kekecewaan di matanya, tapi segera tergantikan oleh senyum genit.

"Tunggu sebentar ya," Renzi berbisik sebelum melangkah menjauh, mencari sudut yang lebih privat.

Begitu agak terpisah, wajahnya yang tadi ramah langsung berubah dingin. Dari saku dalam jasnya, dia mengeluarkan ponsel satunya—perangkat yang bersih, tanpa jejak. Jarinya dengan cepat menghubungi Fano.

Fano baru saja meninggalkan area hotel, mobilnya merayap di antara kemacetan malam Jakarta. Ponselnya bergetar. Begitu melihat nama Renzi, dia segera menerima dengan handsfree.

"Bos?"

"HP gue yang satu itu ketinggalan di kantor.Ambil!" perintah Renzi, suaranya datar tapi penuh tekanan.

"Siap, bos," jawab Fano tanpa bertanya.

Panggilan terputus. Fano menarik napas, lalu segera menekan kontak Pita. Telepon tersambung setelah beberapa dering.

"Kamu masih di kantor, Pit?" tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.

Dari seberang, suara Pita terdengar agak letih. "Iya, ini lagi siap-siap mau pulang."

"Tolong ambilin HP si bos, dong. Di atas mejanya kayaknya. Kalau nggak ada, coba cek di lacinya," pinta Fano. Lalu, dengan nada yang lebih lembut, dia menambahkan, "Nanti kamu tunggu di luar lobi aja kalau udah. Nanti sekalian aku anter kamu pulang."

Ada jeda sebentar sebelum Pita menjawab. Suaranya terdengar lebih cerah. "Oke, Fan!"

Fano mematikan telepon, mata yang tertuju pada jalan di depan mulai menyipit. Dia tahu ponsel khusus Renzi itu bukan sekadar ponsel biasa. Tapi urusan bos adalah urusan bos. Untuk sekarang, tugasnya adalah mengambil dan mengantarkannya—tanpa pertanyaan, tanpa rasa ingin tahu yang berlebihan.

Mobilnya berbelok, meninggalkan lampu-lampu hotel yang gemerlap, menuju kantor yang kini pasti sudah sepi dan gelap, di mana Pita akan mencari ponsel yang mungkin menyimpan banyak rahasia gelap tuannya.

Lima belas menit kemudian, mobil hitam Fano meluncur pelan mendekati lobby utama gedung JMG yang sudah sepi. Lampu-lampu luar gedung menciptakan kolam-kolam cahaya kuning di trotoar. Di bawah salah satu lampu, Pita terlihat berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk menahan dinginnya angin malam, tas kerjanya digenggam erat di depan dada.

Begitu mobil berhenti, Fano membuka kaca jendela. "Pit, ayo..." panggilnya, suaranya terdengar lebih lembut daripada nada biasanya di kantor.

Pita tersenyum lembut, senyum yang sedikit lelah namun tulus. Dengan langkah cepat, dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Kehangatan kabin langsung menyambutnya, kontras dengan hawa dingin di luar.

"Ini HP-nya," ujar Pita sambil mengulurkan ponsel premium itu. "Di atas meja tadi. Persis di sebelah monitor."

Fano menerimanya. Ponsel itu terasa dingin dan padat di telapak tangannya. Tanpa disadari, jempolnya menekan tombol power. Layar menyala, dan segera muncul grid angka putih di atas latar belakang hitam—sebuah kunci pola atau password numerik. Cahaya biru dari layar menerangi sebagian wajahnya yang tiba-tiba menjadi serius.

Matanya menyipit, memperhatikan layar. Jari telunjuk kanannya hampir saja bergerak untuk menyentuh angka-angka itu—4, 7, 2, 1—sebuah kombinasi yang pernah tidak sengaja ia lihat saat Renzi membuka ponselnya dalam rapat singkat beberapa bulan lalu. Tapi kemudian, nalarnya berbicara lebih keras. Dengan gerakan tegas, ia menekan tombol samping lagi, mematikan layar, mengubur kembali cahaya biru itu ke dalam kegelapan.

"Kenapa?" tanya Pita yang memperhatikan dari samping, suaranya polos dan penuh keingintahuan. Matanya yang besar merefleksikan sedikit kecemasan.

Fano meletakkan ponsel di kons tengah dengan agak kasar, seolah barang itu tiba-tiba terasa panas. "Nggak papa," jawabnya singkat, suaranya lebih berat dari yang ia rencanakan. Dia memutar kemudi, mobil mulai bergerak meninggalkan gedung.

"Kita anter HP-nya dulu ke Pak Boss?" tanya Pita lagi, menunjuk ke arah ponsel itu.

Fano menggeleng, matanya tertuju pada jalan di depan. "Nggak. Aku anter kamu pulang dulu aja." Ia jeda sebentar, menelan sesuatu yang mengganjal di kerongkongannya. "Nanti biar aku anter sendiri."

Dalam hatinya, Fano bergumam. Ia tahu apa yang mungkin ada di ponsel itu—jejak-jejak hubungan gelap, percakapan manipulatif, mungkin bahkan bukti-bukti yang bisa menyakiti orang lain. Tapi lebih dari itu, ia baru saja menyadari sesuatu: rasa ingin tahunya yang hampir tak terkendali tadi adalah garis tipis yang tak boleh ia langkahi. Dunia Renzi penuh dengan jebakan, dan satu kesalahan kecil bisa membuatnya terperosok. Malam ini, tugasnya hanya mengantar Pita pulang dengan selamat, lalu mengembalikan ponsel itu kepada bosnya—tanpa pertanyaan, tanpa intip-intip. Itu saja.

***

Setelah makan malam di hotel, gadis pendamping Renzi—seorang model muda bernama Sasha—merengek minta dibelikan tas edisi terbaru dari brand mewah ternama. Renzi, yang pikirannya masih penuh dengan bayangan Karmel, menyetujui dengan setengah hati. Baginya, ini sekadar cara untuk mengisi waktu sebelum malam berakhir.

Mal elit itu berkilauan dengan lampu kristal dan marmer mengilap. Suara langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai mengilap. Renzi berjalan dengan tangan di saku, sementara Sasha menggandeng lengannya dengan girang. Hingga tiba-tiba, dari balik etalase toko perhiasan, Renzi melihat sosok yang membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Karmel.

Dia berdiri di depan toko tas mewah, ditemani Bima. Yang membuat Renzi geram adalah tas-tas belanja yang menggantung di tangan Bima—semua brand mewah yang dulu biasa Renzi belikan untuk Karmel. Lebih lagi, cara Bima menatap Karmel penuh perhatian, dan senyuman lepas Karmel yang jarang dia tunjukkan padanya.

"Cemburu" bukan kata yang cukup menggambarkan apa yang Renzi rasakan. Ini lebih dalam—amarah yang membara, rasa posesif yang gelap, dan keinginan untuk mengacaukan kebahagiaan mereka.

Tanpa disengaja, mereka masuk ke toko tas yang sama. Saat Sasha sedang asyik memilih, matanya tertuju pada sebuah tas mini limited edition yang hanya tersisa satu warna terakhir. Tapi tangannya hampir bersamaan dengan tangan Karmel yang juga meraih tas itu.

"Maaf, ini saya duluan," ujar Karmel tegas.

Sasha memandangnya dengan wajah tak suka. "Mas, aku mau tas ini," rengeknya pada Renzi.

Renzi melangkah mendekat, senyum tipis bermain di bibirnya.

"Saya yakin pacar saya ini yang lebih dulu mengambil tas ini," ujar Renzi dengan nada santai namun penuh tantangan, matanya menatap langsung ke Karmel.

Karmel tak mundur. "Saya yang lebih dulu masuk ke store ini!"

"Itu nggak membuktikan kamu yang lebih dulu nemuin tas ini," balas Renzi dingin, sambil melirik Bima yang mulai tampak tidak nyaman.

Bima meletakkan tangan di bahu Karmel. "Sudahlah, Mel. Tasnya banyak."

Tapi Karmel menggeleng, matanya masih tertuju pada Renzi. Ada sesuatu dalam tatapan mereka—sejarah pahit, sakit hati, dan perlombaan ego yang tak pernah berakhir.

"Nggak bisa, Mas. Aku duluan yang liat!" Karmel bersikeras.

Sales wanita yang berkemeja rapi mendekat dengan senyum profesional. "Begini saja, Bu. Saya akan orderkan lagi seri ini untuk Ibu. Mungkin besok atau lusa."

Karmel menunjuk ke arah Sasha. "Suruh aja dia yang tunggu!"

Sasha segera merajuk. "Nggak mau, Mas. Aku mau sekarang."

Renzi tersenyum, ide muncul di kepalanya. "Cek aja CCTV. Kita bisa liat siapa dulu yang memang menemukan tas ini."

Permintaannya disetujui. Manajer toko membawa mereka ke ruang keamanan. Layar monitor menunjukkan rekaman hitam-putih. Terlihat Sasha masuk lebih dulu, mengambil tas itu, lalu meletakkannya sebentar untuk berfoto dengan model lain. Beberapa menit kemudian, Karmel masuk, melihat tas itu, dan langsung mengambilnya.

Fakta berbicara. Tas itu akhirnya diberikan pada Sasha.

Renzi membayar dengan kartu hitamnya tanpa ragu, tetapi kepuasannya bukan karena bisa memenuhi permintaan Sasha. Kepuasannya datang dari wajah Karmel yang kecewa, dari kemenangan kecil ini dalam perang batin mereka. Saat mereka berjalan keluar toko, Renzi melirik ke belakang, menangkap pandangan Karmel yang masih tertuju padanya—pandangan yang berisi kekalahan, amarah, dan sesuatu yang mirip dengan rasa terluka.

Di dalam mobil, Sasha asyik memamerkan tas barunya di media sosial, tak menyadari bahwa bagi pria di sampingnya, malam ini bukan tentang dirinya sama sekali. Bagi Renzi, ini tentang mengingatkan Karmel bahwa dia masih bisa mengendalikan, masih bisa menang, dan masih bisa menyakitinya—kapanpun dan dimanapun.

1
muna aprilia
lanjut 👍
Forta Wahyuni
hebat Renzi bilang karmel murahan n dia tak tau diri krn tunjuk satu lg menunjuk tepat ke mukanya bahwa dia juga sampah. lelaki jenius tapi burungnya murahan n bkn lelaki yg berkelas n cuma apa yg dipki branded tapi yg didalam murahan. 🤣🤣🤣🤣
Forta Wahyuni
knapa critanya terlalu merendahkan wanita, harga diri diinjak2 n lelakinya boleh masuk tong sampah sembarangan. wanitanya harus tetap nerima, sep gk punya harga diri n lelaki nya jenius tapi burungnya murahan. 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!