Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Smoke, Sirens, and Fury
Seon Ho baru saja hendak menuju toilet, hatinya masih gelisah karena Riin tidak kembali setelah hampir sepuluh menit. Tapi suara ledakan tadi dan alarm yang meraung membuat langkahnya terhenti seketika.
“Sial… apa tadi suara ledakan?” gumamnya, menoleh ke arah ruang editorial. Kemudian ia melihat seseorang setengah berlari ke arahnya.
“Mingyu terluka! Seon Ho-ssi, dia butuh bantuan!” teriak Hye Jin panik.
Tanpa pikir panjang, Seon Ho langsung berlari kembali ke ruang utama, menemukan Mingyu terduduk di lantai dengan lengan yang mulai melepuh.
Hatinya masih sempat mengingat, Riin… Tapi dalam kekacauan ini, ia tak bisa membiarkan Mingyu terluka parah tanpa bantuan. Ia menarik napas panjang, menahan pikiran buruk tentang kemungkinan Riin masih ada di dalam toilet sendirian saat semua orang mulai dievakuasi.
Tanpa pikir panjang, Seon Ho langsung berjongkok di sisi Mingyu. Ia melingkarkan lengan Mingyu ke pundaknya. Meski tubuhnya tidak sebesar Jae Hyun, tenaga Seon Ho terlatih dan cukup kuat untuk memapah pria itu.
Langkah-langkahnya terhuyung, tapi pasti. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan batuk yang mulai naik ke tenggorokan. Panas terasa menjilat dari dinding yang mulai menghitam, dan percikan api kecil terdengar dari ujung koridor.
Mingyu terengah, berat badannya nyaris membuat Seon Ho terjatuh, tapi ia tetap bertahan. “Sedikit lagi, Mingyu. Kita harus keluar... tahan sebentar lagi,” gumamnya pelan, seperti menyemangati dirinya sendiri.
Akhirnya, pintu darurat terlihat. Udara segar yang menampar wajahnya terasa seperti anugerah. Begitu berhasil membawa Mingyu ke luar gedung, Seon Ho nyaris ambruk. Ia menyerahkan Mingyu pada paramedis yang langsung sigap menanganinya.
***
Lampu LED di langit-langit toilet berkedip pelan, menebar cahaya putih yang mulai tercampur bayang asap tipis. Aroma sabun cair yang biasa menenangkan, kini bercampur bau gosong dan plastik terbakar_membentuk wangi yang mengganggu indera penciuman.
Riin membuka pintu bilik dengan tangan gemetar. Suara alarm kebakaran terus memekakkan telinga, dentingannya menusuk kepala dan membuat pikirannya terasa bising. Asap sudah mulai masuk melalui celah bawah pintu, seperti kabut kelabu yang menyusup diam-diam dan menyesakkan napas.
Ia keluar dengan langkah limbung, tenggorokannya terasa kering. Ia terbatuk satu kali, dua kali dan terus berlanjut.
“Ah... sial…” desisnya, suara nyaris hilang ditelan kepulan asap. Pandangannya mulai kabur. Mata terasa perih.
Tenang, Riin. Tenang. Cari jalan keluar.
Tangannya menutup mulut dan hidung dengan telapak tangannya, walau itu tak banyak membantu. Ia mencoba berjalan cepat, tapi tubuhnya seperti mulai memberontak. Perutnya berdenyut lagi_rasa nyeri seperti diremas dari dalam, menjalar hingga ke pinggang dan punggung bawah. Napasnya mulai pendek, bukan hanya karena asap, tapi juga karena rasa sakit yang kian menjadi.
Lorong menuju ruang kerja gelap_lampu sudah padam. Suasana seperti dunia yang ditinggalkan.
“...Halo?” teriaknya, tapi tak ada jawaban. Ruang editorial tempat biasanya belasan orang sibuk mengetik dan berdiskusi kini kosong. Meja-meja ditinggalkan begitu saja. Kursi berputar masih bergoyang_seperti baru saja ditinggalkan.
Riin menelan ludah. Ketakutan mulai mencengkeram dadanya. Ia berjalan cepat ke arah lift, hanya untuk menemukan kenyataan yang lebih menyiksa: sistem lift otomatis sudah dinonaktifkan.
Lampu tombol menyala merah. Mati.
“Tidak… jangan sekarang...”
Ia menoleh, tubuhnya sudah mulai berkeringat dingin. Jalan satu-satunya adalah tangga darurat. Ia menoleh ke kanan, lalu mulai berjalan cepat ke ujung lorong, di mana pintu tangga darurat berada. Langkahnya goyah.
Jangan jatuh. Jangan pingsan. Kau pasti bisa, Riin.
Perutnya mencengkeram lebih kuat. Ia terhuyung, satu tangan berpegangan pada dinding, tapi akhirnya ia berhasil mencapai tangga darurat.
***
Udara siang hari yang panas bercampur bau asap dan kepanikan. Suara sirine masih terdengar dari kejauhan, perlahan mendekat. Lobi yang biasanya sejuk dan bersih kini kacau_orang-orang berdiri bergerombol, beberapa duduk di trotoar dengan wajah pucat, masker menutupi mulut, dan mata mereka yang memerah karena asap.
Seorang petugas keamanan mencoba mengatur situasi, sementara beberapa staf medis dari klinik gedung memberikan pertolongan pertama kepada pegawai yang terluka ringan. Salah satunya, Mingyu_terduduk bersandar di dinding dengan pergelangan tangan yang dibalut perban, wajahnya masih pucat karena syok.
Ketika mobil hitam berhenti mendadak di depan lobi dan pintu terbuka, seorang pria dengan jas hitam dan ekspresi dingin segera turun. Jae Hyun. Langkahnya panjang dan cepat, penuh tekanan. Matanya menyisir kerumunan seperti elang, mencari sesuatu_atau seseorang.
“Shin Ah Ri!” serunya begitu melihat sang sekretarisnya berdiri tak jauh dari ambulans.
Ah Ri menoleh dengan napas terengah, rambutnya berantakan, dan ekspresi tegang. “Sajangnim!”
“Apa yang terjadi?” tanyanya cepat, suaranya rendah tapi sarat ketegasan.
Ah Ri menarik napas, mencoba merangkum kekacauan dua puluh menit terakhir. “Salah satu alat pemanas resin_di ruang percetakan digital. Hye Jin mengaktifkannya saat belum dicek sepenuhnya. Ada error di sirkuit. Ia minta Mingyu bantu. Tapi bukannya membaik, malah terjadi korsleting_alatnya meledak kecil, api sempat menyambar tirai pelindung mesin. Alarm langsung aktif. Kami evakuasi secepatnya.”
Jae Hyun mengangguk singkat. Matanya kini tertuju pada Mingyu yang sedang diperiksa.
“Dia mengalami luka bakar ringan di tangan. Tapi… dia pingsan sesaat karena kena semburan panas,” lanjut Ah Ri, suaranya sedikit bergetar.
Mata Jae Hyun kembali menyapu area. Raut wajahnya tidak berubah, tapi sorot matanya mulai menggelap. "Lalu bagaimana keadaan Riin sekarang? Dia masih berada di apartemenmu, kan?"
Ah Ri membeku. “Riin...?” gumamnya, seolah baru tersadar sesuatu yang amat penting. Tiba-tiba kepanikan menjalari wajahnya. “Oh Tuhan…”
Jae Hyun melangkah cepat ke arahnya, wajahnya kini berubah total. Tegas, tapi juga mulai kehilangan kendali. “Kim Seon Ho, dimana dia?” tanyanya tajam.
“Mungkin dia bersama Riin… mungkin...” Ah Ri sudah setengah berlari ke arah sisi ambulans, di mana Seon Ho masih duduk di trotoar mendampingi Mingyu.
“Seon Ho-ssi!” teriak Ah Ri, suaranya serak.
Seon Ho menoleh, ekspresinya penuh kelelahan. “Ya?”
“Riin... kau lihat Riin?!” desaknya, suara tinggi karena panik.
Wajah Seon Ho langsung berubah. “Sial…” gumamnya, menepuk dahinya sendiri. “Aku... aku tadi berniat mencarinya. Terakhir dia bilang hendak ke toilet. Dan setelah ledakan itu terjadi, aku bermaksud menolong Mingyu lebih dulu lalu menemui Riin di toilet, tapi... astaga... bagaimana aku bisa melupakan Riin?! Ah Ri-ssi, Riin pasti masih berada di dalam toilet!"
Mata Ah Ri membelalak. “Tidak!”
Seon Ho langsung berdiri. “Aku harus ke dalam! Aku harus menyelamatkannya!”
“TIDAK ADA YANG BOLEH MASUK!” bentak petugas keamanan, menghentikan langkah Seon Ho yang hendak menerobos.
Jae Hyun yang sejak tadi diam langsung berjalan maju, menatap petugas dengan tajam. “Aku Cho Jae Hyun. CEO perusahaan ini. Jika kau mau kehilangan pekerjaan, silahkan halangi aku.”
Tanpa menunggu izin dari siapapun, Jae Hyun berjalan melewati mereka, wajahnya gelap, langkahnya seperti menyayat tanah. Ah Ri hendak menahannya, tapi Seon Ho menahan lengan wanita itu.
Ah Ri memandang ke arah pintu gedung yang masih dijaga ketat, tapi tak bisa menahan desakan rasa bersalah yang menyesakkan dada. “Astaga... jika terjadi sesuatu pada Riin…”
Seon Ho diam. Ia menatap langit, lalu menunduk, meninju pahanya sendiri karena frustrasi. Hatinya berdebar hebat. Di satu sisi ia ingin menyusul, tapi di sisi lain ia tahu: bukan dirinya yang berhak untuk menolong gadis itu.
***