Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
" Paris Kota Cahaya "
Restoran di atas Tour Montparnasse
Malam Paris berkilau seperti laut cahaya. Dari ketinggian menara Montparnasse, kota itu tampak kecil, jinak, dan nyaris tidak nyata. Tapi bagi Johan dan Liana, malam itu terasa sangat nyata.
Mereka duduk di dekat jendela kaca raksasa. Di bawah sana, sungai Seine berkelok anggun, jalanan bercahaya, dan Menara Eiffel berdiri megah seperti pelindung malam.
Liana tampak berbeda. Bukan karena gaun hijau zamrud pemberian Pierre—yang entah kenapa pas sekali di tubuhnya—tapi karena caranya menatap lampu-lampu itu. Seolah dia belum sepenuhnya percaya sedang ada di atas sana. Seolah masih mengira ini semua mimpi, dan ketika bangun, dia akan kembali ke hutan, mendengar suara burung dan deru sungai.
“Jo,” bisiknya, sambil menyentuh kaca, “aku pernah berdiri di pohon paling tinggi di belakang bukit, tapi dari atas sini… rasanya kayak kita lagi ngintip kehidupan.”
Johan menatapnya, diam. Tak ingin memotong kalimat yang begitu jujur dan anehnya, dalam.
“Aku kira kota itu cuma bising, ramai, dan palsu. Tapi dari atas sini, dia kayak—” Liana berhenti. Mencari kata. “—kayak orang yang tidur setelah nangis. Tenang, tapi sebenarnya rapuh.”
Johan tersenyum. “Kamu puitis juga, ya.”
“Aku gak puitis. Aku cuma ngomong apa yang aku rasa.”
Pelayan datang membawa menu. Liana menatap daftar makanan seperti sedang membaca tulisan aksara kuno di daun lontar.
“Jo… ini tulisannya kayak mantra kuno. Jangan-jangan nanti aku nyebut salah, malah manggil iblis.”
Johan terkekeh. “Tenang. Aku pesenin. Tapi jangan salahin aku kalau rasanya aneh.”
“Aku gak takut rasa aneh,” katanya cepat. “Aku cuma takut makan sesuatu yang ternyata bekicot dibalut selimut saus yang di masak oleh bang Broto dulu.”
“Itu malah spesial di sini.”
Wajah Liana langsung panik. “JO!”
Johan tertawa. “Bercanda.”
Liana mencubit lengan Johan. Bukan lembut. Sakit beneran.
“Nanti kamu aku ajarin lempar pisau beneran, baru tahu rasa,” desisnya pelan.
Makan malam datang. Liana menatap makanannya sejenak, mencium aromanya seperti hewan liar menilai buah yang belum dikenalnya. Lalu ia mencicipi perlahan… dan matanya langsung membulat.
“Jo…”
“Hm?”
“Ini… ini enak banget. Rasanya kayak hutan yang lagi musim bunga, seperti diolah sama ibu angkatku dahulu.”
Johan ngakak. “Perumpamaanmu bisa masuk buku kuliner internasional.”
Mereka makan sambil tertawa. Tidak ada kesan mewah berlebihan. Hanya dua orang dengan dunia yang sangat berbeda, tapi nyambung di titik paling manusiawi: rasa kagum yang polos.
Sampai kemudian, saat pelayan datang dengan dua gelas wine, Liana menolak halus.
“Air putih aja. Kalau ini bikin pusing, nanti aku malah bilang cinta beneran.”
Johan nyaris tersedak. "Dari mana kamu belajar tentang kata cinta ?"
" si Putri yang ngasih tahu"
“Dan kamu jangan mabuk juga,” lanjut Liana. “Aku gak mau kamu tiba-tiba ngajak nikah terus besok pagi ngaku gak inget apa-apa.”
Johan tidak bisa berkata-kata.
Liana menyandarkan punggung ke kursi, menatap Menara Eiffel yang mulai berpendar.
“Jo…” suaranya pelan.
“Hm?”
“Di tempatku dulu, kalau malam kayak gini, aku duduk di atas pohon sendirian, lihat bulan. Tapi gak pernah kepikiran… bahwa di sisi lain dunia, bulan yang sama bisa ditemani cahaya kayak gini.”
Johan diam, lalu berkata pelan, “Malam ini kamu gak sendiri.”
Liana menoleh, menatap Johan. Dalam, jernih, tenang.
“Aku tahu.”
Dan malam itu, tak perlu dansa. Tak perlu musik. Mereka hanya duduk di pinggir dunia, memandang malam, dan tahu—tanpa perlu mengucap—bahwa jarak antara hati mereka kini hanya seujung jari.
Paris, pagi hari.
Sinar matahari menembus tipis tirai jendela hotel. Kota ini belum sepenuhnya terbangun, tapi Johan sudah berdiri di depan cermin, merapikan dasinya. Jas abu tua, dasi biru tua, dan ekspresi yang… tidak sepenuhnya tenang.
Ini pertemuan penting. Investor dari Swiss, tim kreatif dari Paris, dan tentu saja Pierre yang sudah 30 menit lalu mengirim pesan, “Don’t be late. I polished your name like my shoes.”
Dari kamar sebelah, terdengar suara air mengalir. Liana sedang mandi.
Johan sempat melirik ke arah pintu yang menghubungkan dua kamar itu.
Ia menarik napas panjang.
“Konsentrasi, Jo. Ini bisnis. Bukan drama romantis,” gumamnya pada bayangan sendiri.
Beberapa menit kemudian, ia pamit. “Li, aku berangkat dulu ya. Sarapan di lounge lantai bawah, enak banget katanya.”
Suara dari dalam kamar mandi menjawab, “Oke! Jangan lupa cium tangan Pak Investor ya!”
Johan geleng-geleng kepala sambil terkekeh.
Ruang rapat, lantai 1.
Ruangannya luas. Meja oval dari kayu walnut, kaca besar memperlihatkan lanskap kota. Semua orang terlihat rapi, kaku, dan penuh strategi.
Pierre sedang mempresentasikan laporan market Asia saat pintu ruang rapat tiba-tiba terbuka.
Semua menoleh.
Dan di sanalah dia—Liana.
Rambut setengah basah, hoodie kebesaran warna mustard, celana kain longgar, dan… sandal hotel.
“Eh…” Ia celingukan sebentar. “Ini bukan restoran ya?”
Pierre nyaris menjatuhkan pointer presentasi-nya. Johan langsung berdiri. “Liana?!”
Liana menatapnya, nyengir lebar. “Jo! Aku kira ini tempat sarapan. Tadi lift-nya kebuka di lantai ini, terus aku pikir ya udah, ikut orang-orang berdasi aja.”
Johan setengah bingung, setengah geli.
Investor dari Swiss yang sejak tadi duduk diam, justru tertawa kecil. “Who is she?”
Johan menoleh ke mereka, lalu menarik napas. “She’s… my travel partner. First time in Paris. And apparently, in a board room.”
Pierre cepat-cepat berdiri. “Maybe we take five minutes break, oui?”
Liana berjalan ke Johan. “Salah ruangan ya? Tapi kayaknya kamu bakal bosan banget di sini. Semua orang keliatan kayak mau negosiasi planet Mars.”
Johan menahan tawa. “Kamu udah jadi berita utama hari ini.”
Liana melirik investor tadi, lalu menatap satu perempuan berkacamata yang duduk di sudut. “Kamu juru masaknya? Mukanya yang paling gak stres di ruangan ini.”
Semua orang tertawa berkat terjemahan kata oleh Pierre.
Termasuk si investor Swiss. Ia berdiri, menyalami Liana. “You brought a fresh wind to this room, young lady.”
Liana menjabat tangannya, lalu dengan wajah polos bertanya, “Ini semua beneran kerja, atau pura-pura penting aja biar bisa makan siang gratis?” ucap Liana dalam bahasa inggris.
Investor itu ngakak. Johan langsung meraih lengan Liana, membawanya keluar pelan-pelan. “Udah cukup bikin kehebohan hari ini.”
Sebelum pintu ditutup, Liana menoleh ke ruangan dan berkata, “Selamat rapat! Jangan lupa minum air, biar gak keriput mikirin angka!”
Luar ruang rapat.
Mereka berdiri di lorong, cahaya matahari masuk dari dinding kaca.
Johan memandang gadis di sampingnya—sandal hotel, hoodie, dan semua ketidaksengajaan yang selalu terasa… tepat.
“Kamu tahu nggak, kamu baru aja nyelametin aku.”
“Dari apa?”
“Dari rapat yang nyaris bikin aku lupa caranya ketawa.”
Liana mengangkat alis. “Kamu butuh cuti. Ayo kita keliling Paris.”
“Pakai sandal hotel gitu?”
“Kenapa nggak? Sandal ini udah menginjak ruang rapat perusahaan internasional. Harusnya masuk museum.”
Johan tertawa. “Kamu bahaya, tahu nggak?”
Liana mengedip. “Bahaya kalau disuruh diem. Tapi kalau ngajak jalan? Aku ahli.”
Paris, siang hari.
Liana melangkah keluar dari hotel dengan langkah ringan. Hoodie sudah diganti dengan jaket krem sederhana, rambut dikuncir seadanya, dan ransel kecil di punggung. Tapi sandal hotel masih menempel manis di kakinya. Katanya, “Biar Paris tahu aku dari hutan.”
Johan, yang baru saja turun dari lift usai menyelesaikan rapat, meliriknya dan mendesah. “Beneran kita keliling kota begini?”
“Kamu butuh detoks dunia bisnis. Percaya deh.”
Liana menarik tangan Johan, dan sebelum sempat protes, mereka sudah berada di stasiun metro bawah tanah. Tiket dibeli oleh Liana dengan bantuan anak muda lokal yang ia panggil “Uda uda Paris”, karena katanya rambutnya mirip tukang parkir dikota Padang yang kebarat-baratan.
Dalam metro.
Mereka berdiri berdempetan di antara turis dan pekerja lokal. Liana menatap semua orang dengan mata penasaran. “Orang Paris kalau di kereta mukanya kayak mau ikut lomba tahan senyum.”
Johan tertawa. “Bukan tahan senyum. Mereka cuma hemat ekspresi.”
“Kalau di pedalaman pemukiman bukit barisan, orang yang diem gitu biasanya lagi nyiapin serangan,” bisik Liana serius.
Seorang nenek di kursi seberang tersenyum pada mereka. Liana membalas dengan melambai dan berkata, “Bonjour, Grandma!”
Tepi sungai Seine.
Mereka duduk di bangku batu, tangan Liana memegang crepe cokelat yang baru dibeli dari kios kecil di pinggir jalan. Di depannya, air mengalir tenang, dan perahu wisata melintas lambat, membawa gelombang cerita dari dunia yang berbeda.
Liana menggigit crepe-nya, lalu menoleh ke Johan. “Kamu tahu gak… air di sungai ini mirip hatiku.”
Johan menatapnya. “Kenapa?”
“Karena ngambangin hal-hal yang belum selesai.”
Hening sejenak.
Johan menatap air itu. Lalu pelan berkata, “Aku juga, Li. Hatiku juga belum selesai.”
Liana memiringkan kepala. “Sama siapa?”
Johan tidak langsung menjawab. Ia menatap jauh ke arah langit Paris yang perlahan memucat senja.
“Sama diriku sendiri,” ujarnya akhirnya. “Sama luka yang nggak pernah benar-benar sembuh. Sama pertanyaan yang nggak pernah dapat jawaban.”
Liana tidak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangannya sendiri. Lama.
Lalu ia meletakkan sisa crepe-nya, berdiri, dan membuka tangannya ke arah angin.
“Ayo lari.”
Johan menatapnya, bingung. “Ke mana?”
“Kita ke Menara Eiffel. Tapi lari. Kayak di film yang baru aku tonton kemarin karena .”
"Karena tahu mau ke Paris, Lia banyak menonton film yang berlatar dikota paris"
“Liana…”
“Jo, kadang yang sembuh itu bukan karena kita duduk dan mikir. Tapi karena kita lari. Lari yang bukan untuk kabur, tapi untuk merasa hidup.”
Dan tanpa menunggu jawaban, Liana mulai berlari kecil menyusuri jalan berbatu di sepanjang sungai.
Johan berdiri, setengah tertawa, setengah kalah.
Lalu ia ikut berlari.
Menara Eiffel, menjelang malam.
Napak tilas langkah mereka berhenti di taman terbuka. Menara Eiffel menjulang, mulai menyala pelan-pelan seperti bintang besar yang turun dari langit. Liana duduk di rumput, nafasnya masih tersengal. Johan duduk di sampingnya, wajahnya merah karena kelelahan.
Tapi ada sesuatu yang berubah.
Mereka tidak bicara.
Hanya duduk. Menatap cahaya.
Dan ketika menara itu berkedip pelan, seperti mengedipkan mata pada malam, Johan perlahan berkata:
“Kalau malam ini dunia berhenti… aku gak apa-apa.”
Liana menoleh. “Kenapa?”
“Karena aku akhirnya tahu… aku masih bisa bahagia.”
Liana tidak menjawab. Tapi ia bersandar ke pundak Johan. Diam-diam. Ringan sekali.
Dan saat itu, tak ada kata yang bisa mengalahkan diam mereka.
Karena di dunia yang ribut dan terburu-buru ini…
kadang, dua orang hanya perlu berhenti.
Untuk merasa… pulang.
Kerena sudah menemukan rumahnya.