Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
“Aku tidak memaksamu, Aluna,” bisik Zayyan, lebih untuk menenangkan gadis itu daripada untuk menjawab wanita itu. “Tapi kau berhak memilih hidupmu sendiri.”
"Pilihan?" sergah ibu angkat Aluna, nadanya mencemooh.
“Pilihan apa? Anak ini bahkan tidak bisa hidup tanpa belas kasihan orang lain! Tanpa aku, dia tidak akan menjadi apa-apa!”
Kalimat itu—seperti cambuk yang menghantam telinga Aluna.
Tubuh mungilnya bergetar halus.
“Jika kau pergi bersamanya, Aluna,” suara ibu angkatnya menjadi rendah, licik, menusuk seperti racun, “kau akan membuktikan satu hal—bahwa kau adalah anak yang tidak tahu berterima kasih kepada orang yang sudah membesarkan mu selama ini.”
Aluna menunduk. Matanya memejam erat, seolah ingin menahan dunia agar berhenti berputar.
“Selama ini,” lanjut wanita itu, suaranya dingin, “aku memberimu tempat berteduh. Makanan. Pendidikan. Dan inikah balasanmu? Mengkhianati keluargamu sendiri untuk pria asing yang baru kau kenal?”
Zayyan melangkah maju, berdiri di antara Aluna dan wanita itu.
"Jangan berani lagi menanamkan rasa bersalah ke dalam dirinya," suaranya kini lebih dalam, bergetar oleh emosi yang tak lagi bisa ia bendung. “Kau tidak berhak.”
Ibu angkat Aluna mendengus. “Aku tidak peduli siapa kau! Aku memperingatkan mu untuk segera pergi dari sini sebelum aku memanggil petugas keamanan disini.”
Suasana malam semakin tegang.
Angin terasa semakin dingin setelah hujan deras reda beberapa saat yang lalu, menambah berat udara yang sudah penuh ketegangan.
Aluna berdiri di tengah-tengah mereka—dua dunia, dua pilihan.
Matanya menatap Zayyan.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada seseorang yang tidak meminta, tidak memaksa—hanya menawarkan tangan dan kesempatan untuk memilih.
Dan di sisi lain, wanita yang selama ini mengaku sebagai keluarganya, namun tak pernah sungguh-sungguh memberikan kasih yang seharusnya.
“Aku...” suara Aluna pecah.
Ia memandang bekas cincin di jari manisnya—bekas cengkeraman kasar Niko yang tadi memaksanya untuk segera memberikan cincin pertunangan mereka kepadanya.
Aluna mengingat kembali tentang hinaan, tentang tawa ejekan, tentang kata-kata yang mengiris lebih tajam dari pisau yang dilontarkan oleh orang orang terdekatnya.
Ia terisak sekali lagi. Tapi kali ini, bukan karena kelemahan.
Kali ini, ada sesuatu dalam dirinya yang bangkit.
Keberanian.
Keberanian untuk memilih dirinya sendiri.
“Aku... aku ingin pergi.” bisiknya.
Ibu angkat Aluna melotot marah. “Apa?! Apa kau bilang barusan? Kau ingin pergi?!" Tanya ibu angkat Aluna dengan nada tinggi.
"Iya ibu, aku ingin pergi dari rumah ini dan juga semua orang yang tidak peduli padaku." ucap Aluna yang suaranya terdengar bergetar karena beban yang selama ini dirasakannya.
"Kau benar-benar tidak tahu diri! Kau tidak akan pernah diterima kembali di rumah ini jika kau pergi dari sini, Aluna!”
Aluna menutup matanya, menghirup napas panjang.
Saat ia membuka matanya lagi, ada sesuatu yang berbeda di sana.
Keteguhan.
"Aku tahu," jawabnya, suaranya pelan namun mantap. "Tapi aku tidak ingin kembali ke tempat di mana aku hanya dihargai ketika aku patuh."
Zayyan melangkah ke samping Aluna, tanpa berkata apa-apa, hanya menawarkan kehadirannya sebagai perlindungan.
Untuk pertama kalinya, Aluna merasa ada seseorang yang akan berdiri di sisinya—tanpa syarat.
“Kalau begitu, pergilah!” seru wanita itu dengan suara tinggi, penuh amarah dan rasa tertinggal.
Tanpa menoleh lagi, Aluna melangkah maju.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah meninggalkan semua luka masa lalunya di belakang.
Tapi ia tidak berhenti.
Zayyan berjalan di sisinya, diam-diam menyelaraskan langkah mereka.
Saat ia melirik ke arah Aluna, ia melihat sekilas—di balik air mata yang masih menggenang—sebuah cahaya kecil yang perlahan menyala.
Harapan.
Malam itu, di bawah langit yang akhirnya mulai meneteskan gerimis halus, Aluna berjalan pergi dari rumah yang selama ini menjadi neraka baginya.
Menuju sesuatu yang tak pasti.
Menuju kehidupan baru.
Tapi untuk pertama kalinya, ia memilih jalannya sendiri.
Dan itu cukup.
Itu lebih dari cukup.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/