Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
"Nara sepertinya kita harus segera kembali ke Jakarta", ucap Vian tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sejak tadi ia mainkan. Nara yang tengah mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas segera mematikan hairdryer nya dan menoleh ke asal suara.
"Kapan kita berangkat Mas?".
"Siang ini Nar".
"Siang ini?", gumam Nara dengan suara pelan.
Vian tahu jika Nara pasti masih merasa rindu terhadap Ibunya namun mau bagaimana lagi, Papa Agam memintanya untuk segera pulang karena ada sesuatu yang membutuhkan seorang Vian untuk menanganinya. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Nara dan mengambil alih mesin pengering rambut itu dari tangan gadis itu.
"Kita bisa mengajak Ibu Nar untuk ikut tinggal bersama kita".
"Mas Vian serius?".
"Tentu saja".
Klik, Vian kembali menghidupkan mesin hairdryer lantas mengarahkan mesin itu ke rambut Nara, sensasi hangat serta belaian tangan Vian pada rambutnya membuatnya tersipu.
"Baiklah jika begitu, kita pulang ke rumah Ibuku dulu ya Mas".
Vian mengangguk sebagai jawaban. Selanjutnya Nara dan Vian menyiapkan semua barang bawaan mereka yang hendak mereka bawa pulang ke rumah. Tidak banyak barang yang ia bawa, hanya beberapa setel baju dan juga oleh-oleh yang kemarin ia beli saat jalan-jalan di Malioboro.
Saat Vian dan Nara turun dari mobil bersamaan itu pula Bu Murni yang hendak pergi ke sawah keluar dari rumah. Mereka pun saling tak menyangka. Nara segera berlari ke arah sang Ibu dan memeluknya. Vian yang menyusul dari belakang segera mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan disambut baik oleh Bu Murni.
"Masuk Nak, masuk, baru saja Ibu mau ke sawah, eh kalian malah sudah pulang".
Dengan senyum yang merekah Bu Murni mengajak anak serta menantunya itu ke dalam rumah. Tidak lupa Vian juga membawa barang bawaannya berupa oleh-oleh dan memberikannya kepada Bu Murni.
"Banyak sekali, apa ini Nak Vian?".
"Oh itu Nara yang beli Bu", jawab Vian.
"Tidak Bu, Mas Vian yang beliin, soalnya pakai uangnya Mas", imbuh Nara di sertai dengan cengiran. "Ada baju daster sama bakpia juga, beli di pasar Beringharjo kemarin Bu. Buat Ibu, sama nanti bisa Ibu bagikan ke Budhe sama tetangga lainnya Bu", imbuh Nara.
"Terimakasih banyak ya Nak, padahal oleh-oleh yang kemarin masih banyak".
"Tidak apa-apa Bu".
Nara pun mulai menyampaikan niatnya pulang ke Jakarta dengan mengajak Ibunya bersamanya.
"Bagaimana Bu? Apa Ibu mau tinggal bersama kami di Jakarta?".
Bu Murni tersenyum, dengan cepat dan tanpa berpikir lama Bu Murni menggeleng. "Ibu tidak bisa Nara".
"Tidak bisa, kenapa Bu?".
"Kamu tahukan rumah ini penuh dengan kenangan Ibu di masa muda begitu juga dengan kenangan masa kecilmu hingga sebesar ini di sini. Lagi pula ibu masih memiliki hewan ternak dan juga sawah yang harus Ibu urus. Maafkan Ibu ya tetapi Ibu akan tetap tinggal di sini".
Wajah Nara terlihat sedih, bukankah ia bisa membahagiakan Ibunya sekarang, dia sudah menikah dan suaminya adalah orang kaya yang tentunya bisa menghidupi dirinya serta orang tuanya. Vian yang melihat perubahan raut wajah dari istrinya segera meraih tangan Nara dan menggenggamnya.
"Itu sudah pilihan Ibu, lagi pula kita masih bisa mengunjunginya setiap saat Nar".
"Benar kata Nak Vian, kalian bisa datang kapanpun kalian mau kemari. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk kalian pulang", sambung Bu Murni.
Nara pun hanya bisa mengangguk dengan keputusan sang Ibu walaupun cukup kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan, namun Nara juga tidak mungkin memaksanya.
"Lalu kapan kalian akan berangkat?".
"Siang ini Bu", jawab Vian.
Tidak ingin memakan waktu lama dan juga lelah dalam perjalanan Vian memilih kembali ke Jakarta dengan menggunakan jalur udara. Nara sempat ragu dan takut karena jujur saja ini adalah kali pertama ia menaiki pesawat. Namun Vian yang terus meyakinkannya dan akan selalu berada disisinya, akhirnya membuat Nara memutuskan untuk mencoba. Perjalanan udara yang di tempuh hanya memerlukan waktu singkat yakni sekitar satu jam lebih lima belas menitan untuk sampai.
Laki-laki berkacamata hitam dengan setelan kemeja dan celana kain hitam turun dari pesawat dengan menggandeng seorang gadis yang mengenakan dress selutut. Siang yang terik dari sinar matahari begitu terasa saat keduanya turun dari pesawat. Nara membalas senyum staff bandara yang mengatupkan tangannya menyambut kedatangan mereka, sedangkan Vian hanya diam sambil terus berjalan dengan menggandeng tangan istrinya.
Saat sampai di depan bandara kedatangannya pun sudah di sambut oleh beberapa orang yang dengan sigap menundukkan kepalanya hormat. Hal itu pun menjadi sorotan dari beberapa orang yang melihatnya.
"Selamat datang Bos", sapa hormat dari salah satu di antaranya. Dia adalah Arland yang sudah berdiri menyambut kedatangan Bosnya, di ikuti oleh beberapa pengawal berseragam lengkap bersamanya.
"Arland?", ucap Vian memastikan.
"Benar Bos, asisten anda Arland", ulang Arland memperkenalkan dirinya. Sejak awal laki-laki itu sudah mengetahui tentang kondisi Vian yang tengah mengalami amnesia, karena tepat setelah kejadian kecelakaan itu Papa Agam mempercayakan pekerjaan Vian di handle olehnya.
Vian mengangguk, ia menggandeng tangan Nara dan berjalan mendahului Arland. Dengan sigap bawahannya yang lain membukakan pintu mobil yang langsung di masukin oleh kedua pasangan itu.
"Seberapa kaya kamu Mas? Mobil mewah dan banyak orang yang mengawal mu. Aku seperti menikahi anak seorang Raja", batin Nara yang kemudian lamunannya di buyarkan oleh Vian yang menggenggam tangannya.
"Kenapa diam saja?", tanya Vian yang sejak tadi penasaran dengan sikap Nara yang banyak diam sejak keluar dari bandara.
"Eh, tidak ada Mas".
Vian memperhatikan raut wajah Nara, matanya melirik ke sekitar mengikuti arah pandang gadis itu.
"Apa kau tidak nyaman dengan keberadaan mereka? Jika iya aku akan meminta mereka untuk keluar".
Di dalam mobil memang bukan hanya ada Vian dan Aya melainkan Arland dan seorang sopir di depan sementara di kursi bagian belakang juga dua pengawal berada disana.
"Hah?".
"Maaf Bos jika saya menolak, saya di perintahkan oleh Tuan besar untuk bersama anda", sahut seorang pengawal yang tengah menyetir mobil dengan cepat sebelum Nara sempat memberikan jawabannya.
"Hentikan mobilnya".
Tanpa banyak bertanya, sopir itu menepikan mobilnya dan berhenti di pinggir jalan.
"Siapa yang memintamu untuk bicara, hah? Keluar sekarang!", ucap Vian pelan namun tersirat ketegasan.
"Tetapi Bos, Tuan Agam mempercayakan keselamatan anda pada kami", ucap pengawal itu yang masih berusaha meyakinkan Vian jika dia masih di perlukan disini, sementara Arland yang duduk di sebelahnya pun hanya bisa menelan ludahnya dengan susah payah.
"Cari mati, kenapa masih mendebatnya? bukan berarti saat Bos kehilangan ingatan sifat pemarahnya juga ikut menghilang, dasar bodoh", batin Arland, ia masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Cukup, saya bilang keluar".
"Bos saya-".
"KELUAR!", ucap Vian yang sudah kehilangan kesabaran, laki-laki itu tiba-tiba saja menendang jok depan dengan kakinya.
Kejadian itu cukup membuat Nara yang melihatnya terkejut, gadis itu reflek meremas tangan Vian yang menggenggamnya membuat yang punya tersadar dan menatap Nara.
“Nara”.
"Ah, maaf Mas, aku hanya kaget".
"Maafkan aku, apa aku menakutimu?". Nara tidak menjawabnya namun dari raut wajah gadis itu, Vian tahu jika itu benar. "Maafkan aku Nar, entah mengapa aku jadi emosi saat ada seseorang yang mengganggu kita bicara. Jangan takut maafkan aku". Vian mengulurkan tangannya mengusap pipi Nara dengan lembut. Melihat wajah yang Vian tulus membuat Nara tersenyum walaupun sedikit memaksa, rasa takutnya masih ada.
Arland segera memerintahkan ketiga pengawal itu untuk keluar sebelum Vian semakin murka, dan Arland sendirilah yang akan menyetir mobilnya.
"Lain kali jika ingin memberikan pengawalan lakukan dengan mobil yang terpisah".
"Baik Bos, itu semua Ayah anda yang memerintahkannya, mengingat jika anda pernah di celakai oleh seseorang membuat Tuan Agam begitu mengkhawatirkan anda dan membuat pengamanan ekstra untuk anda".
Vian mengangguk mengerti namun seharusnya orang tuanya tidak perlu mengkhawatirkannya secara berlebihan.