Safira Maharani hanyalah gadis biasa, tetapi nasib baik membawanya hingga dirinya bisa bekerja di perusahaan ternama dan menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO.
Suatu hari Bastian Arya Winata, sang CEO hendak melangsungkan pernikahan, tetapi mempelai wanita menghilang, lalu meminta Safira sebagai pengantin pengganti untuknya.
Namun keputusan Bastian mendapat penolakan keras dari sang ibunda, tetapi Bastian tidak peduli dan tetap pada keputusannya.
"Dengar ya, wanita kampung dan miskin! Saya tidak akan pernah merestuimu menjadi menantu saya, sampai kapanpun! Kamu itu HANYA SEBATAS ISTRI PENGGANTI, dan kamu tidak akan pernah menjadi ratu di istana putra saya Bastian. Saya pastikan kamu tidak akan merasakan kebahagiaan!" Nyonya Hanum berbisik sambil tersenyum sinis.
Bagaimana kisah selanjutnya, apakah Bastian dan Safira akan hidup bahagia? Bagaimana jika sang pengantin yang sebenarnya datang dan mengambil haknya kembali?
Ikuti kisahnya hanya di sini...!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
...***...
"Apa katamu? Mami picik...? Sadar Bastian...! Kamu itu telah dibutakan oleh cintamu pada perempuan kampung yang miskin ini. Dia pasti menggunakan cara licik untuk me---"
"Cukup, Nyonya...!" Suara lantang Safira menghentikan ucapan Nyonya Hanum, serta membuat mereka yang berada di dalam ruang makan itu terperanjat dan menatap ke arahnya.
"Maaf, jika saya lancang. Tapi tuduhan Anda sangat tidak mendasar. Perlu saya tekankan bahwa saya tidak pernah berniat sekalipun menggoda apalagi meminta Tuan Bastian untuk menikahi saya." Safira terdiam beberapa saat seraya menatap tajam ke arah Nyonya Hanum.
"Saya sangat menghormati Tuan Bastian sebagai atasan saya di kantor. Dan saya tidak punya waktu untuk melakukan hal kotor seperti yang Anda tuduhkan, bahkan berpikir pun tidak pernah terlintas dalam benak saya. Karena semasa hidupnya orangtua saya mengajarkan pondasi agama yang kuat sebagai pedoman hidup saya. Permisi...!" sambungnya, lalu Safira meraih tasnya dan pergi berlalu dari sana.
"Sudah puas, Mami membuat kekacauan di dalam rumahtanggaku?" kesal Bastian.
"Aku mohon, Mi...! Hentikan sikap Mami yang sangat keterlaluan ini! Aku mencintai Safira, bahkan ketika dia masih menjadi karyawan magang di perusahaan. Pembawaannya yang tenang dan cerdas juga pribadinya yang rendah hati, itulah yang membuatku mengaguminya dan jatuh cinta padanya." Bastian berkata dengan menghiba.
"Aku ingin hidup tenang bersama orang yang aku cintai, dan membangun keluarga yang bahagia. Jadi tolong, jangan merecoki rumah tangga kami, kalau Mami masih ingin aku menghargai Mami, karena aku pun tidak ingin menjadi anak yang durhaka." Selesai berkata Bastian pergi begitu saja tanpa pamit.
Nyonya Hanum menatap kepergian Bastian dengan tangan terkepal. "Aaagghhh...kurang a*ja*r*! Semenjak kehadiran perempuan kampung yang miskin itu, kamu jadi berani membantah sekarang, Bastian!" geramnya dengan muka penuh amarah.
Ingin rasanya Nyonya Hanum melemparkan apa saja yang ada di dekatnya. Namun rupanya secara diam-diam Mbok Rum dan yang lainnya telah memindahkan segala sesuatu yang bisa merugikan, termasuk makanan hasil masakan Safira ke tempat yang aman. Mereka tidak ingin makanan yang tidak berdosa, menjadi sasaran amukan majikannya yang berada dalam emosi memuncak.
"Awas saja, aku tidak akan berhenti sampai di sini. Aku pastikan kalian tidak akan bahagia. Dan suatu saat aku akan membuat perempuan kampung yang miskin itu keluar dari mansion ini, bahkan dari kehidupan Bastian!" tekad Nyonya Hanum dengan amarah membara.
"Astaghfirullah al'adzim." Serentak para asisten rumah tangga beristighfar, setelah Nyonya Hanum berlalu. Mereka semua menyaksikan drama pagi hari itu sambil mengelus dada.
"Ya ampun...! Kanjeng Mami itu apa gak takut uratnya putus kali, ya?" bisik Santi.
"Apa maksudmu, San?" tanya Rini sambil menatap Santi penasaran.
"Ya, kan...hampir setiap saat selalu tegang gitu urat syarafnya. Nanti kalau tegang terus bisa-bisa putus lalu stroke, deh," jawab Santi dengan santai.
"Amit-amit dah, na'udzubillah," sambung Asih.
"A'udzubillahi minas syaiton nirojim, aku berlindung kepada Allah dari segala godaan setan yang terkutuk," celetuk Rini.
"Kalian ini pada kenapa sih, malah heboh sendiri. Sudah sana, ayo bubar! Memang kalian mau, nanti kena semprot Nyonya Besar, lagi?" tanya Mbok Rum menakuti.
Ketiganya pun akhirnya membubarkan diri, melanjutkan pekerjaan masing-masing.
...***...
Safira sampai dengan selamat di kantor AW Group beberapa saat yang lalu. Kini dia telah sibuk di depan komputer berkutat dengan pekerjaannya. Bahkan ia tidak menyadari ketika Bastian mendatanginya, hingga pria itu memeluknya punggungnya.
"Maafkan aku, Fira...! Maafkan aku yang tak sengaja terus menorehkan luka padamu. Tapi percayalah, ini bukan keinginanku. Kumohon...tetaplah bertahan bersamaku!" ucap Bastian dengan suara bergetar menahan sesak di dadanya.
Tubuh Safira menegang seketika, saat merasakan getaran pada punggungnya. Ia berusaha melepaskan dekapan Bastian, namun pria itu dengan kuat menahannya.
"Tolong, biarkan seperti ini, Fira. Aku butuh punggungmu untukku bersandar. Aku takut kehilanganmu, tolong... jangan pergi dariku!" mohon Bastian dengan lirih.
Airmata terus jatuh berlinangan meluncur deras seperti anak sungai, tetapi Bastian tidak perduli. Ia ingin menumpahkan segala perasaan yang selama ini berusaha ditahannya, dan mencoba untuk kuat. Akan tetapi, kali ini dirinya sudah tidak sanggup menahannya. Ia tak sanggup menyaksikan wanita yang dicintainya terus-menerus menerima penghinaan dari ibunya.
"Fira, bagaimana jika kita tinggal hanya berdua? Hanya ada aku dan kamu saja. Aku tidak ingin Mami terus merecoki kita. Kamu mau kan, Fir?"
Safira menegakkan tubuhnya, tatapannya kosong ke depan, tak tahu harus berbuat apa. Sebagai seorang istri, Safira menyerahkan keputusan itu pada Bastian, suaminya. Dia tidak ingin lancang, kecuali jika nanti suatu ketika Farah datang, itu lain cerita.
"Saya...saya, menyerahkan semuanya pada Anda, Tuan. Saya yakin akan keputusan Anda, pasti yang terbaik," jawab Safira pasrah.
"Baiklah... Terima kasih atas kebesaran hatimu, Fira." Bastian tampak begitu bahagia. Ia lalu mengecup kepala belakang Safira bertubi-tubi dengan lembut.
Safira mengulum senyumnya tipis. Dia berusaha menerima takdirnya. Dia tidak munafik, sebagai seorang yatim piatu macam dirinya yang tidak memiliki siapapun keluarga sejak usia kanak-kanak, Safira membutuhkan seseorang untuknya bersandar mengarungi samudra kehidupan meski entah sampai kapan.
"Ya sudah, aku kembali ke ruanganku. Jangan lupa nanti kita ada meeting di luar. Dan mulai saat ini kamulah yang akan menemaniku." Bastian meraih jemari lentik Safira, lalu menciumnya dengan lembut, kemudian beralih pada pucuk kepalanya.
Bastian menatap Safira dengan teduh, sampai akhirnya dia meninggalkan ruangan Safira dengan perasaan membuncah, penuh bunga-bunga bermekaran karena Safira bersedia menerima sarannya.
...***...
Di tempat lain.
Di sinilah Nyonya Hanum kini berada, bersama dengan teman-teman sosialitanya. Para wanita istri-istri pengusaha yang gemar sekali pamer harta atau apapun yang mereka miliki. Bahkan mereka tak segan mencibir atau mencemooh teman lainnya yang dianggap tak mengikuti gaya mereka.
Nyonya Hanum tampak tak seantusias seperti sebelumnya. Wanita paruh baya itu hanya sedikit berbicara seolah ada beban yang menggelayuti pikirannya.
Beberapa teman memperhatikannya dan salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya, "Nyonya Hanum, jika saya perhatikan anda sepertinya murung, ada apakah gerangan kalau boleh kita tahu?"
"Ah...tidak ada apa-apa, Jeng. Saya hanya sedikit pusing. Seharusnya saya hanya perlu beristirahat." Nyonya Hanum menjawab seraya menggelengkan kepalanya pelan.
"Oh ya, bukankah sekarang Nyonya Hanum sudah memiliki menantu, seorang dokter pula. Kenapa Anda tidak membawanya dan memperkenalkan kepada kami?" tanya seorang teman yang lain lagi.
Raut wajah Nyonya Hanum mendadak tegang, namun kemudian beliau berhasil menguasai dirinya. "Gawat kalau sampai mereka tahu bahwa bukan Farah yang menjadi istri Bastian, melainkan perempuan kampung yang miskin itu, bisa-bisa jatuh reputasiku di mata mereka. Tidak-tidak...aku tidak boleh membiarkan mereka tahu siapa yang menjadi istri Bastian sekarang," monolog Nyonya Hanum dalam batinnya.
"Istri Bastian putraku seorang dokter dengan jam terbang tinggi, Jeng. Jadi dia sangat sibuk dengan pasien-pasiennya. Tidak ada waktu untuknya sekedar bersantai," jawab Nyonya Hanum dengan raut wajah senatural mungkin.
"Oh, begitukah? Wah... pasti Nyonya Hanum bangga dong ya, memiliki seorang menantu wanita karier!" puji salah seorang di antara mereka.
Nyonya Hanum tersenyum samar, dalam hatinya bergemuruh dengan segala umpatan ditujukan kepada Safira. "Si*alan... Awas saja kamu perempuan kampung dan miskin! Gara-gara Bastian memilih menikahimu, hampir saja aku menjadi bahan cibiran mereka. Lihat saja nanti, apa yang akan aku lakukan untukmu!"
...***...
Bersambung...