Hal yang mengejutkan dialami oleh Nurhalina, gadis penjaga toko swalayan. Ia menjadi korban penculikan dan dijadikan tumbal untuk sebuah perjanjian dengan sebelas iblis. Namun ada satu iblis yang melanggar kesepakatan dan justru mencintai Nurhalina.
Hari demi hari berlalu dengan kasih sayang dan perhatian sang iblis, Nurhalina pun menaruh hati padanya dan membuatnya dilema. Karena iblis tidak boleh ada di dunia manusia, maka dia harus memiliki inang untuk dirasukinya.
Akankah cinta mereka bertahan selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pelantikan
...Nurhalina...
...────୨ৎ────...
Setelah mengirim video klarifikasi itu kepada Bobbi, Ndaru keluar meninggalkanku di kamar ini sendirian. Kepalaku masih panas dingin akibat ulahnya tadi dan perih kembali menjalar di sekeliling pinggangku.
Kali ini Ndaru memberikanku gamis berwarna cream dan hijab berwarna cokelat tua. Kainnya lembut dan hangat. Akhirnya, setelah beberapa hari aku meninggalkan ibadah, kali ini bisa melaksanakannya lagi.
Aku mengambil air wudlu kemudian menuju jendela yang sempat dihinggapi matahari sore kemarin, dari situ aku dapat mengingat arah kiblat.
Setelah beribadah dan berdo'a, Ndaru tiba-tiba sudah di atas ranjang dengan pakaian rapi. Kemeja hitam dengan dasi kupu-kupu berwarna merah muda dan celana bahan abu-abu. Rambutnya disisir kebelakang.
"Udah siap, kan, cantik?" ucapnya sambil bangkit dari ranjang, "Waktu kita nggak banyak, ayo!"
Kami melewati beberapa pintu sampai akhirnya kita berada di dalam mobil. Mobil yang sama waktu pertama kali Ndaru membawaku ke sini. Bedanya, kini dia yang ada di sebelah kananku, sibuk menyetir. Kami tak banyak bicara, mungkin Ndaru paham apa yang terjadi padaku.
"Kamu, keren!" ujarnya tak henti memandangiku. "Bahkan, kamu tadi sama sekali nggak pake make-up! Gila, sih!"
Aku hanya mengeryit pelan.
"Kita ke pesta pelantikannya Papa," katanya, sesekali melirik. "Tenang, gak bakal ada Bobbi, dia masih di UGD berkat, kamu!"
Aku ingat jalan ini, jalan menuju lapangan sepak bola. Kali ini sangat ramai, banyak pedagang kaki lima dan motor berlalu-lalang. Sedangkan mobil kami, diarahkan menuju parkiran belakang. Suara musik begitu riuh di angkasa serta Banner seorang Kyai terkenal. Tampaknya ini acara pengajian akbar.
Ndaru menuntunku dengan percaya diri, duduk di tenda paling depan bersama tamu-tamu undangan lainnya, di sebelah Bahlil dan Puan.
"Bagus, kamu datang, Nak!" sapa Bahlil. "Tapi, kenapa kamu bawa—"
"Sstttt... Udah, Papa tenang aja!" potong Ndaru sambil tersenyum tenang.
"Pacar kamu, mana? Masak kamu—"
"Duh, Mama, diam, deh!" potong Ndaru lagi, dan dibalas dengan gelengan kepala sang suami istri.
Ndaru menggenggam tanganku erat, aku bisa merasakan denyutnya yang berdetak lebih kencang. Kami menyaksikan dakwah yang disampaikan oleh kyai terkenal itu, sesekali menahan tawa karena leluconnya.
Kalau kalian mengira kyai yang sedang berceramah di panggung adalah orang tua, kalian salah. Dari tampang dan gaya bicaranya sepertinya kita seumuran, bahkan mungkin lebih muda dari Ndaru. Saatku melemparkan mata ke sekeliling, aku baru sadar kalau kebanyakan yang hadir di pengajian akbar ini adalah kaum hawa.
Ya, mungkin gara-gara wajah penceramahnya yang Baby-face dan sedikit kearab-araban dan pastinya ganteng habis.
Stop Nurhalina.
Kamu itu lagi diculik.
Tapi kalau diculik sama kyai tampan seperti dia, rasanya aku rela-rela saja. Setidaknya aku akan dijanjikan surga, bukan neraka.
Aku menoleh ke wajah Ndaru, membandingkan mereka berdua. Mengingat semua yang telah Ndaru lakukan padaku.
"Ayo, cantik!" ucap Ndaru menarik tanganku. "Sekarang waktunya!"
Bahlil dan Puan sudah di atas panggung, entah kapan mereka naik, tiba-tiba saja ada di sana menyalami pembawa acara dan kyai. Mereka sedang menerima bingkai-bingkai penghargaan dan karangan bunga yang bertuliskan "Selamat Atas Kemenagannya."
Penonton yang didominasi kaum hawa bersorak-sorai, ribuan tepuk tangan meramaikan langit malam ini.
Sedangkan aku dan Ndaru pelan-pelan naik ke atas panggung setelah pembawa acara mengucapkan, "Selamat juga untuk putra tunggal Pak Bahlil yang berhasil menjadi Lulusan Terbaik Fakultas Hukum tahun ini, mudah-mudahan kesuksesan beliau membawa kontribusi baik untuk desa kita yang tercinta ini, tepuk tangan!"
Lulusan terbaik?
Hukum?
Nggak mungkin.
...ᯓᡣᯓᡣᯓᡣᯓᡣ...
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa Ndaru membawaku ke acara itu?
Yang membuatku tak habis pikir, dia dengan percaya diri mengucapkan itu di depan ribuan penonton, "Will You Marry Me?" dengan begitu cepatnya aku justru mengangguk dan dia memakaikan aku ini.
Cincin permata.
Dia benaran melamarku?
Bahkan, kita belum kenal satu sama lain.
Hah, yang benar saja!
Aku mimpi apa, sih?
Kami lagi ada di ruang keluarga, keluarga besar Bahlil. Mereka sedang ribut masalah tadi.
"Ndaru! Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu, hah?" tunjuk Bahlil dengan mata membelalak. "Dengan tololnya kamu melamar wanita pembawa sial ini di depan semua pendukung, Papa?"
"Memangnya ada yang salah?" jawab Ndaru santai. "Cinta nggak pernah salah, Pa."
"Hah, sudahlah. Biar Mama yang urus wanita sialan ini!" timpal Puan menuju ke arahku.
"Auuuggrrhhh," pekikku, saat tiba-tiba tangannya menarik kuat jilbabku, menyeretku sampai depan pintu.
"Mau Mama apakan dia?" bentak Ndaru, membuat Puan berhenti di tengah jalan. "Kalian lupa, perjanjian apa yang kalian buat dengan iblis-iblis itu? Silahkan, bunuh saja dia, lakukan sesuka Mama, kita bakal lihat, apa yang akan terjadi setelah itu!"
"Perjanjian?" Puan memalingkan kepalanya, melonggarkan genggamannya di jilbabku. "Ma—maksud kamu?"
"Ndaru, udah." timpal Bahlil.
"Dan apa konsekuensinya jika, Papa," tunjuk Ndaru ke arah Bahlil, tatapnya tetap santai. "Berani melanggar itu."
Puan melepaskanku, berlari memelototi suaminya, "Papa, bikin perjanjian apa?"
"Da—dari mana kamu tahu, Nak?" kejut Bahlil.
"Jangan lupa, Pa. Besok adalah malam ritualnya. Hahahaha." jawab Ndaru, dengan ekspresi puas.
Ndaru membenarkan dasi kupu-kupunya, lalu berjalan ke arahku yang terkulai di lantai, dia berlutut membelakangiku, "Naik, waktunya istirahat!"
Aku yang seringan kapas, berada di punggungnya sambil memperhatikan suami istri yang sedang adu mulut.
Ndaru, nggak berpihak ke mereka?
Kok, bisa?
Cuma dua pertanyaan itu yang bersarang di kepalaku sekarang, selain itu ada satu kecupan lagi di kening. Kenapa dia tiba-tiba manis?
Dia ada di sebelahku, kepala kita sejajar, napas kita bergantian, mata kita saling bertemu, begitu pun bibirnya. Bibirnya lebih dingin dari yang sebelumnya, lembut dan kini penuh perhatian.
"Maaf, aku terlambat." ucapnya, jari-jarinya menyisir rambutku dengan lembut. "Aku akan perbaiki, semuanya, untukmu. Ik hou van je."
Ik hou van je?
Maksudnya?
Dia benar-benar berbeda, mungkin dia menyesali apa yang telah dia lakukan kepadaku dulu.
"Istirahat, udah malam!" pamitnya membelakangiku. Begitu pun denganku, menghadap jendela yang menampilkan beberapa bintang dan bulan.
Malam ini, sungguh malam yang aneh.
...ᯓᡣᯓᡣᯓᡣᯓᡣ...
Adzan pagi berkumandang, aku pun terbangun dan buru-buru melaksanakan kewajibanku untuk beribadah, mumpung ada kesempatan. Bisa saja nanti aku dikurung lagi dan terpaksa melewatinya.
Setelah selesai, kulihat Ndaru masih terlelap dengan posisi miring. Kalau diperhatikan dia punya rahang yang kuat, otot-otot di lehernya terlihat tipis dan menurutku dia nggak kalah cakep dengan kyai yang berdakwah semalam, bedanya dia punya janggut tipis di bawah rahangnya.
Aku penasaran, jadi aku memperhatikannya dengan lebih dekat, jarak kita kini cuma sejengkal, dan jemariku jalan ke arah kancing kemejanya yang terbuka. Saat aku mulai mengancingkan kemeja itu, tangan kekarnya sudah menyatu di pergelanganku.
Dia menarikku dengan kuat sehingga aku jatuh di atas tubuhnya, matanya masih setengah sadar, bibirnya basah, rambutnya berantakan menyebar ke seluruh pipinya. Dan bodohnya, aku malah menutup mata. Di saat itu pula, aku tak bisa melihat apa-apa, hanya merasakan bibirnya yang bergerak lembut di bibirku sambil membisikan, "Selamat pagi, cantikku!"