Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 22
Renjana berdiri di ambang pintu kamar Gajah, matanya memerhatikan situasi yang tegang antara salah satu pengasuh muda, Gita dan Samuel sang wakil ketua panti. Suasana dalam ruangan itu terasa mencekam, dengan ketegangan yang begitu jelas antara keduanya. Gita tampak sangat frustrasi, wajahnya menunjukkan keprihatinan yang mendalam, sementara Samuel, sang Wakil Ketua, lebih tampak tenang meski ada ketegangan yang menguat di sekelilingnya.
"Apa maksudnya?" suara Gita terdengar lebih keras, mengandung nada frustrasi. "Anak itu sudah seminggu tidak kembali setelah dibawa ke ruang isolasi! Mengapa kita tidak diberitahu apapun? Kenapa tidak ada yang menjelaskan keadaan sesungguhnya?"
Samuel mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. "Kamu tahu aturan di sini. Ketika anak-anak dibawa ke ruang isolasi, itu untuk alasan medis. Semua prosedur sudah dijalankan dengan benar."
"Tapi ini sudah lebih dari seminggu!" Gita menimpali dengan suara gemetar, "Dia belum kembali! Tidak ada kabar apapun! Ini bukan hal yang wajar!"
Renjana mendengar ketegangan itu semakin meningkat, dan hatinya terasa berat. Ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia merasa seperti terjebak di antara mereka berdua, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan.
Wakil Ketua, Samuel, tampak mulai kehabisan kesabaran. Dengan suara yang lebih rendah namun tegas, dia berkata, "Gita, sudah cukup. Kami harus tenang dan mengikuti prosedur. Kita tidak bisa bertindak gegabah."
Gita menggelengkan kepalanya, matanya penuh kebingungan dan kekhawatiran. "Kenapa kita tidak tahu apa yang terjadi padanya? Kenapa kita tidak bisa melihatnya lagi?"
Samuel, yang awalnya lebih sabar, akhirnya menghela napas dan melangkah maju. "Ini bukan saatnya untuk berdebat. Kamu ikut aku, Gita. Kita harus menyelesaikan ini dengan cara yang benar. Ikuti prosedur."
Wakil Ketua itu menatap Renjana sekilas sebelum melangkah keluar dari ruangan dengan Gita mengikuti di belakangnya. Renjana berdiri di sana, menatap kepergian mereka berdua dengan perasaan yang semakin bertambah gelisah.
Dia sudah mencoba mencari-cari di sekitar panti, berharap bisa mendapatkan kabar lebih lanjut tentang anak asuhnya, Adi, yang sudah beberapa waktu tak tampak setelah dibawa ke ruang isolasi. Namun, kehadiran dokter itu memberi sedikit harapan bagi Renjana, meskipun ia tahu ada banyak hal yang belum terjawab.
"Dokter!" Renjana cepat melangkah maju, berusaha menjaga ketenangannya meski rasa cemas mulai meluap. "Bagaimana kabar Adi? Apa dia sudah baik-baik saja?"
Dokter Gio menatap Renjana sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Adi sudah berada di kota besar, dirawat oleh keluarganya," jawabnya dengan tenang, mencoba meyakinkan Renjana. "Jangan khawatir. Kondisinya sudah jauh lebih baik, dan dia akan kembali setelah dia pulih sepenuhnya. Semua sudah diurus dengan baik."
Renjana merasa sedikit lega mendengar itu, meskipun ada rasa tak puas yang mengganjal di dalam hatinya. "Bagaimana dengan anak asuh Gita? Anak itu sudah seminggu tak kembali setelah dibawa ke ruang isolasi. Apakah ada kabar mengenai dia?"
Dokter Gio tampak terhenti sejenak, seolah terkejut dengan pertanyaan Renjana. Namun, sebelum dia sempat memberikan jawaban, suara langkah kaki yang tegas bergema di koridor. Pintu utama terbuka dengan suara berderit, dan Helena muncul di sana, dengan sikap yang tak terbantahkan. Renjana terdiam, dan dokter Gio tampak sedikit kaku, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi.
Helena menatap Renjana dengan tatapan tajam yang menusuk. "Itu bukan urusanmu," katanya dengan nada dingin, hampir seperti sebuah perintah. "Kamu hanya seorang pengasuh baru. Tugasmu adalah merawat anak-anak dan mengikuti peraturan yang ada di panti ini."
Suasana menjadi tegang, dan Renjana merasa perasaan tidak nyaman itu semakin mendalam. Kata-kata Helena begitu tajam dan tak bisa dibantah, seperti ada otoritas yang tak bisa dilawan. Renjana mencoba menahan diri, tetapi rasa penasaran dan kekhawatiran tentang anak yang hilang itu terus menggerogoti pikirannya.
"Tapi," Renjana tidak bisa menahan diri lagi, "ini berkaitan dengan anak-anak yang saya jaga. Saya berhak tahu apa yang terjadi pada mereka."
Helena menyipitkan mata, menyeringai sedikit, seolah mengevaluasi Renjana sejenak sebelum berbicara lagi. "Kamu masih baru di sini. Jangan terlalu banyak bertanya. Pahami posisimu dan ikuti peraturan. Itu lebih baik untukmu dan untuk semua orang di panti ini." Dengan satu gerakan, Helena berbalik, menatap Renjana dengan tatapan terakhir yang tajam.
Renjana merasa seluruh tubuhnya menegang ketika Helena maju mendekat, begitu dekat hingga hampir menabraknya. Suasana menjadi semakin tegang, setiap kata yang keluar dari mulut Helena seolah menggetarkan dinding di sekitar mereka.
Helena tertawa sinis, suaranya tajam seperti pisau yang mengiris udara. "Kamu hanya khawatir karena mendengarkan rumor-rumor tak berdasar," katanya dengan nada rendah yang penuh ancaman. "Tapi dengar baik-baik, Renjana. Jika sampai ada hal buruk yang terjadi karena mulutmu yang tak bertanggung jawab, kamu yang akan menanggung akibatnya."
Renjana terdiam, kata-kata itu begitu keras dan menusuk, seperti pukulan yang membuatnya tak mampu bergerak. Matanya terbuka lebar, dan detak jantungnya terasa semakin cepat, tetapi lidahnya terasa kaku. Dia tahu bahwa jika melawan, semuanya hanya akan semakin buruk. Sejenak, rasa takut itu menyelubungi pikirannya, namun ada juga rasa penasaran yang semakin kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.
Helena menatapnya dengan tajam, seakan menilai apakah Renjana benar-benar memahami pesan yang disampaikannya. Tanpa kata-kata lagi, Helena berbalik dan mulai naik ke atas, meninggalkan Renjana yang masih terdiam di tempatnya, merasa kebingungan dan terperangah.
Dokter Gio berdiri di dekat pintu, tampak sedikit cemas melihat ketegangan yang baru saja terjadi. Dia berjalan mendekat dan dengan nada yang lebih lembut, menyarankan Renjana untuk kembali ke ruangannya. "Mungkin sebaiknya kamu beristirahat dulu," katanya. "Pikirkan ini dengan tenang. Kita semua bekerja di sini demi kebaikan anak-anak. Jangan biarkan dirimu terbawa perasaan."
Renjana menatap dokter Gio sejenak, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa Helena begitu keras? Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak-anak yang dibawa ke ruang isolasi itu? Apa yang mereka sembunyikan?
Meski disarankan untuk kembali, Renjana tahu bahwa dia tidak bisa begitu saja meninggalkan pertanyaan ini. Ada sesuatu yang sangat salah, dan meskipun ancaman dari Helena menggema di telinganya, rasa ingin tahu dan keinginannya untuk melindungi anak-anak yang dia sayangi jauh lebih besar.
"Terima kasih, dokter," jawab Renjana dengan suara pelan, mencoba menenangkan diri.
Renjana berpaling dan melangkah menuju ruangannya, namun langkahnya terasa lebih berat dari biasanya. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, dia tidak bisa mundur.