Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah dilema.
Suasana di dalam unit Maha semakin tegang, suhu ruangan seolah naik seiring dengan ketegangan yang mengalir di udara. Maha bisa merasakan setiap detik semakin berat. Namun yang mengejutkan, Sadewa, pria yang biasanya tegas dan penuh kontrol, malah terlihat acuh tak acuh. Dia hanya sibuk menikmati spaghetti yang baru dimasaknya, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Melihat itu, Maha merasa semakin. “Sadewa!” Pekiknya, suaranya tegas penuh tekanan.
Sadewa yang mendengar namanya dipanggil tanpa embel-embel ‘Pak,’ itupun hanya tersenyum tipis. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa penyesalan sedikitpun. Bahkan, ia tampak lebih santai daripada sebelumnya.
“Kasih tambahan, ‘Mas,’ di depannya. Jangan cuma Danu yang kamu panggil Mas,” ujar Sadewa sambil melanjutkan kunyahan nya dengan santai. “Saya juga mau kamu panggil, ‘Mas.” Imbuhnya.
Maha merasa lidahnya terasa kaku, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahan. Ia menatap Sadewa dengan tatapan tajam, masih sulit memahami sikap dingin yang ditunjukkan pria kaku itu, begitu tenang—hampir seperti tidak ada yang salah, seolah Maha adalah gangguan kecil di tengah rutinitas.
Setiap kata yang keluar dari mulut Sadewa semakin menekan nafasnya. Membuat tubuhnya bergetar, tidak hanya karena amarah, tapi juga karena perasaan yang sulit ia bendung. Selama ini, ia berusaha untuk tetap tenang. Berusaha memendam semua perasaan itu. Namun kali ini, semuanya keluar begitu saja.
“Kenapa, sih, Pak?! Anda selalu membuat saya merasa marah dan jengkel? Apa karena kontrak itu, sehingga Anda bisa semaunya memperlakukan saya seperti ini?” Ujar Maha, suaranya bergetar dan terisak. “Pak, semuanya ada batasan! Dan kenapa Anda melewati batasan itu?! Saya juga butuh privasi dan dihargai, Pak Sadewa!” Lanjutnya, memekik di akhir kalimat.
Maha tidak bisa menahan air matanya lagi. Sakit, cemas, dan kecewa semuanya bercampur menjadi satu. Setiap kata yang ia ucapkan terasa semakin berat, tetapi seolah tidak ada yang menghiraukannya.
Prang!
Suara garpu yang dibanting dengan keras membuat Maha tersentak, ia pun mengangkat wajahnya. Garpu yang terjatuh dilantai itu, seakan menambah beban yang semakin berat di dada nya. Sementara Sadewa, pria yang tenang dan penuh kontrol itu, kini menunjukkan sisi lain yang sangat mengejutkan.
“Apa ucapan saya waktu itu kurang jelas, Senja Maharani? Apa saya harus menjelaskannya lagi, semua isi kontrak hingga detail padamu?” Ujar Sadewa menegaskan dengan nada penuh kemarahan. Lantas, ia berdiri dari kursinya. Menatap Maha dengan tatapan yang penuh tekanan. Seolah mengukur seberapa kuat gadis itu bisa bertahan.
“Saya rasa, saya tidak perlu menjelaskannya lagi, ‘kan? Kamu juga bukan gadis bodoh yang tidak paham akan isi kontrak itu. Dan sekali lagi saya tegaskan, kamu milik saya! Apapun yang kamu miliki, termasuk unit ini, juga milik saya. Jadi, saya berhak dan mempunyai kebebasan ditempat ini, paham kamu?”
Maha merasa dunia seakan berputar lebih cepat. Ucapan Sadewa seakan menghantam nya dengan keras, hatinya hancur mendengar ucapan itu. Kontrak sialan itu benar-benar mengikatnya dengan rantai yang tidak bisa ia lepas.
Dagu Maha bergetar, air matanya pun menetes lebih deras. Tapi ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sadewa begitu kejam, tidak ada lagi ruang untuknya didalam dunia pria itu, yang ada hanya rasa sakit yang semakin dalam.
Maha menarik nafas panjang, berusaha mati-matian untuk menenangkan diri ditengah gejolak emosi yang menguasainya. Air mata yang tadi mengalir kini ia usap kasar, menepis semua perasaan yang meronta dihatinya. Ia tidak ingin terus tenggelam dalam kesedihan, meski hatinya terasa hancur.
“Ng… terserah Anda saja, Pak. Lagipula, apa hak saya mengatur, sementara semua kendali atas diri saya sendiri, dipegang sepenuhnya oleh Anda? Jadi, silahkan Anda anggap rumah ini juga rumah Anda. Saya permisi dulu,” jawab Maha, suaranya terdengar seperti pengakuan pahit.
Dengan langkah perlahan, Maha hendak berbalik untuk pergi dari ruangan itu. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menahan lengannya. Pandangan mereka bertemu dan Maha bisa merasakan ketegangan di udara.
Sadewa, mantapnya dengan tajam, tidak ada belas kasihan disana. “Kita seranjang,” ucapnya. Bukan sebuah permintaan, melainkan sebuah perintah yang harus Maha turuti tanpa bisa menolak.
Brengsek! Batin Maha, seakan ada ledakan emosi yang tidak bisa ia ucapkan. Rasa benci, marah, dan putus asa menyatu di dalam dirinya. Namun ia tahu, Sadewa, tidak akan peduli dengan apa yang dirasakannya. Semua kontrol kini ada ditangan pria itu dan ia hanya bisa menuruti dengan perasaan yang semakin hancur.
“Iya, kita seranjang.” Jawab Maha, tanpa ekspresi. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan betapa dalamnya luka yang ia rasakan.
Sadewa mendekat, tubuhnya begitu dekat dengan Maha. Tangan pria itu terulur lembut namun penuh kendali untuk mengusap air mata yang masih membasahi pipi Maha.
“Jangan pernah meneteskan air mata mu di depan saya, karena saya tidak suka wanita yang lemah,” Bisik Sadewa di telinga Maha, seperti sebuah peringatan menambah kesan menekan yang sudah menguasai suasana. “Ayo, Maha, kita makan. Saya sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk kita.” Sadewa melanjutkan, ia meraih tangan Maha. Tidak ada kebebasan disana, hanya perintah yang harus diikuti.
Maha menahan nafasnya, ia menatap tangan Sadewa yang masih menggenggamnya, tetapi ia tidak melawan. Sadewa menarik kursi, mempersilahkannya untuk duduk.
Saat matanya beralih ke kabinet, ia melihat Sadewa mengambil garpu dengan begitu biasa. Amalan apa yang sudah aku lakukan? Hingga aku mendapatkan perlakuan seperti ini? Sadewa, benar-benar brengsek! Pikir Maha dengan hati penuh amarah dan kebingungan.
Namun, meskipun perasaan Maha bergelora, ia tidak punya banyak pilihan. Dengan terpaksa, ia makan malam bersama Sadewa—sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan, ternyata terjadi. Mulutnya terkatup rapat, mencoba untuk tidak membiarkan kata-kata keluar, tapi hati Maha berteriak. Setiap detik di meja itu, terasa seperti beban yang semakin berat, seolah ada ribuan kutukan yang ingin ia ucapkan.
Sesekali Maha mencuri pandang ke arah Sadewa yang terlihat seolah-olah tidak ada yang salah dan seolah-olah tidak ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. Pria itu makan dengan tenang, padahal bagi Maha, dunia seolah runtuh di sekeliling nya.
...****************...
Dibawah guyuran air hangat shower, Maha menundukkan kepalanya, membiarkan air hangat mengalir membasahi wajah dan tubuhnya. Tangan-tangannya gemetar saat berpegangan pada dinding marmer yang dingin, berusaha menemukan pegangan di tengah kekacauan pikirkan nya. Suara air yang jatuh seakan tak mampu meredam kegaduhan dalam benaknya. Pikirannya bercabang, memikirkan pria yang saat ini berada di unitnya—datang tanpa diundang, tanpa ijin.
Kita seranjang.
Kalimat itu bergaung di kepala nya, mengusik setiap sudut ketenangannya. Mata Maha menutup rapat, seolah ingin menghapus ingatan itu. Tetapi kata-kata Sadewa terpatri jelas di benaknya, menimbulkan rasa marah yang terus menghantui.
Bugh!
Tangan Maha mengepal erat, memukul marmer dingin dengan keras. Suara pukulan itu menggema di kamar mandi. Namun tak mampu menghapus rasa sakit yang mendera hatinya. Ia merasa tak berdaya, seakan hak atas dirinya sendiri dirampas begitu saja. Harga dirinya terasa terinjak, membuatnya merasa kecil dan tak berarti.
Air mata bercampur dengan air shower, mengalir deras di pipinya. Maha tahu, menangis disini adalah satu-satunya tempat dimana ia bisa meluapkan perasaannya tanpa harus menunjukkan kelemahan di hadapan Sadewa.
“Apa itu artinya aku benar-benar menyerahkan hidupku sepenuhnya pada Sadewa?” Maha bergumam lirih, bibirnya bergetar menahan gejolak yang bergolak di dalam dadanya.
Maha bukanlah gadis yang naif, ia paham benar makna dibalik kata-kata Sadewa ‘kita seranjang’ itu berarti ia harus tunduk sepenuhnya, tanpa perlawanan. Segala yang diminta Sadewa, termasuk menyerahkan dirinya secara fisik, pun harus ia terima.
Menolak atau membatalkan kontrak itu jelas terasa mustahil. Konsekuensi dari keputusan sepihak itu terlalu berat untuk ia tanggung. Denda yang harus ia bayar, dua kali lipat dari jumlah yang diberikan Sadewa, membuat Maha terjebak dalam dilema.
Uang sebesar itu, dari mana aku mendapatkannya? Ngepet atau pesugihan?
Maha tersenyum pahit pada dirinya sendiri. Betapa ironisnya hidup yang kini ia jalani, sampai-sampai pikiran seperti itu terlintas di benaknya.
Setelah puas meluapkan kemarahan dan air mata, Maha menyeka rambutnya yang masih basah sebelum membungkus tubuhnya dengan bathrobe. Sesaat kemudian, ia berganti pakaian, mengenakan kaos oversize yang menutupi sebagian tubuhnya, di padukan dengan celana pendek yang nyaman.
Saat keluar dari kamar mandi, Maha mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamarnya. Jantungnya berdegup, berharap menemukan sosok Sadewa. Namun, ruangan itu sunyi. Matanya tertuju pada sudut kamar tempat koper Sadewa sebelumnya diletakkan, kini kosong.
“Kemana manusia batu itu? Pulang, ya?” Maha bergumam, rasa penasaran pun menggelitik pikirannya. Ia melangkah keluar dari kamar, menuju ruang tamu, berharap menemukan jejak kepergian Sadewa.
Sayangnya, ketika Maha keluar dari kamarnya. Ia tidak menemukan Sadewa di ruang tamu. Sebuah senyuman kecil perlahan terukir di wajahnya, merasa lega bahwa pria itu sudah pergi dari unitnya. Namun, senyuman itu seketika memudar saat melihat Sadewa muncul dari kamar lain, mengenakan kaos hitam dengan tulisan Valentino.
“Apakah kamu sedang mencari saya?” Tanya Sadewa sambil berjalan menuju sofa, membawa laptop di tangannya.
Maha menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan kekecewaan yang mulai merayap di wajahnya. Ekspresinya kembali datar, berusaha tetap tenang meski hatinya masih diliputi ketegangan.
Sadewa duduk santai di sofa, membuka laptop dan mulai mengetik. “Saya hanya ingin tidur sendirian malam ini. Tapi soal tidur seranjang itu tetap keputusan mutlak saya. Jadi, itu tergantung dengan mood saya kalau nanti ingin tidur di kamarmu.” Ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Kata-katanya yang penuh otoritas membuat Maha menggigit bibirnya. Tentu saja ia merasa merinding, tak menyangka jika Sadewa pria yang cukup mesum.
“Lagipula, saya ingin tahu bagaimana kebiasaanmu tidur. Jadi, nanti saya lihat-lihat dulu. Jangan tutup pintu kamarmu, ya.” Sadewa melanjutkan ucapannya dengan santai.
Bruk!
Belum sempat Sadewa mendengar jawaban dari Maha, pintu kamar gadis itu sudah tertutup dengan keras menimbulkan bunyi yang menggema di ruang tamu. Sadewa terkekeh pelan sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa. Ada sesuatu yang lucu baginya, saat melihat Maha marah dengan pipi yang mengembung, seperti anak kecil yang kesal, tapi tidak tahu harus meluapkan emosinya kemana.
“Mungkin kalau hatimu sudah lebih tenang, kita bisa tidur bersama, Maha. Saya hanya tidak ingin membuatmu merasa semakin tidak nyaman dengan kehadiran orang baru di dekatmu.” Gumam Sadewa seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Sadewa kembali menatap laptopnya, tapi pikirannya melayang pada gadis yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Kalimat yang ia ucapkan sebelumnya memang terdengar frontal. Namun, bukan tanpa alasan. Baginya, itu adalah cara untuk mengingatkan Maha bahwa sekarang gadis itu adalah miliknya. Tidak ada maksud buruk, hanya sebuah peringatan halus bahwa posisinya kini berada dibawah perlindungan dan kendalinya.
Cinta Sadewa itu tidak ditunjukkan dengan kata-kata manis atau gombalan. Ia bukan tipe pria yang pandai merangkai kata-kata romantis, itu jelas bukan gayanya. Bahasa cintanya terletak pada perlindungan dan klaim, meski terkadang terkesan keras tanpa kompromi. Dimatanya, Maha adalah sesuatu yang harus dijaga, meskipun caranya mungkin sulit dipahami oleh gadis itu.
Sementara itu, di dalam kamar, Maha membanting handuk yang tadi membungkus rambut basah nya ke lantai. Nafasnya tersengal, emosinya akhirnya meledak.
“Brengsek!” Maha mengerang sambil mengepalkan tangannya di udara. “Ini rumahku, tapi kenapa aku merasa tamu disini? Dasar nyebelin—argh!” pekiknya keras, melampiaskan rasa frustasi yang menggerogoti pikirannya.
Maha merasa ada yang aneh, setiap kata yang keluar dari mulut Sadewa seolah memiliki kekuatan yang tidak bisa ia lawan. Bukannya melawan atau menolak, Maha hanya bisa melampiaskan kekesalannya dengan berteriak dan mengumpat, meski ia tahu tidak akan mengubah apapun.
“Kenapa coba, Sadewa, selalu berhasil buat aku diam? Kenapa juga aku nggak bisa melawan dia? Huh?!” Maha semakin tampak frustasi, ia berdiri ditengah kamarnya. Matanya berkilat dengan air mata yang tidak mampu ia tahan lagi. Sesekali, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Mencoba menenangkan diri dari amukan emosi yang membara di dadanya.
Meski dalam hati Maha ingin melawan, kenyataan berkata lain. Ia tahu, dalam situasi ini dirinya hanya bisa mengikuti permainan yang telah ditetapkan Sadewa. Maha sadar, bahwa meluapkan amarahnya dengan menangis dan juga mengumpat hanya cara kecilnya untuk bertahan. Ia belum siap menyerah sepenuhnya, meski jalannya terlihat suram. Ada semangat yang masih tersisa, meskipun kecil yang membuatnya tetap berdiri tegak meski dunia seolah memaksanya untuk berlutut.
Diruang tamu, Sadewa mendengarkan pekikan Maha dengan jelas. Sebuah tawa renyah meluncur dari bibirnya, menampakkan gummy smile yang jarang terlihat oleh siapapun. Gummy smile yang ia perlihatkan adalah sisi lembut dibalik wajah dinginnya. Bagi Sadewa, melihat Maha kesal atau marah adalah bentuk kecil dari keberhasilannya mengendalikan situasi. Bukan untuk menindas, tetapi lebih pada memastikan Maha tahu dimana posisinya sekarang.
Sadewa menyandarkan punggungnya kembali ke sofa, membiarkan tawa kecil itu menggema di ruang tamu. Ada kehangatan aneh yang muncul di dadanya saat melihat Maha yang selalu berusaha melawan, meski akhirnya harus menyerah pada keadaan.
Dibalik sikap kerasnya, Sadewa merasakan rasa sayang yang berbeda. Bukan dengan kata-kata manis, tetapi dengan caranya yang unik. Ia menunjukkan perasaan itu dengan memastikan bahwa Maha adalah bagian dari dirinya, sesuatu yang tidak ingin Sadewa lepaskan.