Sejak kecil Rea seorang anak tunggal terlalu bergantung pada Jayden. Laki-laki sok jagoan yang selalu ingin melindunginya. Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Jayden adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Rea dalam keadaan apapun. Jayden selalu ada di kehidupan Rea. Hingga saat Altan Bagaskara tidak datang di hari pernikahannya dengan Rea, Jayden dengan jiwa heroiknya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengganti mempelai pria. Lalu, mampukah mereka berdua mempertahankan biduk rumah tangga, di saat orang-orang dari masa lalu hadir dan mengusik pernikahan mereka?
Selamat Membaca ya!
Semoga suka. 🤩🤩🤩
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Budi Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 22
Lain kali kalau jalan pakai mata."
"Pakai kaki dong, Jay. Masa jalan pakai mata?" sahut Rea sambil menjulurkan lidah saat Jayden melotot ke arahnya.
Pria itu bangkit, merapikan kotak obat dan menaruhnya di atas nakas. Sejenak, ia menatap Jayden yang sedang memperhatikan lututnya yang tertutup plester.
Kedua mata Jayden mengerjap pelan, menikmati ekspresi wajah Clareance yang duduk di hadapannya.
"Aku minta maaf soal ucapanku di restoran tadi," ucapnya tiba-tiba.
"Aku hanya kesal karna kamu terlalu lemah menghadapi mereka. Aku maunya kamu tuh punya sikap, Rea."
"Jayden, kamu tuh kenapa, sih? Marah-marah mulu dari tadi. Hidup aku ya memang begini. Aku tuh model, public figur. Nggak ada yang aneh dong kalau banyak orang mau dekat sama aku."
"Kamu nyaman sama keadaan itu? kamu nggak risih kalau lagi makan atau sibuk ngerjain sesuatu terus ada orang nanya-nanya tentang urusan pribadi kamu?"
Clareance terdiam, tak bisa di pungkiri dia juga tidak nyaman. Tapi dia tidak pernah protes. Rea selalu tampil dengan wajah penuh senyum dan bersikap ramah pada semua orang. Jujur dia lelah, tapi Rea punya alasan kuat kenapa dia lakukan semua itu.
Dia takut orang-orang meninggalkannya, dia takut semua penggemarnya pergi jika dia bersikap tidak ramah. Clareance takut di kucilkan seperti masa remajanya dulu. Dia tak mau mengulangi masa-masa kelam itu lagi.
"Sudahlah jangan terlalu peduli. Urus saja hidupmu sendiri, Jayden," katanya sedikit ketus.
Sementara Jayden hanya bisa menghela napas pelan. Lalu, pria itu menggeser duduk mendekati Clareance.
"Kamu serius ingin aku menjauh?" Katanya dengan ekspresi wajah datar.
Rea menipiskan bibir, menatap pantulan dirinya di dalam manik mata Jayden yang memancar kecoklatan.
"Aku serius," sahut Rea tanpa mengalihkan tatapannya.
"Seharusnya hari ini aku menyelesaikan masalahku dengan Altan. Bukannya malah mengikutimu ke restoran."
÷÷÷÷÷
Supir Clareance tiba lima belas menit setelah gadis itu menelpon bahwa dia sedang berada di apartemen Jayden.
Ia sengaja menolak tawaran Jayden yang ingin mengantarnya pulang. Kali ini, Rea benar-benar akan menuruti perintah calon suaminya. Dia akan menjauh dari Jayden. Kalau memang hal itu bisa membuat hubungannya dengan Altan kembali baik.
Malam itu, Rea tidak langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, tiba-tiba dia teringat calon suaminya. Tidak akan menjadi masalah kan kalau Rea mampir ke apartemen Altan malam-malam begini? Toh, setelah ini mereka akan resmi menjadi suami istri.
Rea sempat menelpon Altan sebelum mobilnya tiba di pelataran gedung apartemen milik calon suaminya. Namun sayangnya, ponsel pria itu sedang tidak aktif. Jadi, Rea memutuskan untuk langsung naik ke lantai penthouse, tempat di mana Altan tinggal.
Sejak mereka resmi berkencan, Altan memberikan akses untuk Rea agar bisa naik ke lantai unitnya. Jadi, dia tidak perlu menunggu di meja resepsionis hanya untuk mendapatkan ijin dari Altan.
Gadis itu berjalan dengan penuh percaya diri, meski lututnya masih terasa nyeri. Jantungnya sedikit berdebar membayangkan hubungannya dengan Altan akan segera membaik. Seharusnya dia bisa menekan egonya sejak tadi, jadi dia tidak perlu bertengkar dengan calon suaminya.
Walau bagaimanapun, Rea tetap akan kembali pada Altan. Semarah apa pun Rea dia tidak akan bisa menjauh dari lelaki itu. Meski ia harus merelakan persahabatannya dengan Jayden menjadi renggang.
Tidak apa-apa Jayden pasti memahaminya.
Rea berhenti di depan pintu, memeriksa penampilannya dan menepuk wajahnya tiga kali untuk mengurangi perasaan gugup. Setelah merasa siap, Rea menekan tombol interkom di hadapannya. Sudut mata Clareance sempat mengerut saat ia tak mendapatkan respon apa pun dari balik pintu apartemen Altan. Dia sempat berpikir kalau calon suaminya itu mungkin sedang tidak ada di tempat. Tapi, tak ada salahnya mencoba sekali lagi. Dan benar saja, tak lama kemudian pintu di hadapannya terbuka. Namun, bukan wajah Altan yang muncul di hadapannya, melainkan seseorang yang sama sekali tidak Rea kenal.
Seorang perempuan dengan kaos ketat dan celana super pendek, tengah menatap Rea dengan mata membelalak seolah baru saja melihat hantu.
Sementara Rea tak kalah terkejut. Gadis itu memindai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kedua matanya mengerjap cepat, seolah sedang bertanya-tanya. Siapa perempuan yang sedang berada di dalam apartemen Altan malam-malam begini?
"Siapa, Zika?" Suara Altan terdengar dari arah dalam. Membuat Zika menoleh ke belakang dan menemukan Altan sedang mengeringkan kepalanya dengan handuk. Pria itu baru saja mandi, dan hal itu membuat Clareance berpikir macam-macam.
Calon suaminya baru saja mandi, dan ada seorang perempuan asing berpakaian tidak pantas di dalam apartemennya, astaga, apa yang baru saja mereka lakukan?
"Altan? Siapa dia?" Tanya Rea saat Altan menyadari keberadaannya.
Pria itu mendadak bisu. Ia menatap Zika dan Clareance bergantian tanpa tahu harus menjawab apa. Karna apa pun yang dia katakan, akan berakibat fatal pada hubungannya dengan Clareance.
"Al," desak Clareance yang tetap berdiri tegak di depan pintu masuk. Menanti penjelasan dari calon suaminya.
"Siapa perempuan itu?!" Tunjuk Rea dengan tatapan tajam.
"Dia ...."
"Al, siapa perempuan itu," teriak Rea dengan rahang mengeras.
Zika yang berdiri di antara mereka berdua, hanya tertunduk diam. Sesekali dia melirik ke arah Altan, ingin melihat reaksi perempuan itu. Dalam hati dia berharap Altan mengakui semuanya di depan Clareance.
Tapi sepertinya mustahil.
Sementara Altan tampak kebingungan. Kedua matanya melirik kiri kanan dengan gelisah, seolah sedang mengarang cerita untuk dijadikan alasan di depan calon istrinya.
"Dia ... Dia sepupuku," sahut Altan, membuat Zika seketika menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut.
Sungguh di luar dugaan. Bagaimana bisa Altan mengakuinya sebagai sepupu? Yang benar saja?
"Benar dia sepupu kamu?" Bibir Clareance mengerut, ekspresi wajahnya belum berubah sedikit pun. Ia masih merasa curiga.
"Iya, dia sepupuku. Kebetulan dia baru sampai dari luar kota. Jadi mau nginap dulu di sini?"
"Nginap di sini? Wah, kebetulan sekali, ya. Kayak nggak ada hotel saja di kota ini," sindir Clareance dengan lirikan tajam ke arah Zika, membuat perempuan yang sedang hamil muda itu berlalu pergi ke luar dari unit apartemen Altan, melewati pundak Clareance.
Sementara Altan hanya menatap kepergian Zika dengan bibir terkatup rapat. Ingin sekali dia berteriak memanggil kekasihnya itu agar kembali, tapi apa daya dia tak bisa melakukannya di depan Clareance.
"Masuklah," lirih Altan dengan wajah lesu. Dalam hati dia berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dengan Zika.
Bagaimanapun Altan masih merasa khawatir. Perempuan itu baru saja mencoba bunuh diri dengan pisau dapur di apartemennya beberapa saat yang lalu.
Meski Altan berhasil membujuk dan membuat emosi Zika kembali tenang, tapi dia tidak bisa menjamin emosi perempuan itu akan tetap teredam. Apalagi setelah dia melihat Rea muncul tiba-tiba di apartemen Altan.
"Perempuan itu tadi ...."
"Rea," potong Altan cepat. Pria itu berbalik menghampiri Clareance yang masih berdiri di belakangnya. Ia raih kedua tangan gadis itu dan meremasnya lembut.
"Jangan bahas soal dia. Aku nggak mau kita berantem lagi."
"Tapi Altan ...."
"Ssst ...." Altan menutup bibir Clareance dengan ujung telunjuknya.
"Aku sudah bilang ke kamu kan tadi, dia itu sepupuku. Apalagi yang ingin kamu ketahui?"
"Kamu nggak bohong?"
Altan tertawa sumbang, wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Clareance.
"Kenapa aku harus bohong? Sebentar lagi kita akan menikah, nggak ada gunanya aku bohong sama kamu, sayang," katanya lembut. Ujung jemarinya mengusap wajah Clareance, meredakan emosi yang terpancar di matanya.
"Kalau dia memang sepupumu, kenapa sikapnya seperti itu? Sama sekali nggak sopan. Apa dia tahu kalau kita berdua akan menikah?"
Altan menggeleng, sebelah tangannya memainkan rambut Clareance yang menjuntai melewati bahu.
"Can we stop talking about her? Aku mau fokus sama hubungan kita berdua."
Clareance terdiam. Perasaannya masih tidak enak. Dia curiga ada sesuatu yang sengaja di tutupi Altan Bagaskara. Tapi, lagi-lagi Altan tak sanggup mengatakannya. Dia takut.
Clareance takut kehilangan dan gagal lagi dalam hubungan percintaan.
"Kamu datang ke sini bukan untuk memulai pertengkaran denganku, kan?"
Perempuan itu menggeleng. Dia datang untuk berbaikan. Tapi, sesuatu yang tadi dia lihat membuat keraguan di dalam hatinya.
Jangan-jangan ....
Maaf udahan dulu ya...aku lanjut besok lagi..
Jangan lupa like, vote dan komennya aku tunggu
Bersambung