Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Jari-jarinya terus mengelus rambut Zayyan, lembut dan penuh ketulusan. Sentuhannya seperti membawa ketenangan. Napas Zayyan yang semula terengah mulai mereda. Guratan gelisah di wajahnya perlahan memudar, seakan luka di jiwanya menemukan sedikit ruang untuk bernapas.
Beberapa saat kemudian, Zayyan tampak lebih tenang. Tubuhnya rileks, dan ia tertidur lebih damai dibanding sebelumnya. Melihat itu, Aluna menarik napas lega, meski air mata tetap jatuh dari sudut matanya.
Ia berdiri pelan, lalu membentangkan selimut yang tadi ia ambil, menyelimuti tubuh Zayyan dengan hati-hati, memastikan bahunya tertutup dengan hangat. Setelah itu, ia kembali duduk di lantai, enggan meninggalkan lelaki itu sendirian.
Tangannya masih menggenggam tangan Zayyan, sementara kepalanya bersandar ke sisi sofa. Matanya yang semula terbuka perlahan-lahan mulai terpejam. Tubuhnya yang letih akhirnya menyerah.
Dan di bawah cahaya temaram lampu gantung itu, dua jiwa yang sama-sama terluka terbaring dalam diam, berbagi kehangatan dalam hening. Malam menjaga mereka dalam pelukan sunyi, seperti ingin memberi ruang bagi hati mereka untuk saling mengenali.
Tidak ada janji, tidak ada kata-kata besar. Hanya genggaman tangan yang tak ingin melepaskan, dan bisikan hati yang mengucap, aku di sini, kau tidak sendirian lagi.
...----------------...
Fajar belum juga menampakkan dirinya ketika tubuh Zayyan perlahan mulai menggeliat dari dalam selimut yang menutupinya. Nafasnya berat, matanya terasa berat, dan kepalanya seperti baru kembali dari tempat yang jauh. Tapi suara napas lembut yang teratur, suara yang begitu manusiawi dan nyata, membuat Zayyan membuka matanya perlahan-lahan. Pandangannya masih buram, namun saat ia mengerjapkan mata beberapa kali, cahaya samar dari lampu meja menyinari wajah seseorang yang tertidur di sampingnya.
Aluna.
Gadis itu tertidur dengan kepala yang hampir menyentuh ujung sofa ruang tamu, tempat Zayyan berbaring. Kedua tangannya yang kecil terlipat rapi di dekat pipinya, dan helaian rambutnya yang jatuh sembarangan justru membuatnya terlihat lebih lembut, lebih dekat. Ada jejak kelelahan di wajahnya, tapi juga ketulusan yang membuat napas Zayyan tercekat. Hatinya bergetar melihat sosok itu berada di sisinya, diam-diam menjaganya dalam diam.
Zayyan mencoba duduk perlahan, tubuhnya masih terasa berat. Gerakan kecilnya menimbulkan bunyi samar dari gesekan kain, cukup untuk membuat Aluna menggeliat pelan. Gadis itu membuka matanya dengan cepat saat menyadari suara itu berasal dari sofa tempat Zayyan terbaring.
"Zayyan...?" suara Aluna serak dan pelan, namun segera berubah menjadi lega, seolah seluruh beban yang dipikulnya semalam luruh dalam sekali pandang. Ia segera duduk dan meraih tangan laki-laki itu, memeriksa suhu tubuhnya.
"Kau sadar... akhirnya kau sadar juga," katanya, napasnya sedikit gemetar. "Aku benar-benar khawatir kemarin... Kau jatuh pingsan tiba-tiba. Dan... kau terus menyebut nama seseorang. Alya."
Nama itu. Seperti denting logam yang jatuh di lantai sunyi, mengisi ruang yang sedari tadi hanya berisi keheningan dan rasa hangat. Zayyan menunduk. Jemarinya mencengkeram selimut di pangkuannya, dan dalam diam, wajahnya perlahan menegang. Matanya seperti menatap ke tempat yang jauh, lebih jauh dari apartemen itu, lebih dalam dari luka yang selama ini ia simpan sendiri.
"Aluna..."
Suara Zayyan lirih, nyaris tak terdengar, namun cukup membuat gadis di hadapannya tetap menatapnya, dengan rasa ingin tahu yang dibingkai oleh rasa empati.
"Boleh aku bertanya? Siapa Alya...?"
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/