Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Di Jakarta, dua hari berlalu
Ballroom Hotel Amarta dipenuhi kemewahan.
Lampu gantung kristal berkilauan. Musik klasik mengalun lembut. Tamu-tamu elite berdatangan dengan jas mahal dan gaun elegan. Resepsi pernikahan Nadine dan Reza—yang katanya sekaligus pengumuman pewaris baru Wicaksono Group—dimulai.
Semua orang sibuk bersalaman, berfoto, dan membicarakan “masa depan keluarga besar”.
Di tengah arus tamu...
Dewa berdiri di depan ballroom hotel mewah tempat resepsi Nadine akan digelar. Di dalam, para tamu mulai berdatangan. Undangan eksklusif, para pemilik saham, keluarga besar, media.
Ibunya menghampiri. “Jangan membuat keributan, Dewa. Hari ini hari baik untuk Nadine dan Reza. Hormati.”
Dewa memandangi ibunya dengan tatapan kecewa. “Kalian menyingkirkan aku dengan cara paling sopan. Tapi tetap menyakitkan.”
Ibunya hanya tersenyum tipis, belum sempat meninggalkan tempat itu terdengar langkah seorang perempuan mengejutkan semua mata.
Ia memakai kebaya klasik warna merah marun, dipadukan dengan kain batik sogan yang anggun. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi bunga melati di sisi kiri. Tapi bukan penampilannya yang membuat semua orang terdiam melainkan auranya.
Berani. Tegas. Tak gentar.
Dewi Ayu Ningrat, melangkah masuk ke dalam ruang pesta tanpa undangan.
Ibunda Dewa, tante-tante, hingga Nadine dan Reza langsung menegang.
Beberapa tamu mulai berbisik:
“Itu siapa?”
“Kok kayak bangsawan Jawa?”
Ibunya Dewa melotot.
“Dewa, jangan bilang kamu—”
“Dia datang sendiri,” potong Dewa pelan.
Dewi berjalan langsung ke arah mereka, Langkah Dewi tak goyah. Ia terus maju hingga berdiri di depan panggung utama, lalu berhenti tepat di depan sang ibu dan para anggota keluarga besar. mengambil mikrofon dari tangan MC, lalu menatap seluruh ruangan.
Tatapannya tegas, suaranya jernih
“Maaf, saya nggak datang buat ganggu resepsi. Saya tidak diundang, tapi saya tidak bisa membiarkan malam ini penuh kepalsuan.”
“Saya cuma mau berdiri di samping orang yang kalian tinggalkan.”
Dan ia menoleh ke Dewa, matanya menatap dalam.
“Aku pulang bukan buat kamu selamatin aku. Tapi buat bilang... kita bisa selamatin satu sama lain.”
Lalu Dewi menatap semua orang di sana
“Nama saya... Dewi Ayu Ningrat. Putri tunggal dari keluarga Ningrat Yogyakarta. Dan saya adalah... tunangan yang dulu dijodohkan pada Dewa Satria Wicaksono sebelum saya memilih kabur.”
Hening.
Semua mata terpaku.
Ibunda Dewa shock wajahnya memucat. “Kau tak pantas masuk ke sini! Ini bukan tempatmu!”
Tapi Dewi tersenyum tipis. Sopan, tapi menghancurkan. “Oh, tapi ini tempat saya. Karena saya datang bukan sebagai perempuan biasa. Saya datang sebagai seseorang yang kalian singkirkan dari rencana besar kalian... hanya karena saya menolak dikendalikan.”
Nadine melangkah maju. “Kamu pikir kamu bisa merebut semuanya hanya dengan muncul seperti ini?”
Dewi menatap tajam. “Saya tidak rebut apa pun, Nadine. Karena saya bukan pengejar pewarisan. Saya datang untuk menjemput orang yang kalian jebak dalam permainan kalian.”
Ia mengulurkan tangan ke arah Dewa, yang berdiri tak jauh dari sana. Mata Dewa merah tak percaya dan tak pernah menyangka Dewi akan datang... dengan sekuat ini.
“Dewa... kamu bebas memilih. Tapi kalau kamu masih ingat siapa diri kamu sebelum semua harta dan jabatan ini... ikut aku. Keluar dari pesta boneka ini.” Ujar Dewi
Dewa tak berkata apa-apa. Tapi ia turun dari panggung. Langkahnya tegap, meninggalkan keluarganya.
Ibunya berseru, “Dewa! Jangan gila!”
Tapi Dewa hanya berkata, “Kalian yang gila. Kalau cinta dan keluarga hanya dinilai dari saham dan nama belakang.”
Lalu... ia menggenggam tangan Dewi.
Dan mereka berjalan keluar ballroom bersama.
Tamu-tamu menonton dengan mata membelalak. Tak ada yang berani menghentikan.
Sementara MC hanya bisa berdiri terpaku, memegang mikrofon yang tadi dipakai Dewi.
Di luar ballroom...
Dewi dan Dewa berdiri di trotoar malam. Hujan tipis turun. Tapi keduanya hanya tertawa.
“Aku bahkan gak sempat makan hidangan buffet,” ucap Dewi.
Dewa tersenyum kecil. “Tapi kamu habisin seluruh pesta dengan satu pidato.”
Dewi menoleh. “Kamu nyesel?”
Dewa menggeleng. “Kalau nyesel, harusnya aku gak pegang tangan kamu tadi.”
Dewi mengangguk. “Bagus. Karena mulai malam ini... kita jalan bukan karena siapa yang dijodohkan, tapi karena kita berani pilih satu sama lain.” lalu mereka duduk di halte bus tidak jauh dari sana
Dewi menyender di bahu Dewa.
“Kamu tahu nggak?” katanya, “kalau kita jadi sinetron... aku rasa penonton pasti muak sama keluarga kamu”
Dewa tertawa. Pertama kalinya terdengar lepas sejak lama.
“Dan jatuh cinta sama kamu,” balasnya.
Dewi mengangkat alis. “Siapa tahu aku yang jadi penjahat, bukan?”
Dewa menoleh. “Aku sih udah yakin. kamu... adalah karma baik ku.”
Dan malam itu, di buku hariannya, Dewi menulis:
Hari ini aku pakai nama panjangku dengan bangga... bukan karena ingin terlihat lebih tinggi, tapi supaya orang tahu: aku berdiri bukan cuma untuk diriku sendiri, tapi juga untuk dia.
Dia yang dulu diam, sekarang bersuara. Dan aku di sampingnya. Bukan sebagai tunangan... tapi sebagai teman seperjuanga
Bersambung