Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Fajar menyingsing, cahaya matahari perlahan menerobos celah jendela kamar itu. Arga sudah terbangun sejak azan Subuh berkumandang. Dengan khusyuk, ia menunaikan sholat Subuhnya di sudut kamar. Setelah selesai, ia melipat sajadahnya rapi. Matanya tak sengaja menatap sosok Tere yang masih terlelap di ranjang. Wajah cantik itu tampak begitu damai, rambut panjang terurai di bantalnya. Hati Arga menghangat, meski ia tahu, jarak di antara mereka lebih dari sekadar jarak fisik.
Masya Allah… cantik sekali istri ku ini… tapi aku hanya bisa mengagumi dari jauh… batin Arga. Ia tak berani membangunkan, hanya memandang sekejap lalu melangkah keluar kamar, menuju bawah.
Sementara itu, Tere baru terbangun sekitar satu jam kemudian. Matanya mengerjap malas, lalu menoleh ke arah sofa. Tak ada Arga di sana. Ia sedikit heran, tapi buru-buru bangkit dan menyiapkan diri untuk mandi. Sebagai CEO cantik dan berkarakter kuat, ia tak ingin terlihat lemah di depan siapa pun, apalagi staf kantornya.
Setelah siap, Tere turun ke ruang makan. Di sana, Arga sudah duduk rapi bersama Papa Adrian dan Mama Linda. Aroma sarapan tercium harum memenuhi ruangan. Tapi suasana canggung terasa, terutama di hati Arga.
Mama Linda menatap Tere dengan alis terangkat.
“Tere… harusnya istri itu bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan untuk suaminya. Bukan malah suaminya yang lebih dulu siap.”
Tere menghela napas, malas berdebat pagi-pagi.
“Ma, aku capek… jangan debat dulu, ya? Ini masih pagi…” jawabnya santai, mencoba menghindar.
Arga hanya menunduk, diam tak berkata. Mama Linda hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah putri semata wayangnya itu, tak sesuai dengan umur dan statusnya kini sebagai istri.
Sarapan pun berlangsung dalam keheningan. Hanya terdengar suara sendok garpu beradu dengan piring. Arga semakin canggung. Melihat itu, Papa Adrian berinisiatif memecah suasana.
“Arga, kamu hari ini kerja ke mana?” tanyanya ramah.
Arga tersenyum tipis, menjawab sopan.
“Saya mau ke Cafe Aluna, Pak…”
Mama Linda menimpali cepat, lembut namun tegas.
“Jangan panggil ‘Pak’. Panggil Papa, ya. Dan aku Mama. Kamu anak kami sekarang, Arga…”
Arga mengangguk canggung, tak kuasa menolak.
“Iya… Pa… Ma…” sedikit gugup
Papa Adrian tersenyum, lalu menoleh ke Tere.
“Kamu, Tere? Hari ini ada aktivitas apa di kantor?”
Tere meletakkan sendoknya, menatap Papa sebentar.
“Banyak meeting, Pa. Apalagi ada proyek desa itu, aku udah nggak tertarik lagi. Setelah insiden itu, aku nggak mau urus. Capek harus dipaksa…”
Papa Adrian menatap putrinya penuh makna.
“Sudahlah. Sekarang kamu antar suamimu ke tempat kerja.”
Tere langsung menolak halus, suaranya datar.
“Maaf, Pa. Aku sibuk banget hari ini…”
Arga buru-buru mencoba menenangkan suasana.
“Gak apa-apa, Pa. Saya naik ojek online aja…” katanya, sedikit canggung karena pertama kali memanggil sebutan itu.
Tapi Papa Adrian bersikeras.
“Tidak. Antar Arga. Jangan biarkan dia naik ojek online begitu. Itu suami kamu.”
Akhirnya, dengan berat hati, Tere mengangguk.
“Baiklah…”
Di perjalanan, mobil Tere melaju mulus. Tak ada percakapan di dalamnya. Hanya suara deru mesin dan AC yang terdengar. Arga hanya menatap ke depan, sesekali melirik pemandangan kota. Tere fokus menyetir, tak mau menoleh.
Saat tiba di Cafe Aluna, teman-teman Arga—Nadia, Fahri, dan Siska—melihat Arga turun dari mobil sport mewah itu. Mereka saling berpandangan, ada kekagetan di wajah mereka.
Siska, yang memang sejak lama menyimpan rasa pada Arga, merasakan cemburu membara.
Siapa wanita cantik dewasa itu? Kenapa Arga bersamanya? pikir Siska.
Arga membungkuk sedikit, mengucapkan terima kasih.
“Makasih ya, mba Tere…”
Tere hanya menjawab singkat, acuh.
“Hmmm…”
Tanpa menunggu lama,Mobil sport Tere melaju menjauh, meninggalkan Arga yang berdiri sejenak sambil menarik napas dalam. Ia menghela pelan lalu melangkah menghampiri teman-temannya yang sudah menunggunya di depan cafe.
“Eh, Fahri, Jaka mana? Kok nggak keliatan? Semalam kan kamu yang anter dia pulang,” tanya Arga
Fahri nyengir, merapikan celemeknya.
“Paling masih molor, Ga. Biasalah, anak itu kalau udah tidur, susah bangun.”
Belum habis ucapan Fahri, suara motor ojek online berhenti di depan mereka. Jaka turun sambil senyum konyol, melepas helmnya dengan gaya sok keren.
“Pagi dunia! Lihat nih, artis kampung naik ojek online. Mantap nggak?”
Arga dan Fahri tertawa kecil melihat tingkah sahabatnya itu. Jaka menepuk bahu Arga dengan akrab.
Lalu Fahri tak tahan menahan rasa penasarannya, mencondongkan badan ke arah Arga.
“Ga… ngomong-ngomong, siapa tuh cewek cantik yang nganterin lo barusan? Wajahnya… duh, cakep banget. Mobilnya, aduh, bikin silau mata gue.”
Arga tersenyum canggung, mencoba santai.
“Ah, siapa sih… temen aja kok. Nggak penting lah.”
Jaka cuma tersenyum-senyum penuh arti, karena hanya dia yang tahu siapa wanita itu sebenarnya. Ia memilih diam, membiarkan Arga yang menjawab.
Arga buru-buru mengalihkan topik.
“Udah yuk, siap kerja. Banyak kerjaan hari ini.”
Mereka mulai sibuk, namun saat ada jeda, hanya Arga dan Jaka yang berdiri berdua menata meja. Jaka tak tahan lagi menggoda.
“Eh, Ga… gimana? Malam pertama lo enak nggak, pengantin baru?” godanya dengan cengiran khas.
Arga menggeleng sambil tersenyum lelah.
“Ada-ada aja lu, Jak. Mana mungkin. Aku ke sana juga cuma disuruh orang tuanya Mba Tere. Kamu tahu sendiri, Jak… dia itu langit, aku bumi. Mana mungkin.”
Jaka menepuk bahu sahabat kecilnya itu, ada rasa iba di wajahnya.
“Sabar ya, Ga. Tuhan nggak tidur. Siapa tahu nanti ada jalan.”
Mereka pun kembali fokus bekerja, menata cafe untuk buka.
Sementara itu, di kantor Tere…
Tere baru saja memasuki gedung kantornya. Langkahnya terhenti saat melihat Rio sudah berdiri menunggunya di dekat pintu masuk ruangan.
“Kamu sudah di sini dari kapan, sayang?” tanya Tere sedikit terkejut.
“Baru saja,” jawab Rio dengan senyum manis. “Aku kangen kamu.”
Tere tersenyum, mengajak Rio masuk ke ruangannya. Begitu pintu tertutup, Rio langsung memeluknya erat. Tere membiarkan saja, meski dalam hati ada rasa bersalah yang makin menyesakkan.
Sudah berapa kali aku khianati Arga? batinnya, menunduk sejenak.
Pelukan hangat itu buyar saat pintu terbuka tiba-tiba. Vina, asisten sekaligus sahabat Tere, masuk tanpa mengetuk. Tatapannya menusuk ke arah Rio, tak menyembunyikan rasa tidak sukanya. Rio malah bersikap acuh, pura-pura tak melihatnya.
Tere cepat-cepat beralih menatap Vina.
“Apa agenda aku hari ini, Vin?”
Vina menyerahkan berkas dan menjawab datar.
“Ada meeting jam sepuluh, lalu siang ini kamu cek progres proyek desa, dan sore nanti ada conference call sama klien dari Jepang.”
Rio tersenyum tipis.
“Kalau begitu aku nggak mau ganggu. Aku pamit dulu. Nanti malam minggu kita keluar ya?”
Tere mengangguk, meski perasaan di hatinya makin kacau.
“Iya, aku siapin waktu.”
Rio pun pergi, sementara Vina hanya diam, menatap sahabatnya seakan ingin berkata sesuatu tapi menahannya.