Reina Amelia merupakan pembunuh bayaran terkenal dan ditakuti, dengan kode name Levy five. Sebut nama itu dan semua orang akan bergidik ngeri , tapi mati karena menerima pengkhianatan dan gagal misi.
Namun, Alih-alih beristirahat dengan tenang di alam baka, jiwa Reina malah masuk ke tubuh seorang siswi bernama Luna Wijaya yang merupakan siswi sangat lemah, bodoh, jelek, dan menjadi korban bullying di sekolah.
Luna Wijaya, yang kini dihuni oleh jiwa pembunuh bayaran, harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kehidupan sekolah yang keras hingga mencari cara untuk membalas dendam kepada keluarga dragon!
“Persiapkan diri kalian … pembalasan dendamku akan dimulai!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
DIKA atau seseorang dengan nama asli Hans itu tersedak, Saat ia ingin mencicipi mie ayam untuk pertama kalinya, dia langsung menelannya tanpa mengunyah dengan benar. Akibatnya, mi yang keras dan besar terjebak di tenggorokannya, membuatnya sangat kesulitan bernapas. Matanya langsung terbuka lebar seakan-akan terkejut akan kejadian tersebut. Bibirnya terbuka, tubuhnya gemetaran, dan dia terbatuk keras, mencoba untuk membebaskan tenggorokannya dari mie tersebut yang terjebak.
Terlepas dari cara makan yang tak telaten. Informasi yang didapatkan dari seorang gadis di sebelahnya begitu mengejutkan, hingga membuat ia tersedak.
“Hei, makan dengan hati-hati. Jangan terlalu terburu-buru.” Luna berkata seraya menepuk pundak pria tersebut, ada kilatan merasa bersalah di mata si gadis. Mata seolah menyadari bahwa lawan bicara ini boleh jadi sudah tak makan lebih dari seminggu.
“Uhuk .. Uhuk ..” Hans terbatuk, kini menatap Luna penuh tanda tanya. “gak bisa dipercaya. Jadi kamu nyatanya adalah si mamak lampir itu. Sayang wajah cantikmu neng.”
Kala mendengar perkataan itu, ekspresi wajahnya berubah. Kelopak mata menjadi tajam, tangan terayun memberikan pukulan ke perut. Hans mengaduh kesakitan, sementara Luna berseru marah. “Siapa yang kamu panggil, mak lampir?”
Kendati emosi yang memuncak, bisa meledak kapan pun. Ia cukup senang. Pasalnya sebutan Mamak lampir, sudah mendarah daging untuknya. Paling kerap diucapkan oleh Hans. Walau jelas ia tak suka dengan sebutan tersebut. Namun ia cukup merasa nostalagia.
Hans memegang perutnya. “gak diragukan lagi, memang ni orang adalah Reina … Tapi, kenapa kamu bisa berada di tubuh Luna Wijaya?”
Luna mengelengkan kepala. “Aku sendiri tak tahu. Yang jelas pemilik tubuh ini mati, lalu jiwaku bereinkarnasi ke sini. Sulit dipercaya bukan?”
“Gak juga, lagian memang cerita ini genre yang demikian,” ucap Hans memakan mie Ayam yang tersisa.
“Hah,” Luna menghela napas, lalu melanjutkan. “kamu sendiri. Apa yang kamu lakukan? Menyamar menjadi anak sekolah? Bahkan menjadi salah satu anggota keluarga Elang? Apa rencanamu.”
Suasana tiba-tiba saja menjadi hening. Hans tak mau menjawab. “Pertama untuk alasan masuk ke sekolah, aku punya rencana sendiri. Kalau kamu penasaran. Aku mengejar seorang pengkhianat diantara kita.”
Luna kaget mendengar perkataan dari Hans. “Maksudmu pengkhianat dari anggota BSO sekarang berada di sekolah!?”
Hans cuma menganggukan kepala.
“Hei coba jelaskan lebih detail—”
“Ogah! Mungkin akan ku jelaskan nanti, yang paling penting sekarang adalah …” Hans merogoh saku, sebuah flashdisk kecil ia taruh di meja. “ kamu tadi bertanya alasan masuk keluarga elang? Jawabannya apa lagi kalau bukan merampas data-data mereka.”
Kelopak mata Luna terbuka lembar. Hans adalah hacker level atas kemampuannya sudah bisa membobol segala jenis data, bahkan data pemerintah pun bisa ia terobos dengan mudah. “Bagus, apa saja yang kamu dapatkan.”
“Lokasi markas keluarga Elang, dan susunan anggotanya.”
Luna tersenyum. Tampaknya malam hari ini ia bisa berpesta. “kerja bagus.”
*
“Lah, kamu ternyata masih hidup. Hans!?” Saat ia melihat sosok yang dikenal, Thomas dan Ryan tak bisa menahan keterkejutan.
“Ya, lama gak ketemu. Tuan Gigola, dan kamu … siapa?” saat mata hazelnya bertemu dengan Ryan. Ia bingung. Pasalnya perubahan fisik dari pemuda itu terlalu kentara.
“Ini aku .. Ryan ah, kalian lebih sering panggil aku bos Vongola 9.”
Detik itu juga ia terkesiap. “WTF. Jadi kamu si pria berkacamata dan nolep itu? Gila dua tahun benar-benar buat orang berubah.”
Sebelum percakapan bisa berlanjut, Luna melangkah maju, matanya tajam dan penuh otoritas. Sebagai pimpinan dari organisasi BSO, ia tahu bahwa waktu mereka sangat berharga. “Cukup basa-basinya,” ucapnya tegas, mengalihkan perhatian semua orang kembali ke tujuan mereka. “Levy One, Levy Two, aku senang kalian masih hidup.”
Kedua pria itu saling menatap dan tersenyum. Ada kelegaan dan semangat yang terlukis di wajah mereka, meskipun ketegangan yang menggantung di udara tak bisa diabaikan. Mereka tahu bahwa ucapan singkat Luna adalah bentuk pengakuan yang jarang diberikan—sebuah pengakuan bahwa mereka adalah bagian penting dari tim ini.
“Lokasi kediaman keluarga Elang telah ditemukan,” lanjut Luna, suaranya berubah serius. “Dan dengan beberapa struktur pimpinan serta agenda yang mereka lakukan, kita punya peluang emas. Menurut data dari Levy Two, mereka sekarang sedang mengadakan pesta, merayakan ulang tahun bos keluarga Elang. Kuyakin mereka sedang mabuk-mabukan sekarang. Kalian paham maksud perkataanku?”
Suasana di ruangan itu semakin mencekam. Ketiga pria itu menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan, mengetahui bahwa momen ini adalah titik krusial dalam misi mereka. Ryan, yang berdiri paling dekat dengan Luna, tersenyum samar. “Lokasi sudah ditemukan, ya? Kau selalu bergerak cepat, Luna,” pujinya, tapi dalam nada suaranya, terselip respek yang mendalam.
Luna membalas senyum Ryan, namun dengan tatapan yang sarat dengan keseriusan. “Saat kondisi para musuh sedang berpesta, menikmati mabuk-mabukan dan makanan, itulah saat yang tepat untuk menyusup. Ini kesempatan terbaik kita, tetapi harus diingat, sebisa mungkin hindari pertarungan. Kita kalah jumlah, dan mereka ada di wilayah mereka sendiri. Misi utama kita malam ini adalah…”
“Mengambil kembali Vongola Book…” seru mereka secara bersamaan, suara mereka rendah namun dipenuhi dengan determinasi yang membara.
Setelah mereka semua mengucapkan tujuan itu, seolah ada energi baru yang mengalir di antara mereka. Ruangan itu hening sejenak, hanya suara detik jam yang terdengar, seperti detik-detik menuju pertarungan yang tak terhindarkan. Di luar, angin malam yang dingin meniup lebih kencang, seakan memberikan peringatan bahwa misi ini tidak akan mudah.
Ryan melirik ke arah Luna, matanya penuh pertanyaan yang tak terucap. Luna mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa mereka harus bersiap. Setiap detik yang berlalu membawa mereka semakin dekat ke momen penentuan, dan tidak ada ruang untuk keraguan atau kesalahan.
“Kita akan bergerak dalam tiga puluh menit,” Luna berkata, suaranya lebih tenang namun tak kalah tegas. “Persiapkan diri kalian, periksa senjata, dan pastikan kita punya semua yang kita butuhkan. Ingat, ini bukan sekadar misi penyusupan. Ini adalah pertaruhan hidup dan mati. Kita harus bisa menghilang tanpa jejak setelah misi selesai.”
Mereka semua mengerti. Malam ini, tidak ada ruang untuk kelengahan. Vongola Box harus kembali ke tangan mereka, apapun yang terjadi. Di tengah-tengah malam yang semakin gelap, mereka bersiap untuk menyusup ke sarang musuh, tahu bahwa keberhasilan atau kegagalan misi ini akan menentukan masa depan mereka. Tidak ada yang bisa memastikan bagaimana misi ini akan berakhir, tetapi satu hal yang pasti—mereka tidak akan mundur, tidak peduli betapa beratnya rintangan di depan.