Ji Fan, seorang pemuda dari clan ji yang memiliki mata misterius, namun akibat mata nya itu dia menjadi olok-olokan seluruh clan.
Didunia yang kejam ini, sejak kecil dia hidup sebatang kara tanpa kultivasi, melewati badai api sendirian. Sampai pada akhirnya dia tanpa sengaja menemukan sebuah buku tua yang usang. Buku itu adalah peninggalan ayahnya yang didapat dari seorang laki laki paruh baya dimasa lampau. Awalnya dia tidak mengerti buku apa itu, Tetapi setelah mempelajari bahasa dewa kuno, dia mulai mengerti, buku itu adalah buku Teknik Terlarang Kultivasi Naga Kegelapan. Dalam buku itu tertulis berbgai ilmu pengetahuan dan langkah-langkah jalan kultivasi, sejak saat itu Ji Fan berubah dari yang awalnya sampah menjadi kultivator puncak yang ditakuti di seluruh alam. Dan orang-orang memanggilnya dengan sebutan 'Orang Buta Dari Kegelapan Naga' .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bingstars, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Suara gong bergema keras hingga menggetarkan dada, menandakan satu jam penyiksaan telah berakhir.
Bersamaan dengan itu, Tetua Zhen melambaikan tangan keriputnya. Asap dupa berwarna biru menyebar cepat ke seluruh lapangan. Lebah Jarum Besi, yang sedari tadi menggila menyerang peserta, mendadak berhenti mendengung. Seolah ditarik oleh tali tak kasat mata, ribuan lebah itu terbang kembali masuk ke dalam lubang tanah, menghilang ke dalam kegelapan perut bumi.
Lapangan itu kini hening, kecuali suara rintihan dan tangisan tertahan.
Pemandangannya seperti medan perang pasca pembantaian. Dari tiga ribu peserta awal, lebih dari separuhnya tergeletak di tanah. Tubuh mereka bengkak kemerahan akibat sengatan racun, beberapa wajah bahkan tak bisa dikenali lagi. Bau amis darah bercampur aroma keringat basi dan urin memenuhi udara, membuat perut mual.
Ji Fan menghembuskan napas panjang yang tertahan di tenggorokan. Kaki Ji Fan gemetar hebat, bukan karena racun, tapi karena ketegangan menahan otot selama satu jam penuh tanpa bergerak sedikit pun.
"Kerja bagus, Patung Batu," ejek Naga Kecil dengan nada mencemooh di kepala Ji Fan. "Kau berhasil tidak mati karena diam saja. Prestasi yang sangat membanggakan untuk seorang pewaris klan agung."
"Diamlah," bisik Ji Fan serak. Tenggorokan Ji Fan terasa kering seperti pasir gurun.
Tetua Zhen menatap lautan manusia yang gagal itu dengan wajah datar tanpa emosi.
"Seret mereka keluar. Jangan biarkan sampah menghalangi jalan," perintah Tetua Zhen dingin.
Puluhan petugas Akademi berseragam hitam masuk ke lapangan. Petugas-petugas itu menyeret tubuh-tubuh yang membengkak itu tanpa belas kasihan, menarik kaki atau tangan mereka, lalu melempar tubuh-tubuh itu keluar gerbang seolah membuang karung beras busuk.
Hanya tersisa sekitar seribu orang yang masih berdiri, meski sebagian besar dari mereka gemetar ketakutan.
Ji Fan melihat sekeliling dengan waspada. Tuan Muda Chen yang Ji Fan lihat sebelumnya masih berdiri tegak di barisan depan. Jubah sutranya sedikit kusut, tapi Chen tampak segar bugar. Chen dikelilingi oleh aura pelindung tipis berwarna keemasan sebuah artefak pertahanan mahal. Orang kaya memang punya cara sendiri untuk curang secara legal.
Chen menoleh ke belakang, matanya bertemu dengan mata Ji Fan. Chen mengerutkan kening, jijik melihat pemuda dengan pakaian bernoda darah dan lusuh itu masih berdiri di sana.
"Hei, Tikus," panggil Chen lantang, suaranya cukup keras untuk didengar orang di sekitar. "Bagaimana kau bisa selamat? Bersembunyi di balik mayat orang lain?"
Beberapa pengikut Chen tertawa canggung, berusaha menjilat tuan muda itu.
Ji Fan tidak menjawab. Ji Fan terlalu lelah dan kesakitan untuk meladeni ego anak manja. Ji Fan hanya fokus mengatur napasnya yang pendek-pendek karena setiap tarikan napas mengirimkan sinyal nyeri dari rusuknya yang retak.
"Ujian Tahap Dua!" seru Tetua Zhen kembali menggelegar, memotong ejekan Chen.
Dinding batu di ujung lapangan terbuka perlahan dengan suara gemuruh berat. Di baliknya, terlihat sebuah lorong panjang yang gelap gulita. Dari dalam lorong itu, terdengar suara
klak
klik
klak
mekanis yang ritmis dan berat, seperti suara langkah kaki raksasa besi.
"Lorong Boneka Perunggu," umum Tetua Zhen sambil menunjuk ke kegelapan itu. "Ujian ini bukan tentang diam. Ini tentang bergerak. Di dalam lorong itu ada seratus Boneka Kayu Besi. Boneka-boneka itu tidak punya rasa sakit, tidak punya belas kasihan, dan pukulan mereka cukup untuk mematahkan tulang sapi dewasa."
Tetua Zhen tersenyum miring, senyum yang membuat bulu kuduk berdiri. "Kalian harus melewati lorong itu dan mencapai gerbang seberang. Waktu tidak terbatas. Tapi ingat, boneka-boneka itu diprogram untuk menghajar apa pun yang bergerak sampai berhenti bernapas."
"Siapa yang mau duluan?" tantang Tetua Zhen.
Keheningan melanda para peserta. Suara mekanis dari dalam lorong terdengar semakin mengintimidasi, menjanjikan rasa sakit.
"Minggir, pengecut!" Tuan Muda Chen melangkah maju dengan angkuh sambil mengibaskan kipasnya. "Biar aku tunjukkan cara kultivator sejati bekerja."
Chen berlari masuk ke lorong dengan percaya diri.
BRAK!
BUM!
Suara hantaman keras terdengar menggema. Cahaya Qi berwarna merah menyala di dalam kegelapan lorong, diikuti suara kayu pecah berderak.
"Hah! Lemah!" teriak Chen dari dalam lorong.
Chen keluar di sisi lain dalam waktu kurang dari lima menit. Chen sedikit terengah, tapi wajahnya berseri-seri bangga. Chen telah menghancurkan tiga boneka di jalannya dengan kekuatan murni.
"Giliranmu, Tikus," ejek Chen sambil menunjuk Ji Fan dari kejauhan dengan seringai meremehkan.
Ji Fan tidak bergerak. Ji Fan mengamati peserta lain yang masuk satu per satu.
Seorang pria kekar masuk dengan teriakan perang.
KRAK!
Suara tulang patah terdengar jelas dan mengerikan, diikuti jeritan memilukan yang terpotong tiba-tiba. Pria itu dilempar keluar dari mulut lorong dengan lengan kanan yang bengkok pada sudut yang tidak wajar. Pria itu pingsan karena syok.
"Boneka itu bereaksi terhadap kekuatan," analisis Naga Kecil dengan nada tajam. "Semakin keras kau memukul, semakin keras boneka-boneka itu membalas. Mekanisme pantul sederhana. Si bodoh Chen tadi hanya menang karena menggunakan kekuatan kasar artefaknya untuk menghancurkan mekanisme lawan sebelum sempat membalas."
"Aku tidak punya kekuatan kasar sekarang," gumam Ji Fan sambil memegang rusuk kirinya.
"Tepat. Jadi gunakan otakmu yang kecil itu. Jangan hancurkan mereka. Matikan mereka," perintah Naga Kecil.
Ji Fan melangkah maju. Ji Fan adalah peserta terakhir yang tersisa.
Saat Ji Fan masuk ke dalam lorong, kegelapan langsung menyelimuti pandangannya. Bau oli, kayu tua, dan sedikit amis darah menyengat hidung Ji Fan.
Di depan Ji Fan, berjejer boneka-boneka setinggi dua meter. Tubuh boneka-boneka itu terbuat dari kayu besi yang keras dan hitam, sendi-sendinya dilapisi tembaga yang berkilau suram. Mata mereka hanyalah lubang hitam kosong yang menatap tanpa jiwa.
Begitu Ji Fan melangkah, boneka terdekat langsung bereaksi. Lengan kayunya yang berat berayun horizontal, mengincar kepala Ji Fan dengan kecepatan mematikan.
Wussh!
Angin dari pukulan itu saja sudah membuat wajah Ji Fan perih.
Ji Fan menunduk cepat. Rasa sakit yang tajam menusuk dada Ji Fan saat Ji Fan menekuk tubuh secara tiba-tiba.
"Argh!" erang Ji Fan pelan.
Ji Fan tidak sempat mengatur napas. Boneka kedua di sampingnya menendang ke arah perut Ji Fan.
Ji Fan menjatuhkan diri dan berguling ke samping di atas lantai batu yang dingin. Lumpur mengotori wajah Ji Fan. Ji Fan tidak bisa memukul balik. Pukulan biasa Ji Fan tidak akan menggores kayu besi ini, dan menggunakan Qi berlebihan akan membuat rusuk Ji Fan semakin parah.
"Sendi lutut!" bentak Naga Kecil. "Ada celah di pelat tembaganya! Tusuk di sana!"
Ji Fan bangkit dengan susah payah, menghindari tinju boneka ketiga yang menghantam dinding batu di belakang Ji Fan sampai retak dan memercikkan serpihan batu ke pipinya.
Ji Fan memadatkan sisa Qi Kegelapannya di ujung jari telunjuk dan tengah. Jari Bayangan. Bukan untuk menghancurkan, tapi menusuk.
Saat boneka itu mengangkat kaki untuk melangkah maju, Ji Fan menusukkan jarinya ke celah kecil di belakang lutut boneka itu.
Klik.
Mekanisme boneka itu macet seketika. Boneka itu terhuyung ke depan dan jatuh berlutut dengan suara dentuman keras, tidak bisa bangkit lagi.
"Berhasil," desis Ji Fan dengan napas memburu.
Tapi ini baru satu. Masih ada puluhan lagi yang menunggu dalam kegelapan.
Ji Fan bergerak seperti bayangan yang kesakitan. Ji Fan tidak bertarung gagah berani seperti Chen. Ji Fan merangkak, berguling, dan menyelip di antara kaki-kaki boneka yang menghentak-hentak ingin meremukkannya.
Setiap gerakan adalah siksaan bagi tubuh Ji Fan yang sudah rusak. Keringat dingin bercampur darah dari luka betis Ji Fan yang terbuka lagi, meninggalkan jejak merah di lantai.
Bugh!
Satu kesalahan kecil. Siku boneka menyerempet bahu kiri Ji Fan saat Ji Fan terlambat menunduk.
Ji Fan terlempar menabrak dinding lorong. Pandangan Ji Fan berkunang-kunang seketika. Rasanya seperti ditabrak kereta kuda yang melaju kencang. Ji Fan terbatuk, dan kali ini ada rasa logam hangat di mulutnya. Darah.
"Bangun!" bentak Naga Kecil panik. "Boneka di depanmu sedang mengisi tenaga untuk pukulan palu!"
Ji Fan mendongak dengan pandangan buram. Ji Fan melihat dua tangan boneka itu terangkat tinggi, menyatu menjadi satu kepalan raksasa, siap meremukkan tengkorak Ji Fan menjadi bubur.
Ji Fan tidak bisa menghindar ke samping, Ji Fan terpojok oleh dinding.
"Sialan!" umpat Ji Fan.
Ji Fan nekat. Ji Fan tidak mundur, Ji Fan maju menyongsong maut. Ji Fan meluncur di antara kedua kaki boneka itu tepat saat tinju ganda itu menghantam tanah tempat Ji Fan tadi duduk.
BLAM!
Lantai batu retak dan serpihan batu beterbangan. Getarannya menjalar ke seluruh tubuh Ji Fan.
Ji Fan berada di belakang boneka itu sekarang. Ji Fan melihat mekanisme punggungnya yang terbuka. Tanpa pikir panjang, Ji Fan merobek kabel penggerak spiritual di sana dengan tangan kosong.
Boneka itu mati seketika, terkulai lemas seperti onggokan kayu.
Ji Fan merangkak maju, menyeret kakinya yang makin terasa berat. Ji Fan melewati boneka demi boneka dengan cara yang menyedihkan: menusuk sendi, memutus kabel, atau sekadar berlari menghindar sambil menerima goresan dan memar baru di tubuhnya yang sudah babak belur.
Di ujung lorong, cahaya matahari terlihat menyilaukan.
Ji Fan keluar dari lorong itu bukan dengan berjalan tegak layaknya pahlawan. Ji Fan jatuh tersungkur ke tanah berpasir di sisi lain, napasnya berbunyi ngik-ngik yang mengkhawatirkan.
Hening.
Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada sorakan. Para peserta yang lolos memandang Ji Fan dengan tatapan aneh. Ada yang jijik, ada yang kasihan, ada yang meremehkan.
Tuan Muda Chen tertawa lepas hingga bahunya berguncang. "Lihat itu! Dia merangkak keluar seperti kecoa! Hei, apakah kau yakin kau kultivator? Kau terlihat seperti pengemis yang tersesat di medan perang!"
Ji Fan tidak menjawab. Ji Fan membalikkan badan, menatap langit biru yang berputar-putar di atasnya. Ji Fan hidup. Ji Fan lolos. Itu saja yang penting.
Tapi kemudian, sebuah bayangan menutupi wajah Ji Fan, menghalangi matahari.
Ji Fan menyipitkan mata yang bengkak.
Berdiri di depan Ji Fan adalah seorang gadis dengan jubah biru langit Akademi yang bersih tanpa noda. Wajah gadis itu cantik namun dingin, seperti patung es yang dipahat sempurna. Mata gadis itu menatap Ji Fan dengan intensitas yang tidak wajar.
Su Meng.
Su Meng tidak mengejek seperti Chen. Su Meng berjongkok di samping Ji Fan, mengabaikan protes dari pengawal pribadinya yang berdiri di belakang.
"Kau," bisik Su Meng, suaranya pelan hanya untuk mereka berdua. "Di dalam lorong tadi... kau tidak menggunakan Qi Dasar biasa. Aura yang kau keluarkan saat memutus kabel boneka itu... terasa dingin dan asing."
Jantung Ji Fan berhenti berdetak sesaat. Apakah Ji Fan ketahuan?
Su Meng mendekatkan wajahnya, matanya menyipit tajam meneliti wajah Ji Fan yang penuh luka. "Dan kau menggunakan teknik menusuk sendi yang sangat presisi. Itu bukan keberuntungan orang bodoh yang asal pukul."
Ji Fan memaksakan diri untuk menyeringai, meski bibirnya berdarah dan gigi Ji Fan merah. "Aku cuma... pandai melihat barang rongsokan, Nona."
Su Meng menatap Ji Fan lama, seolah mencoba menembus jiwa Ji Fan dan membongkar semua rahasianya. Akhirnya, Su Meng berdiri dan melempar sebuah botol kecil ke dada Ji Fan.
"Minum itu. Itu Air Penyembuh Tingkat Rendah. Kalau kau mati di babak selanjutnya, aku tidak akan bisa tahu rahasiamu," ucap Su Meng dingin, lalu berbalik pergi dengan anggun.
Ji Fan menggenggam botol itu dengan tangan gemetar.
"Hati-hati, Bocah," peringat Naga Kecil, nadanya serius kali ini. "Gadis itu punya Mata Roh. Dia mencurigaimu. Satu langkah salah lagi, dan bukan cuma Ji Huo yang akan memburumu, tapi seluruh Akademi akan menjadikanmu bahan eksperimen."
Ji Fan membuka botol itu dengan gigi dan menenggak isinya. Rasa dingin yang menyegarkan menyebar ke rusuknya, meredakan rasa sakit yang membakar di dada.
Ji Fan menatap punggung Su Meng yang menjauh, lalu menatap Chen yang masih tertawa di kejauhan bersama kelompoknya.
"Biarkan mereka tertawa," batin Ji Fan, tekad membara di mata Ji Fan yang lebam. "Babak selanjutnya adalah pertarungan. Dan aku sudah muak dipukuli."
Tetua Zhen kembali naik ke podium. Wajah tua itu kali ini tidak tersenyum sama sekali.
"Tinggal seratus orang. Bagus. Kita sudah membuang sampah-sampah yang tidak berguna," seru Tetua Zhen.
"Tahap Tiga Arena Darah."
"Tidak ada boneka. Tidak ada lebah. Kali ini... kalian akan saling membunuh. Sampai tersisa sepuluh orang."
Mata Ji Fan melebar. Sepuluh orang? Dari seratus?
Ini bukan ujian masuk. Ini pembantaian massal.