Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Apa maksud kamu, menampar aku?" Bara tidak berkutik, dia hanya melihat ke arah tangannya yang terlihat gemetar. Baru kali ini menyentuh Laura, tapi sentuhan itu untuk menamparnya.
"Kamu belain dia yang hanya OG?"
"Saya memang hanya OG, Nona. Tapi tolong jangan sama ratakan saya dengan wanita seperti yang ada katakan tadi! Sudah jelas, saya OG."
"Kan, tadi kamu bilang kamu mau kerja lagi...
"Memangnya pekerjaan hanya itu saja? Maaf, saya tidak terima dengan apa yang anda katakan tadi. Saya permisi!" Hasya langsung pergi dari sana, sedangkan Bara hanya bisa mematung menatap kepergian Hasya.
"Ingat, ya, Ra! Lo kalau bicara dijaga! Jangan sampai tante sama om gue gak merestui hubungan kalian! Gue duluan!" Arsen ikut pergi dari sana.
Kini tinggal Bara dan Laura di sana. Keduanya terdiam tanpa ada yang berbicara. Sampai akhirnya Bara bergerak untuk mengambil tas kerjanya, dia juga akan pulang.
"Beb...
"Maaf, Ra. Saya hanya refleks, dan tolong kalau bicara hati-hati, jangan samapai orang lain sakit hati." ucap Bara.
"Kenapa kamu jadi begini?"
"Begini bagaimana?"
"Hubungan kita terlalu lama, Bar. Tapi, dari Lo gak pernah ada kemajuan. Apa perasaan yang Lo katakan ke gue itu hanya omongan belaka? Gue cewek yang ingin kepastian, Bar. Bahkan sekarang Lo lebih membela cewek yang memang baru di sini."
"Dia gak baru, sudah lebih dari dua tahun dia bekerja di sini...
"Tuh, benar, kan, Lo lebih membela dia dari pada gue!" terlihat pancaran amarah yang begitu kuat dari Laura. Dia merasa dipermainkan selama ini.
"Gue...
"Sekarang, mau lo bagaimana, Bar? Gue capek menjalaninya. Tujuh tahun lebih hubungan kita, begini-begini saja! Bahkan, hari ini lo tega menampar gue." pekik Laura.
"Sorry, gue memang gak sengaja dan gue juga gak suka lo ngomong begitu."
Laura menatap heran ke arah Bara. "Jadi, lo belain jal*ng itu?" seketika tangan Bara kembali melayang di udara, tapi dia kembali menjatuhkannya setelah melihat air mata yang membasahi pipi Laura.
"Tampar gue, Bar! TAMPAR!" Laura kembali memekik.
"Jangan pernah katakan itu lagi! Dia bekerja di restoran, bukan seperti yang lo katakan!" Bara ikut meninggikan suaranya. Dia merasa tidak terima dengan apa yang Laura katakan.
Laura memegang dadanya kuat-kuat, rasa sakit menjalar diseluruh tubuhnya. "Sampai sejauh itu, lo tahu tentang dia? Sejak kapan hubungan kalian di mulai?"
"Sudah, gue mau pulang! Gue malas berdebat sama lo yang gak akan ada ujungnya." Bara menjinjing tas kerjanya. Laku dia melangkah meninggalkan Laura.
"Lalu, hubungan kita bagaimana? Bukankah, lo udah bilah ke kedua orangtua gue untuk melamar gue?"
Deg
Langkah Bara terhenti, itu bisa jadi menjadi kesalahan fatalnya yang sudah berjanji akan melamar Laura dalam waktu dekat.
Laura tersenyum smirk melihat Bara berdiri mematung di depannya. Dia berharap, Bara masih bisa mempertahankan hubungannya. Dia merasa menyesal telah meminta kepastian dari Bara karena nika dia putus dari Bara, sumber uangnya akan pergi.
"Saya akan menjelaskannya langsung." jawab Bara akhirnya.
"Maksud kamu?"
"Silahkan keluar, saya akan mengunci ruangan ini." Bara tidak menjawab lagi, dia lebih memilih untuk pulang dengan cepat.
***
Sementara di luar kantor. Hasya berdiri, menunggu jalanan lengang untuk menyebrang jalan.
Tin tin tin
"Hai, manis!" sapa Arsen. Dia membunyikan mobilnya untuk menyapa Hasya.
Hasya menoleh dan dia hanya tersenyum tipis lalu dia kembali fokus ke jalanan.
"Masuk! Saya antar." ucap Arsen.
"Maaf, Om. Saya pulang sendiri." jawab Hasya.
Mata Arsen membola. "Om? Dia dipanggil, 'Om'? Yang benar saja?"
"Kenapa jadi panggil, Om" tanya Arsen.
"Lalu saya harus memanggil tuan juga? Sekarang, kan, sudah di luar jam kerja." jawab Hasya. "Yaah... Lama banget, bunda pasti nungguin." wajah Hasya berubah muram saat melihat jalanan yang belum juga lengang.
"Semua gara-gara Lo!"
"Aaaa...!" Hasya memekik saat tiba-tiba rambutnya ditarik oleh Laura.
"Woy! Nenek gayung!" Arsen terlihat kaget dan langsung keluar dari mobilnya.
"Sialan, lo! Gara-gara lo, pacar gue memihak lo!" pekik Laura.
"Laura! Lo ingat ini di mana? Ini pinggir jalan, Laura!" Arsen meninggikan suaranya. Dia mencoba melepaskan rambut Hasya dari cengkraman kuat Laura. Mata Hasya terlihat berkaca-kaca menahan sakit tarikan di rambutnya.
"Lepas, gak?" bentak Arsen . Dan itu membuat para pengguna jalan menghentikan kendaraannya. Mereka melihat apa yang sedang terjadi di sana.
Tin tin tin
Bara yang baru saja mau keluar membunyikan klaksonnya. Tapi karena terlihat keributan di depannya, dia terpaksa mematikan mobilnya.
"Ada apa, sih? Si Arsen juga kenapa parkir mobil di situ." ucap Bara, heran.
"Lepas! Lo bisa gue tuntut, Laura!" Arsen kembali membentaknya.
Mendengar suara Arsen, Bara memutuskan untuk keluar dari mobilnya, dan dia berlari saat melihat apa yang sedang terjadi di sana.
"Bawa pacar lo pulang!" Arsen membentak Bara. Terlihat kilatan amarah dari matanya.
"Laura! Polisi menunggu lo di depan." Bara menatap Laura dengan tatapan tajamnya, wajahnya berubah dingin.
"Benar, kan, Bar? Gara-gara ada dia, kalian semua membela dia"
"Gue membela, karena jelas-jelas Lo salah! Cepat lepas!" Bara tidak sabar. "Jangan sampai gue pot0ng tangan, lo!" Bentak Bara.
Laura menurunkan tangannya lemah, dia merasa prustasi melihat Bara sekarang. "Bar!" bibir Laura bergetar, apalagi saat melihat Bara membawa Hasya kepelukannya karena Hasya kembali menggigil.
Sedangkan Arsen tercengang melihat apa yang Bara lakukan. "Dia?" mulutnya menganga lebar. "Dia sepupu gue, kan?" tanyanya kepada dirinya sendiri.
"Maksud lo, apa Bar?" tapi tidak ada jawaban dari Bara. Dia sibuk menenangkan Hasya yang terisak.
"Maaf, semuanya akan baik-baik saja." ucap Bara pelan.
"Bara! Lo dengar gue, gak?" pekik Laura. Dia memekik lebih kencang lagi karena semakin merasa prustasi.
"Pulang!" Bara meminta Laura untuk pulang. Sedangkan dia menggendong Hasya untuk masuk ke mobilnya karena Hasya masih belum tenang. Arsen kembali tercengang melihat Bara melakukan itu di depan pacarnya. Tapi seketika tawa Arsen pecah melihat kakak sepupunya yang mulai aneh.
"Buahahaha! Apa gue gak salah lihat, ya? Kok, sepupu gue berubah drastis begitu?!" Arsen langsung meninggalkan Laura yang berdiri mematung melihat Bara.
"Bar, lo?"
"Mobil lo, keluarkan cepat! Jangan sampai gue tabrak juga!" ucap Bara. Arsen menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tapi dia kembali ke depan untuk memindahkan mobilnya.
"Gila! Benar-benar udah gil* si Bara!" Arsen tersenyum sendiri melihat kelakuan sepupunya itu. "Tapi, ini berita bagus untuk nenek." dia tersenyum. "Oke! Sekarang, gue mau pulang ke rumah nenek..."
Tin tin tin
"Anjim! Si Bara udah gila!" Arsen mengumpat.
***
"Bara! Gue mohon buka pintunya!"
Bersambung
tetap semangat terus thorr
tetap semangat terus thorr