Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Paksaan
Keheningan yang mencekik kembali menyelimuti ruang kerja Tuan Arka. Kali ini, keheningan itu terasa lebih berat, seolah dinding-dinding marmer hitam di sana menyerap semua suara dan harapan Alya, meninggalkannya hampa.
Alya masih duduk di ujung sofa, punggungnya kaku. Air mata sudah berhenti mengalir, digantikan oleh mati rasa yang menakutkan. Menikah. Menikahi pria yang baru ia temui sepuluh menit lalu, yang menatapnya bukan sebagai manusia, melainkan sebagai harga pelunasan hutang.
Arka, yang baru saja menekan interkom, kini bersandar santai di kursinya. Dia tidak terburu-buru, menunjukkan bahwa waktu, nasib, dan keputusan Alya berada sepenuhnya dalam kendalinya. Dia mengambil gelas berisi air putih dari dispenser kristal di dekatnya dan meletakkannya di meja kecil di hadapan Alya.
“Minumlah. Wajahmu pucat,” ujarnya, tanpa intonasi. Ini bukan tawaran kebaikan, melainkan perintah klinis.
Alya menatap gelas itu, lalu kembali menatap Arka. Ada banyak pertanyaan yang mendesak di tenggorokannya, tetapi ia tahu, menanyakannya hanya akan membuang tenaga. Pria ini sudah memutuskan.
Arka menggeser ponsel Alya yang ia ambil dari tas ranselnya yang tadi ia letakkan di dekat pintu. “Hubungi ayahmu. Beritahu dia keputusannya.”
Tangan Alya gemetar saat meraih ponsel. Ia melihat layar: ada beberapa panggilan tak terjawab dari Pak Rahmat. Air matanya kembali menggenang.
Ia menekan tombol panggil. Di seberang, nada dering berbunyi dua kali sebelum suara serak ayahnya terdengar, penuh cemas.
“Alya? Ya Tuhan, Alya! Kau di mana? Bagaimana? Apa yang dia minta?”
“Ayah, dengar aku baik-baik,” Alya memejamkan mata, memaksakan suaranya terdengar stabil. Ia tidak ingin ayahnya mendengar keruntuhannya. “Tuan Arka setuju melunasi hutang itu. Semua lima miliar. Lunas.”
Terdengar suara isak tangis lega di seberang telepon. “Syukurlah… Ya Tuhan, syukurlah! Lalu, apa syaratnya, Nak? Apa yang dia minta?”
Alya mengambil napas panjang, menatap Arka yang hanya mengamati adegan ini tanpa berkedip. Tatapan Arka adalah penonton yang kejam.
“Dia… dia minta aku menikah dengannya, Yah.”
Sunyi. Keheningan di telepon terasa lebih memekakkan daripada keheningan di ruangan Arka.
“Menikah?” Suara Pak Rahmat kini terdengar tidak percaya. “Alya, dia sudah gila! Katakan tidak! Kau masih sekolah, Nak! Ayah akan cari cara lain, kita bisa kabur! Kita…”
“Tidak ada cara lain, Ayah!” potong Alya, kali ini air mata berhasil lolos. “Guntur dan orang-orangnya ada di luar, kan? Mereka masih mengawasi. Jika aku menolak, Ayah akan ditangkap malam ini. Apa yang Ayah inginkan? Ayah masuk penjara, dan aku hidup dengan rasa bersalah? Atau aku menikah dengannya, dan Ayah aman?”
Pak Rahmat terdiam, isakannya berubah menjadi gumaman penyesalan. “Alya… kau terlalu muda untuk ini. Kau punya masa depan…”
“Masa depanku tidak akan ada artinya kalau Ayah hancur!” Alya membentak, suaranya dipenuhi frustrasi. Ia merasakan tangan Arka yang tiba-tiba menyentuh punggung kursinya, sentuhan yang tidak terlihat, tetapi kehadirannya terasa mengancam. “Ayah, beritahu aku sekarang. Apakah Ayah ingin aku menyelamatkan Ayah atau tidak?”
Ini adalah momen paksaan yang sesungguhnya. Bukan dari Arka, tetapi dari ikatan darah, dari rasa tanggung jawab terhadap satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Setelah jeda yang menyakitkan, Pak Rahmat akhirnya berbicara, suaranya pecah dan dipenuhi keputusasaan seorang ayah yang tahu ia telah menjual putrinya demi keselamatan dirinya sendiri.
“Nak… Ayah mohon. Tolong… tolong selamatkan Ayah. Ayah tidak sanggup di penjara. Ayah janji, setelah semua aman, Ayah akan cari jalan keluar, Nak. Ayah janji. Tolong, Nak…”
Janji. Kata itu terasa begitu palsu dan menyakitkan. Alya tahu, begitu ia menandatangani kontrak itu, tidak akan ada jalan kembali. Tetapi, ia tidak bisa membiarkan ayahnya menanggung penderitaan ini sendirian.
“Baik, Yah. Aku setuju,” kata Alya, menutup mata, membiarkan air mata mengalir bebas. “Jaga diri Ayah. Jangan keluar rumah sampai semuanya benar-benar selesai.”
Ia menutup telepon tanpa menunggu jawaban ayahnya.
“Bagus.” Arka mengeluarkan tangannya dari punggung kursi Alya. “Sekarang, kita selesaikan ini.”
Pintu kantor terbuka, dan masuklah seorang pria paruh baya, rapi dalam setelan jas, membawa koper kulit hitam tipis. Di belakangnya, seorang wanita muda dengan kacamata bingkai tanduk membawa berkas-berkas tebal. Mereka adalah Notaris dan Asistennya.
“Tuan Arka,” sapa Pria itu, bernama Bapak Hendra. “Semua dokumen telah siap. Perjanjian Pra-Nikah dan Akta Perjanjian Hutang-Piutang sudah direvisi.”
Arka hanya mengangguk. Ia menunjuk Alya dengan gerakan mata, isyarat untuk memulai.
Meja kopi di hadapan Alya kini berubah fungsi menjadi meja penandatanganan. Sebuah pulpen mahal diletakkan di dekatnya. Bapak Hendra, dengan suara profesional yang tidak menunjukkan emosi, mulai membacakan poin-poin penting.
Alya mencoba mendengarkan. Kata-kata seperti ‘pernyataan melepaskan hak’, ‘tunjangan hidup’, dan ‘non-disclosure agreement’ berputar di benaknya.
“...Pada Pasal Empat, Pihak Kedua, Nona Alya Ramadhani, setuju untuk menjalani pernikahan ini dengan Tuan Arka Darendra, Pihak Pertama, berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, di mana Pihak Kedua secara tegas menerima bahwa pernikahan ini bertujuan untuk... pemenuhan kewajiban tertentu dan perjanjian co-habitation jangka panjang, dengan imbalan dilunasinya seluruh kewajiban hutang Pihak Keluarga Kedua kepada Darendra Corp senilai Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).”
“Poin pentingnya, Nona,” Bapak Hendra menunjuk dengan ujung penanya ke bagian dokumen lain. “Perjanjian ini mencakup klausul kerahasiaan total. Anda tidak diizinkan mengungkapkan tujuan atau detail pernikahan ini kepada siapa pun, termasuk teman sekolah Anda, bahkan kepada ayah Anda, kecuali sebatas status pernikahan. Pelanggaran akan berakibat pada pembatalan tunjangan dan status legal Anda, sekaligus tuntutan ganti rugi yang jauh melebihi nilai hutang awal.”
Alya menelan ludah. Ini adalah sangkar emas. Mahal, tetapi mematikan.
“Tunjangan hidup,” lanjut Bapak Hendra. “Tuan Arka Darendra akan menyediakan uang saku bulanan sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), satu unit apartemen di kawasan elit, dan menanggung seluruh biaya pendidikan Pihak Kedua hingga selesai, selama Pihak Kedua memenuhi semua kewajiban sebagai istri dan pasangan hidup Pihak Pertama.”
Lima puluh juta. Itu adalah uang yang bisa menghidupi keluarga Alya selama setahun penuh. Namun, uang itu terasa menjijikkan, seperti harga yang dipatok untuk menjual dirinya.
“Dan terakhir, Tuan Arka,” Bapak Hendra beralih ke poin yang paling krusial. “Mengenai jangka waktu dan pembatalan…”
Arka menyela, suaranya tenang, tetapi memiliki bobot baja. “Tidak ada jangka waktu. Pernikahan ini berlangsung sampai aku sendiri yang memutuskannya.”
Alya tersentak. Tidak ada batas waktu? Ia berharap mungkin ada masa uji coba, satu atau dua tahun. Tapi ini… ini seumur hidup, atau sampai Arka bosan.
Bapak Hendra, yang sudah terbiasa dengan otoritas Arka, hanya mengangguk. “Baik. Dokumen ini juga mencakup perjanjian untuk segera mendaftarkan pernikahan secara hukum setelah Nona Alya mencapai usia delapan belas tahun. Sampai saat itu, Anda terikat oleh perjanjian pra-nikah ini.”
“Nona Alya, silakan tanda tangan di sini. Dan di sini.” Bapak Hendra menunjuk tiga kolom tanda tangan dengan rapi.
Alya meraih pulpen. Pulpen itu terasa berat, dingin, dan asing. Ia melihat nama Arka Darendra sudah tertera di kolom Pihak Pertama, tandatangannya tajam dan angkuh.
Ia melihat kolom kosong di bawah namanya. Di atasnya tertulis: Alya Ramadhani, Pihak Kedua.
Tangannya membeku di udara. Jantungnya berdebar kencang, memukul rusuknya seolah ingin melarikan diri. Jika ia menandatangani ini, ia akan selamanya terikat. Kehidupan SMA-nya, mimpinya kuliah, kepolosan masa mudanya—semua akan berakhir.
Arka, yang selama ini diam, kini bergerak. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan. Setiap langkah Arka terasa seperti lonceng kematian bagi Alya.
Arka berdiri di samping Alya, tidak menyentuh, tetapi kehadirannya membanjiri Alya dengan gelombang tekanan yang tak tertahankan. Arka menunduk sedikit, bayangannya menaungi wajah Alya.
“Jangan membuang waktuku, Alya,” bisik Arka, hanya didengar oleh Alya. Kata-katanya lembut, tetapi ancaman yang tersirat di dalamnya jauh lebih dingin daripada suara teriakan. “Ayahmu aman di rumah sekarang. Jangan paksa aku untuk mengubah pikiranku. Cepat, tanda tangani.”
Alya mencium bau parfum maskulin Arka, merasakan suhu tubuhnya yang hangat berjarak sangat dekat. Matanya terpejam sejenak. Ia melihat wajah ayahnya, wajahnya sendiri yang menangis di cermin, lalu wajah Arka yang dingin.
Tidak ada jalan kembali.
Dengan napas tercekat, Alya menurunkan pulpennya. Ujung pena perak itu terasa tajam di jarinya.
Ia menandatangani. Satu coretan nama lengkapnya, Alya Ramadhani.
Tanda tangan pertama. Tanda tangan kedua. Tanda tangan ketiga.
Ketika ia selesai, suara tarikan napasnya adalah satu-satunya suara yang terdengar. Ia menarik tangannya, seolah coretan itu panas dan membakar.
Bapak Hendra menghela napas lega, mengambil berkas-berkas itu dengan hati-hati. “Selesai. Secara legal, Nona Alya Ramadhani, Anda terikat oleh perjanjian ini. Kami akan mengurus pendaftaran sipil resmi segera setelah ulang tahun Anda. Selamat, Tuan Arka.”
Arka tidak menjawab ucapan selamat itu. Matanya terkunci pada Alya, yang kini menatap tangannya yang baru saja menandatangani nasibnya.
Arka kemudian melakukan sesuatu yang sama sekali tak terduga.
Ia mengulurkan tangan kanannya, meraih tangan kiri Alya yang masih memegang pulpen, dan menggenggamnya kuat. Genggaman itu panas, keras, dan tanpa emosi romantis sedikit pun—seolah ia sedang mencengkeram kepemilikan.
“Selamat datang, Istriku,” bisik Arka, suaranya tidak lebih dari gumaman serak yang hanya didengar Alya.
Alya merasakan jantungnya mencelos. Sentuhan itu terasa seperti cap kepemilikan yang panas. Ia mendongak, menatap mata gelap Arka yang kini memancarkan rasa puas yang berbahaya.
“Mulai sekarang, kau adalah milikku. Dan kau akan tinggal di tempat yang seharusnya kau tinggali,” ucap Arka.
Di luar, lampu kota bersinar semakin terang, tetapi bagi Alya, dunianya baru saja meredup, terperangkap dalam sangkar emas yang baru saja ia tanda tangani. Malam itu, ia tidak akan pulang ke rumah kecilnya. Ia akan pergi ke tempat tinggal suaminya yang asing.