Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Gosip Malam
Dua orang pelanggan baru saja pulang. Rudi di pojok membersihkan tangan. Sementara langit mulai semerah saga, Intan melamun dalam terpaan cahaya senja.
“Dek!” panggil Rudi.
“Iya Bang!”
“Tadi siang kamu bete kenapa?”
“Mmm…. nggak tahu…”
Intan memalingkan muka.
“Nggak usah dibahas ah Bang!”
“Katanya mau cerita…”
Intan malas cerita, tapi dipikir ulang rasanya ia harus berterus terang. Ia tak mau abangnya gusar.
“Mmm… tadi… Pak Edgar ngajak jalan…”
“Ngajak ke mana?”
“Ke toko buku, terus nganter pulang.”
Rudi menghela nafas.
“Terus?”
“Ya Intan nggak mau!”
“Kenapa?”
“Kan Intan maunya ikut ke pasar sama Abang.”
“Emang kamu nggak suka lihat-lihat buku?”
“Suka sih, tapi… Intan nggak mau…”
Rudi berkernyit.
“Abang kapan main ke toko buku?”
“Nggak tahu. Kamu mau ke toko Buku?”
“Mau!” jawab Intan.
Rudi berpikir.
“Tapi... kayaknya Abang belum bisa beliin.”
“Nggak apa-apa, lihat-lihat doang juga Intan udah seneng kok…” sahut Intan.
“Hari Minggu?”
“Ke Gramedia?”
“Boleh…”
Hari beranjak petang. Pembeli berdatangan. Rudi dan Intan sibuk melayani. Mengoles bumbu, meniup arang, menuang saus dan melipat bungkusan.
Ketika hari mulai gelap adzan maghrib berkumandang. Rudi menyalakan lampu dan mengunci peralatan. Kemudian mengajak Intan ke mushola terdekat. Habis sholat kembali melayani pembeli hingga stok habis pukul tujuh malam.
“Bang, lapaaar!” rengek Intan.
Rudi sengaja menyisakan sate dan nasi untuk mereka berdua. Mereka pun makan sama-sama di dalam tenda sambil cerita-cerita. Habis makan sholat isya, lanjut beres-beres pulang. Tiba di kosan jam setengah delapan malam.
Gerobak didorong masuk pelataran lalu dirapatkan depan jendela. Begitu melihat tiga orang laki-laki sedang berkumpul Intan beringsut ke belakang pundak Rudi
Rudi melihat Jono, Jay dan Pak Irsyad sedang serius mengelilingi papan catur. Jono dan Pak Irsyad sedang bertarung, sementara Jay menonton. Jay menyadari kedatangan Rudi.
“Hey Rud, tumben sudah pulang!”
“Alhamdulillah habis Jay.” jawab Rudi singkat.
“Loh, kamu sama siapa?”
Rudi melirik ke arah Intan yang sejak tadi berdiri di belakangnya.
“Kenalin ini adek aku, Intan.”
Intan melongok-longok.
“Dek, itu Jaelani, Jono dan Pak Irsyad.”
“Salam kenal!” kata Intan.
“Salam kenal juga Neng!” sahut Jay, diikuti Jono dan Pak Irsyad.
“Beneran adekmu Rud?” tanya Pak Irsyad, sangsi.
“Pacar kali!” seloroh Jono, ketawa-ketiwi.
“Macem-macem kamu Jon!” ancam Rudi.
Intan merengut.
Jay melongo.
“Hus-hus, nggak usah diliatin! Sana, tengok Neng Hani! Kasihan anak orang tuh, jangan dimain-mainin!” hardik Rudi.
Jay salah tingkah.
Rudi memarkir motor.
Teman-teman Rudi yang lain keluar satu per satu dari kamar kos masing-masing. Semua saling pandang sambil membuat gosip.
“Gila si Rudi, pacarnya cantik sekali!”
“Bidadari atau peri nih?”
“Anak pejabat kali.”
“Orang macam si Rudi sama anak pejabat?”
“Nemu di mana yang kayak gini?”
“Hus, nemu… memangnya barang?”
“Mana sholehah lagi…”
“Ini yang tadi siang teriak-teriak ya?”
“Iya kali.”
“Aku saja seganteng ini, sering pula gonta-ganti cewek, belum pernah dapet yang kayak gini. Sialan!”
“Kira-kira, masih ada stok nggak ya?”
“Anak orang kaya ini mah.”
“Edaaan…edaaan…!!!”
“Ck ck ck…”
“Haduuuh… ampuni Hamba ya Tuhaaan!!!”
Samar-samar Intan mendengar apa yang dibicarakan para laki-laki di kosan itu. Gadis itu berbalik, lalu menarik-narik baju Rudi sambil berbisik :
“Abaaang…pulaaang…”
Rudi menyalakan sepeda motor kemudian membawa Intan pergi. Di perjalanan Intan bergumam :
“Eeeee… kok pacar siiih…”
“Apa Dek?” teriak Rudi melawan gemuruh mesin.
“Nggak apa-apa Bang!” sahut Intan.
Mereka berdua diam tanpa kata sepanjang jalan. Tak tahu apa sebabnya, tapi malam itu serasa lain. Angin malam berhembus dingin menyejukkan. Suara hiruk-pikuk kota seperti berhenti. Damai dan sunyi.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan Pondok Mawar. Mereka terdiam karena terkenang lagi saat-saat pertemuan pertama di ruas jalan itu.
Sesaat kemudian Resti muncul membuka gerbang.
“Dek, Abang pulang dulu ya!”
“Iya Bang, daaah, hati-hati…”
“Assalamu’alaikum…”
“Waalaikumsalam…”
Intan melongok melepas kepergian Rudi dengan tatapan sayu dan senyuman tipis yang manis. Resti lekat memandang wajah Intan, kemudian tangannya dikibas-kibas depan wajah Intan.
“Liatinnya kok sampai kayak gitu?”
Intan tak merespon
“Tan! Intaaan!” panggil Resti
“Hah, apa Ti?”
“Liatinnya kok sampai kayak gituuu?”
“Nggak apa-apa…”