Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Secercah Harapan
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" Darmawan memegang erat tangan Hanni dan membawanya ke tempat di mana mereka biasa beribadah. "Mari kita sembuhkan Al dengan doa kita!"
Hanni mengangguk. "Ya, mari berdoa untuknya!"
Mereka pun segera membersihkan diri. Beribadah dengan khusyuk di mana Darmawan bertindak sebagai imamnya. Bersimpuh lebih lama dan memohon dengan tulus agar Sang Maha Pencipta melindungi putri mereka di luar sana.
"Dia milik-Mu. Hidup dan matinya pun milik-Mu. Tapi, jika Engkau berkenan, tolong jaga dia melalui tangan-Mu!"
Itulah doa Hanni. Doa dari seorang ibu yang belum sempat mengajari putrinya bagaimana cara menapakkan kaki di dunia yang kejam ini.
"Bagaimana?" Darmawan membantu Hanni berdiri, lalu membawanya menuju kamar untuk istirahat. "Apa kamu sudah merasa baikan?"
"Sudah." Hanni mengangguk, menggandeng tangan suaminya dengan mesra. "Allah pasti melindungi anak kita. Mama percaya itu."
Selang beberapa menit, mereka pun sampai di kamar. Darmawan meminta Hanni berbaring, sementara dirinya duduk di sampingnya.
"Berapa usia Al sekarang?" tanya Darmawan. Pria itu tersenyum, lalu menebak usia putrinya. "Kalau papa nggak salah, seharusnya dia berusia 24 tahun, kan?"
"Bukan, kamu salah, Pa?" Hanni menggeleng, lalu memberikan lirikan tajam pada suami yang tak ingat berapa usia anak mereka.
"Saat ini Al berusia 24 tahun 5 bulan dan 7 hari." Hanni tersenyum tipis, lalu meralat ucapannya yang keliru. "Bukan, itu juga salah. Yang benar adalah 24 tahun 5 bulan 7 hari dan 9 jam."
Mendengar jawaban Hanni, Darmawan pun tertawa ringan. Terkejut karena istrinya mengingat sampai sedetail itu.
"Kamu memang ibunya." Darmawan mencium tangan Hanni. "Aku iri karena kamu mengenal Al jauh lebih baik daripada aku," lanjutnya.
"Tidak!" Hanni menggeleng pelan. "Kamu salah lagi. Aku sama sekali tidak mengenalinya!"
Dahi Darmawan mengkerut mendengarnya. Sementara itu, Hanni menghela nafas panjang dan berkata dengan suara pelan, "Aku tidak tahu apa makanan favoritnya, siapa teman dekatnya atau pria mana yang dia suka. Yang aku tahu hanyalah dia sangat suka minum asiku saat dia masih bayi."
Sepasang suami istri itu pun menangis dan tertawa bersama. "Kamu pasti rindu!" ucap Darmawan.
Pria itu menggenggam tangan Hanni dan Hanni menggenggam balik tangan Darmawan. "Jangan sok kuat. Aku tahu kamu juga rindu!"
Rencananya, Darmawan akan meminta Hanni beristirahat. Tapi, tiba-tiba wanita itu bangun lagi. "Maafkan aku. Ini semua salahku. Jika saja aku menjaganya dengan baik, kita tidak mungkin kehilangan Al."
Hanni menyentuh wajah Darmawan yang terlihat semakin menua. Sementara Darmawan mengenang malam nahas itu sebelum menggelengkan kepalanya. "Tidak. Akulah yang salah. Aku yang seharusnya meminta maaf!"
Sepasang sejoli itu pun saling berpelukan. Mengingat malam nahas yang menimpa keluarga kecil mereka puluhan tahun lalu.
Saat itu, Hanni sedang di rumah menjaga Al yang masih bayi. Sementara Darmawan belum pulang dari kantor.
Tiba-tiba saja, komplotan pencuri menyatroni rumah mereka. Melukai penjaga dan pelayan yang saat itu jumlahnya tak sebanyak sekarang.
Barang berharga mereka di curi, bahkan Hanni sempat koma. Mirisnya, Hanni harus menerima kenyataan pahit saat dirinya berhasil melewati masa kritisnya.
Bayi cantik mereka yang mereka beri nama Althafunnisa Az-Zahra turut hilang bersamaan dengan perginya para pencuri itu.
Bertahun-tahun mencari, satu persatu pencuri itu mereka temukan. Sayangnya, tak ada satupun yang mengingat apa yang mereka lakukan pada bayi itu.
Ya, bayi itu lenyap tanpa jejak bersama dengan liontin pemberian mereka yang menghiasi lehernya yang kecil.
"Apa yang akan kita katakan padanya nanti?" Darmawan mulai berandai-andai. "Apa yang akan kita katakan saat dia pulang nanti?"
"Pulang?" Di pelukan suaminya, Hanni menggigit ujung bibirnya. "Apa dia akan pulang?"
"Apa yang kamu katakan, sayang?" Darmawan mencium kening istrinya. "Dia pasti akan pulang."
"Kenapa kamu bisa seyakin itu?" tanya Hanni.
"Karena aku ayahnya." Sekali lagi, Darmawan mencium kening istrinya. Lalu memintanya berbaring dan beristirahat. "Tidurlah, aku tidak akan pergi sampai kamu tidur."
"Baiklah!" Hanni mengangguk.
Dua puluh enam tahun berlalu sejak mereka menikah. Semuanya tak ada yang berubah. Darmawan masih setia pada Hanni, begitupun sebaliknya.
Saat ini pun, Darmawan memperlakukan Hanni seperti saat mereka masih muda dulu. Memberikan tepukan ringan di dada istrinya agar istri yang sangat dicintainya itu tidur nyenyak.
.
.
.
Belum lama sejak Hanni tertidur, Darmawan mendengar seseorang mengetuk pintu. "Masuk!" katanya.
Darmawan menoleh, melihat Atmaja sudah berdiri di ambang pintu. Seketika, ekspresinya pun berubah.
Pria itu meletakkan jari telunjuknya di bibir, tak lupa menggelengkan kepalanya agar orang kepercayaannya itu diam saja. Dan setelah memastikan Hanni tertidur pulas, Darmawan bergegas menghampiri Atmaja.
Pria itu membawa Atmaja berbicara di ruangan yang lain. Memastikan tak ada yang mendengar obrolan mereka arena mereka akan membicarakan masalah penting. Tentunya, dengan di suguhi dua gelas kopi yang sudah tersaji di meja.
"Kapan kamu kembali?" Darmawan menghela nafas berat, lalu melihat Atmaja yang terlihat sangat lelah. "Kamu pasti lelah mencari anakku, kan?"
"Benar, Tuan! Saya merasa lelah!" Pria bernama Atmaja itu sempat menundukkan kepalanya. Lalu mengangkat kepalanya lagi dengan menyunggingkan seulas senyum. "Tapi saya belum menyerah."
Mendengar jawaban itu, Darmawan tersenyum puas. Dia pun memperbaiki cara duduknya sembari berkata, "Beristirahatlah. Toh, bukan hanya kamu saja yang ku perintahkan mencari anakku."
"Awalnya, saya pun berpikir demikian." Kali ini, giliran Atmaja yang tersenyum. Setelah mengaduk kopinya dan membasahi kerongkongannya, Atmaja pun melanjutkan ucapannya, "Tapi kita tidak boleh istirahat sekarang, Tuan!"
"Kenapa tidak boleh?" tanya Darmawan.
"Karena saya menemukan liontin milik Nona Al," jawab Atmaja.
"Apa?" Seketika, Darmawan merapatkan tubuhnya ke meja. Matanya melotot, sementara jantungnya berdetak lebih cepat.
Berpuluh-puluh tahun mencari, Darmawan belum pernah mendengar kabar baik seperti ini. "Kamu menemukan liontin putriku?"
"Benar, Tuan!" Armaja mengangguk dengan mantap. Lalu menyodorkan sebuah kotak berisi liontin kecil pada Darmawan. "Bukankah ini milik Nona Al?"
"Ya. Ini milik anakku!" Tangan Darmawan bergetar hebat. Matanya pun mulai berkaca-kaca. "Tapi, kenapa hanya liontinnya. Bagaimana dengan Al? Apa kamu berhasil menemukannya?"
"Kami belum menemukannya." Atmaja menghela nafas panjang. "Pemilik toko tempat kami mendapatkan liontin itu mengatakan seorang wanita muda menjual liontinnya. Dan kami sedang mencari wanita itu untuk memastikan apakah itu Nona Al atau bukan."
"Baiklah!" Darmawan tampak sedikit lega. "Segera beritahu aku kalau kamu sudah menemukannya!"
"Baik, Tuan!"
***
Tuh Nisa skrang mo jd Janda, moga jodoh deh
Dia pikir perut cw tuh balon, dipompa langsung mlendung, emg lu cari jln aja, man arman 👊👊
kocak banget ya si Annisa itu
bagaimana kalau dia tau Nisa juga yang merebut hati Abiyyu😂😂😂
duh, ni cerita bikin penasaran aja😤
kirain apa an😭😭😭
rupanya takut di selingkuhi dan kehilangan kasih sayang ya😂☺️
hati sakit namun tetap mencoba tersenyum dan menghibur😢
aku jadi takut ngebayangin nya😑