Hasna berusaha menerima pernikahan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah ia kenal. Bahkan pertemuan pertama, saat keduanya melangsungkan akad nikah. Tak ada perlakuan manis dan kata romantis.
"Ingat, kita menikah hanyalah karena permintaan konyol demi membalas budi. jadi jangan pernah campuri urusan saya."
_Rama Suryanata_
"Terlepas bagaimanapun perlakuanmu kepadaku. Pernikahan ini bukanlah pernikahan untuk dipermainkan. Kamu telah mengambil tanggung jawab atas hidupku dihadapan Allah."
_Hasna Ayudia_
Mampukah Hasna mempertahankan keutuhan rumah tangganya? Atau justru menyerah dengan keadaan?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ujungpena90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Marissa mendesis merasakan kepalanya kembali berdenyut. Ia memijit pelipisnya perlahan untuk mengurangi sedikit rasa sakitnya. Tubuhnya begitu letih serta seluruh persendian yang terasa remuk.
Apakah mungkin ini adalah efek dari minuman dengan tingkat alkohol yang tinggi?, pikirnya.
Perempuan itu mencoba merenggangkan persendian yang terasa ngilu. Namun, pergerakannya serasa dibatasi.
Perlahan Marissa membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamarnya. Berarti semalam Tomi benar-benar mengantarkannya pulang.
Marissa merasai ada sesuatu yang melingkari perutnya. Terlebih ia merasakan hembus hangat nafas seseorang yang berada dibalik punggungnya.
Perlahan ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya.
Deg
Betapa ia terkejut saat mendapati keadaannya saat ini. Ia tertidur dalam keadaan tanpa busana.
Lalu, lengan siapa yang tengah melingkari perutnya saat ini? Apa yang telah terjadi semalam, saat ia tak sadarkan diri?
Banyak sekali pertanyaan yang berputar memenuhi kepalanya. Tak sanggup ia menerka-nerka apa yang ia alami. Juga tak siap dengan kenyataan yang akan ia ketahui sebentar lagi.
Digeserkannya sedikit tubuhnya, memindahkan lengan yang memeluknya erat. Ngilu, itu yang ia rasakan dipusat inti tubuhnya.
Jantungnya berdegup tak terkontrol manakala mendapati lelaki yang tengah terlelap dengan keadaan tak jauh berbeda dengannya.
Bergeser sedikit lagi agar bisa melihat siapakah lelaki itu. Namun gerakan yang ditimbulkannya berhasil membuat lelaki itu menggeliat, dan terbangun.
"Sa." Ucap Tomi dengan suara khas bangun tidur.
Sebelah matanya memicing, menyesuaikan cahaya. Laki-laki itu bangun dan duduk, berusaha mengumpulkan kembali kesadarannya.
"Apa yang udah lo lakuin sama gue?" Tanya Marissa dengan suara tertahan.
Tak menjawab, laki-laki itu bingung harus mulai menjelaskan dari mana. Karena dia sendiri terbawa oleh permainan Marissa.
"Apa yang udah lo lakuin sama gue?" Marissa mengulang pertanyaannya dengan suara yang sedikit meninggi.
"Tenang dulu, gue bisa jelasin semuanya, Sa."
"Dasar ba******. Lo udah ngacurin hidup gue."
"Marissa, tenang. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."
Tomi meraih pundak Marissa, berusaha menenangkan perempuan disampingnya itu.
"Jangan sentuh gue, b******k."
Dengan gerakan kasar, Marissa menepis tangan lelaki yang begitu ia benci saat ini.
"Sa, gue bisa jelasin semuanya. Lo tenang dulu." Pintanya.
Laki-laki itu benar-benar bingung, karena memang tak sepenuhnya kesalahan ada pada dirinya. Mengingat, dia telah berusaha menolak keinginan Marissa. Tapi cumbuan panas perempuan itu berhasil membuat pertahanan Tomi jebol juga.
Tapi disisi lain hanya Tomi yang masih memiliki kesadaran penuh. Sedangkan Marissa tengah berada dibawah pengaruh alkohol. Dan itulah yang membuatnya hilang kendali.
"Lo yang menginginkan ini semua, gue udah berusaha menghindar. Tapi cumbuan yang lo_." Ucap Tomi mencoba memberikan penjelasan.
"Cukup!" Potong Marissa.
"Lo emang laki-laki b******k yang pernah gue kenal. Laki-laki yang udah mencuri kesempatan disaat seorang perempuan hilang keaadaran. Laki-laki yang udah ngancurin hidup gue. Ngancurin masa depan gue. Ngancurin impian gue." Teriak Marissa penuh amarah. Bahkan telunjuk tangan perempuan itu mengarah tepat di wajah Tomi.
Buliran bening menerobos keluar, menetes membasahi kedua pipi Marissa. Dan itu, membuat Tomi merasa semakin bersalah
"Maafin gue, Sa." Desis Tomi pelan.
Jujur, laki-laki itu sungguh menyesali perbuatannya semalam. Harusnya dia menjaga kehormatan Marissa ditengah ketidak sadaran perempuan itu. Tapi dia lelaki normal. Hasratnya bergejolak saat Marissa mencumbunya lebih intens. Terlebih Marissa menuntut lebih dari sekedar cumbuan.
Tomi tidaklah munafik, dia tidak akan sanggup menolak perempuan secantik dan seseksi Marissa. Terlebih ia masih memiliki rasa pada perempuan cantik itu.
"Nggak ada yang perlu dimaafin. Gue udah terlanjur benci sama lo. Jangan pernah lo ganggu hidup gue lagi."
"Gue akan mempertanggung jawabkan perbuatan gue. Gue akan nikahin lo, Sa. Gue masih cinta sama lo. Lo bilang lo cinta sam gue. Kita melakukannya juga atas dasar suka sama suka."
"Gue nggak butuh tanggung jawab lo. Simpan saja cinta lo itu. Gue nggak mau menerima cinta laki-laki b******k seperti lo."
"Pergi...pergi lo dari sini. Pergiiiii..."
Sungguh perempuan itu tak bisa mengontrol emosinya. Pikirannya benar-benar kacau. Ia merutuki kebodohannya semalam.
Dalam ingatannya, dengan jelas ia sedang bercumbu dengan Rama. Tapi nyatanya, saat ia terbangun malah mendapati dirinya tengah tidur dalam dekapan lelaki lain.
Tak ada yang bisa Tomi lakukan untuk menenangkan perempuan di sampingnya itu. Gegas ia turun dari ranjang dan memunguti pakaian yang tercecer.
Setelah memakai semua pakaiannya, Tomi segera pergi. Tapi sebelum meninggalkan kamar itu, sejenak ia memandang ke arah Marissa.
Terlihat punggung polos itu bergetar, menandakan bahwa ia tengah menangis. Tomi tak punya cukup nyali untuk menenangkan perempuan itu. Dan pada akhirnya, ia meninggalkan Marissa seorang diri.
***
Empat hari sudah, Hasna menutup diri dari kehidupan luar. Ia benar-benar merasa terasingkan. Tak ada komunikasi dengan siapapun.
Ia terjebak dalam situasi sang sangat ia benci. Hasna sungguh membenci keadaan seperti ini. Ia bagaikan seorang perempuan yang tidak bisa mempertahankan kebebasannya.
Dia tak memiliki pilihan selain menyanggupi kemauan Rama. Dia harus menjaga harga diri suaminya, juga menjaga perasaan kedua mertuanya.
Perasaan mereka pasti sangat hancur, jika seandainya mengetahui kehidupan rumah tangga putranya yang tidaklah normal. Mereka pasti akan menyalahkan diri sendiri jika mereka benar-benar mengetahuinya.
Mereka pasti akan merasa gagal mendidik putra mereka. Terlebih ayah mertuanya. Beliau akan merasa sangatlah gagal menjadi figur seorang suami bagi putranya.
"Astaghfirullahal'adzim." Berulang kali hanya kata itu yang terucap dari bibir mungil nya.
Hasna berusaha menerima pernikahan ini, walau ia tau jika perjuangannya akan sangat berat. Tapi dia yakin, dia akan bisa mempertahankan rumah tangganya dan membuat Rama jatuh cinta kepadanya.
Bukankah itu fitrah seorang istri jika menginginkan untuk dicintai oleh suaminya?
Belum, Hasna belum sampai tahap cinta kepada suaminya. Ia hanya memposisikan diri sebagai seorang istri yang hanya mencintai suaminya. Dia belajar akan hal itu, mencintai pasangan halalnya.
Hasna, perempuan yang benar-benar polos dalam urusan percintaan. Bahkan ia tidak bisa membedakan tatapan laki-laki padanya. Entah itu tatapan menghargai sebagai seorang teman, tatapan memuja, atau bahkan tatapan penuh cinta. Ia benar-benar tak memahami akan hal itu.
Bisa dikatakan, Rama adalah lelaki pertama yang akan ia tempatkan dihatinya. Lelaki pertama yang belajar ia cintai. Lelaki pertama...
***
Drrrttt...Drrrttt...
Terdengar suara dering ponsel yang begitu panjang. Menandakan sebuah panggilan masuk. Tapi tak lama, suara itupun akhirnya berhenti.
Marissa meraih tas yang tergeletak diatas nakas. Memeriksa ponsel yang baru saja berbunyi. ID Pak Ivan, yang tertera disana.
Drrtt...Drrtt...
Tak berselang lama, beberapa pesan pun masuk. Rupanya saat panggilannya tak terjawab, Asisten Rama itu langsung mengirim pesan untuk rekannya.
~Pagi Marissa. Apa email yang saya kirimkan sudah kamu baca?~ Ivan.
~Saya harap kamu sudah membuat laporannya. Dan bisa diserahkan saat Pak Rama tiba di tanah air.~ Ivan.
~Jika ada yang tidak kamu pahami, boleh tanyakan pada saya.~ Ivan.
Lelaki itu benar-benar bekerja secara profesional. Ia tetap memantau pekerjaan Marissa sesuai perintah Rama.
~Baik, Pak. Segera saya selesaikan. Nanti akan saya kirim via email~ Marissa.
Hanya itu balasan pesan yang diberikan Marissa pada Ivan. Kemudian melemparkan ponselnya kesembarang arah.
Perempuan itu meremas kasar rambutnya. Disaat seperti ini, dia dituntut untuk profesional dalam pekerjaan.
Bukankah email ia terima disaat jam kantor. Maka ia harus segera menyelesaikan. Mengingat tiga hari lagi Rama akan kembali ke Indonesia.
***
maaf kalo salah 🙏
.kereeen