Emelia Azzahra merupakan seorang perawat sekaligus muslimah taat. Sementara Kenzo Alianso merupakan korban investasi bodong yang memilih menjadi seorang mafia keji, demi melunasi hutang sekaligus membalas sakit hatinya. Selain itu, Kenzo juga pernah menjadi kakak ipar Emelia, sebelum Bella kakak Emelia yang Kenzo nikahi, meninggal dunia.
Setelah sekian lama tak bertemu, Emelia dan Kenzo dipertemukan dalam situasi tak terduga. Emelia yang biasa berhijab, tampil seksi di acara pelelangan wanita yang Kenzo pimpin. Emelia dijual oleh sang suami yang kalah judi. Kenzo yang langsung mengenali Emelia tak segan mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan Emelia. Sejak itu juga Emelia dan Kenzo terjerat dalam hubungan simbiosis mutualisme. Gambaran malaikat dan sang kriminal, melekat dalam hubungan keduanya.
“Berani kamu mencampuri urusan pribadiku, ... aku tak segan untuk membunuhmu! Tak peduli meski aku pernah menolongmu bahkan sekarang aku sudah menjadi suamimu!” ucap Kenzo di setiap Emeli
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Jebakan Tak Terduga
Tengah malam, Clara yang baru keluar dari kamar mandi, dihubungi oleh nomor ponsel Anis.
“Halo, Nis? Gimana, sih? Sudah malam begini, baru ngabarin?” ucap Clara langsung mengomel.
Namun, suasana di seberang benar-benar sepi. Seolah, Clara hanya komunikasi sepihak.
“Nis ...? Nis? Hallo ...? Kamu dengar suara aku enggak sih?” kesal Clara yang kembali mondar-mandir di depan kamar tidur. Ia berangsur duduk di pinggir tempat tidur sang putri tengah meringkuk pulas.
Akan tetapi, sambungan telepon mereka dimatikan secara sepihak oleh Anis.
“Lah ... nih anak makin enggak jelas!” lirih Clara makin sebal sambil menatap heran layar ponselnya. Namun baru saja, ia mendapat WA pesan tulisan dari Anis.
Anis : Aku sudah di depan rumah orang tua kamu.
Membaca pesan tersebut, Clara langsung girang. Clara terlalu yakin bahwa Anis berhasil membawa Emelia. Hingga tanpa pikir panjang, Clara juga bergegas meninggalkan kamarnya untuk menemui Anis.
Rumah orang tua Clara tidak lah besar apalagi mewah, meski memang memiliki dua lantai. Suasana rumah yang sepi karena kini sudah larut malam, membuat langkah Clara yang memakai sandal jepit, sangat berisik khususnya ketika menuruni anak tangga. Sampai di depan rumah pun, suasana masih sama. Sepi, bahkan tak ada orang lain termasuk Anis yang baru mengabari sudah ada di depan rumah orang tua Clara.
“Sepi banget. Beneran enggak ada tanda-tanda kehidupan bahkan dari Anis. Motornya pun enggak ada. Lah ini anak nge—prank aku apa gimana?” lirih Clara kali ini benar-benar curiga kepada Anis, bahwa rekannya itu mengibulinya mentah-mentah.
“Si Anis ya! Untung aku enggak sampai bocorin rencanaku mau bunuh Emelia setelah dia mengantarnya kepadaku!” batinnya. Namun karena terlalu penasaran lantaran perubahan sikap Anis terlalu drastis, Clara sengaja menelepon Anis.
Sambil tetap berdiri di depan gerbang rumah orang tuanya yang tak sampai dijaga satpam, Clara justru mendengar dering ponsel. Di tengah suasana jalan kompleks kecil yang sangat sepi, Clara yakin jika suara dering ponsel yang berlangsung masih berkaitan dengan telepon yang coba ia lakukan kepada Anis. Dering ponsel tersebut juga berhenti ketika telepon suara yang Clara lakukan usai.
“Suaranya dari kantong keresek besar itu. Itu sampah yang memang belum diangkut, kan?” lirih Clara sambil menatap saksama kantong sampah besar yang ada tepat di sebelah tong sampah depan rumahnya.
Clara tahu, sampah itu menjadi sampah dari rumahnya. Karena memang, setiap rumah di sana pasti memiliki tong sampah di depannya dan seminggu sekali akan diangkut oleh petugas.
“Masa iya, dering teleponnya dari kantong sampah itu? Berarti ponsel Anis ada di sana?” pikir Clara.
Clara yang makin penasaran, sengaja kembali menelepon nomor ponsel Anis. Kecurigaannya makin membuncah karena dering teleponnya terus berlangsung bersama telepon suara yang ia coba lakukan kepada nomor Anis.
“Coba aku buka, ... penasaran. Eh, kok anyir banget, ya? Ada bekas ayam apa malah ikan, kali ya? Kok iya, sampai ada ponsel dan malah ponsel Anis di sini. Gimana ceritanya? Ya ampun ... bikin mual banget anyirnya. Tahan ... tahan, ... aku harus mastiin!” lirih Clara sibuk berbicara sendiri.
Baru berhasil dibuka kantong sampah hitam besarnya, aroma anyirnya makin kuat. Clara muntah-muntah dan sengaja menjauhi kantong tersebut. Di tengah kesibukannya muntah, Clara juga mengutuk keputusannya dan baginya sudah sangat bodoh. Mau-maunya membuka kantong sampah yang belum dibuka saja sudah beraroma anyir.
“Hanya karena dari sana ada dering ponsel dan aku kira, ponselnya Anis—” Clara berhenti menggerutu. Sebab dari belakangnya dan itu kantong sampah besar beraroma sangat anyir, seolah ada yang jatuh kemudian menggelinding menimpa kaki kanannya.
“Basah-basah lengket, berbulu panjang lembut mirip rambut yang terbiasa perawatan, ya? Kok ... kok firasatku jadi enggak enak gini?” batin Clara langsung histeris. Sebab apa yang ia keluhkan merupakan kepala manusia penuh darah!
Clara yang sampai terjatuh ketika mencoba melarikan diri perlahan menyadari. Ia menyadari kepala berambut panjang pirang dan bawahnya dimodif keriting gantung itu. “Ya ampun .... bukankah itu Anis?”
“B—beneran itu Anis?! Hah? Kok bisa gitu?!” batin Clara benar-benar ketakutan.
Leo yang diam-diam memantau, bergegas pergi dari sana. Ia sangat menikmati ketakutan seorang Clara. Clara begitu histeris meminta tolong di tengah malam yang sangat hening. Beberapa anjing di beberapa rumah tetangga jadi sibuk menggonggong.
Di tempat berbeda, Kenzo baru saja turun dari mobilnya. Kenzo mengunjungi sebuah kediaman mewah yang gerbang rumahnya saja sampai dijaga oleh empat orang satpam.
Luas rumah tersebut sekitar dua hektar. Bangunan rumahnya terbilang tinggi sekaligus kokoh bernuansa bangunan khas rumah-rumah di Arab. Selain itu, rumah tersebut terbilang sangat mewah. Terlebih kenyataan gerbang rumah yang tak setinggi gerbang rumah milik Kenzo, membuat kemewahannya bisa dilihat dengan leluasa walau dari luat rumah.
“Sebentar ... salah satu satpam yang bertugas ... sepertinya aku pernah melihatnya. Namun di mana, ya?” pikir Kenzo. Setelah merenung sejenak, akhirnya Kenzo ingat bahwa sosok satpam yang ia maksud merupakan pengawal Tuan Ameen ketika keduanya mengunjungi kediaman orang tua Emelia. Lebih tepatnya, ketika Tuan Ameen meminang Emelia, hari ini juga.
“Jadi, yang mengharapkan Emelia, justru bandot Arab itu?” pikir Kenzo sambil melangkah masuk. Ia langsung menjalani pemeriksaan. Hingga pistol di dalam saku jaket kanannya nyaris disita.
“Berani kalian menyitanya, ... kalian mati!” tegas Kenzo yang kemudian berkata, “Aku sudah membuat janji dengan Tuan kalian!” tegasnya lagi menatap marah satpam yang hari ini sempat mengawal Tuan Ameen.
Layaknya Kenzo, satpam di sana memang memakai pakaian serba hitam lengan panjang lengkap dengan jaket kulit warna hitam.
“Biarkan dia masuk! Tidak perlu ada senjata yang harus disita! Toh, kita lebih banyak dari dia!” seru Tuan Ameen yang mengakhirinya dengan tawa. Tawa khas kemenangan bersama penerangan di sana yang perlahan di nyalakan semua.
Di rumah bagian depan dan kanan kiri merupakan taman, Kenzo jelas masuk perangkap. Karena nyatanya, di sana juga ada sang bos mafia yang membawa belasan anak buahnya bahkan lebih.
“Mana mungkin aku mau membunuh wanita yang sangat ingin aku nikahi, sementara yang harusnya aku bunuh justru kamu!” tegas Tuan Ameen. “Kamu kan, laki-laki yang merebut Amel dariku?” lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk Kenzo menggunakan tangan kanannya yang sudah menegang pistol.
“Gaya-gayaan mau menikahi wanita incaranku!” lanjut Tuan Ameen dan membuat semuanya termasuk sang bos Mafia tertawa. Tentu saja mereka menertawakan Kenzo yang bagi mereka tak lebih baik dari kecebong di selokan.
“Bajiingan kalian semua!” batin Kenzo sudah sangat yakin, dirinya akan dihabisi beramai-ramai oleh mereka semua yang ada di sana.
ditunnngguuuu...
❤❤❤❤❤
Kq sedih ya.... padahal ceritanya Happy ending..../Sob/